Perempuan Perdamaian (4): Perempuan sebagai Agen Perdamaian di Wilayah Konflik

Perempuan selama ini adalah pihak yang seringkali mengalami kerugian-kerugian atau ketimpangan sosial lebih banyak dibanding laki-laki. Perempuan dinilai kurang berdaya atas keamanan dirinya terlebih menjaga negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik adalah percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik sosial adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.

Konflik berasal dari kata kerja latin “configure”. Artinya saling memukul. Secara sosiologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih. Di mana salah satu pihak berusaha yang ingin menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya. Konflik sering kali berubah menjadi kekerasan terutama ada upaya-upaya dengan pengelolaan konflik tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh pihak yang berkaitan.

Karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik. Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta (1976), konflik berati pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak berseberangan.

Namun, melalui RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial), Indonesia telah membuktikan keseriusannya melibatkan perempuan sebagai agen perdamaian. Bahkan Indonesia tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers (agen perempuan penjaga perdamaian) terbesar ke tujuh di dunia dan pertama se-Asia Tenggara.

Baca juga:  Grace Hopper dan Amal Jariyahnya

Dibanyak negara, Indonesia salah satunya, kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual terkait konflik telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Hal ini yang menjadi tugas utama dari para agen perdamaian dunia, termasuk perempuan di dalamnya. Sebagaimana yang kita tahu bahwa perdamaian adalah tanggung jawab bersama. Beberapa golongan eksklusif manusia hari ini dikenal sebagai “jihadis teroris” bukan hanya laki-laki, tetapi juga memakai perempuan sebagai aktor atau pelaku utamanya.

Fenomena ini tentu bukan hanya ada di Indonesia, tetapi banyak juga wilayah negara-negara lain yang tidak aneh melihat fenomena ini. Sebagaimana besarnya pengaruh perempuan dalam perusakan atau pelaku kekerasan, perempuan juga adalah agen perdamaian yang sangat krusial. Banyak perempuan yang mulai sadar menyebarkan sikap toleransi, aktif dalam upaya perdamaian dunia maya maupun riil secara fakta sosial serta rekonsiliasi dan menjunjung pluralism di dalam masyarakat.

Peran perempuan dalam menjaga perdamaian di wilayah konflik kemudian dipandang krusial atau sangat penting dikarenakan perempuan dinilai lebih peka terhadap situasi kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga angka kepercayaan masyarakat meningkat untuk menerima penjagaan lokasi konflik dari perempuan. Para perempuan lebih mampu memberikan atmosfer bersahabat, nyaman dan aman melebihi yang bisa dilakukan oleh para laki-laki.

Letnan Kolonel Ratih Pusporini, menjadi perempuan pertama Indonesia yang berperan sebagai penjaga perdamaian di daerah konflik pada tahun 2008. Ia bertugas sebagai Militer Observer dalam kontingen Garuda yang bertugas di Kongo mengonfirmasi peran perempuan dalam sebuah misi perdamaian. Dulu, kekerasan Ambon terjadi, sejumlah aktivis, akademisi, praktisi dan para tokoh agama perempuan terlibat aktif dalam aksi upaya mewujudkan perdamaian serta rekonsiliasi.

Baca juga:  Riwayat Jiang Qing, Perempuan Paling Dibenci di China 

Bahkan beberapa nama dari mereka, Sr. Brigitta Renyaan atau Pdt. Etha Hendriks ikut menandatangani Perjanjian Damai Malino II yang dimediasi oleh pemerintah saat itu. Di Poso, ada Lian Gogali, pendiri sekolah khusus bagi anak-anak korban kekerasan komunal Kristen-muslim. Ia mengorganisasi kaum perempuan di 80 desa di Poso yang terkena dampak konflik sectarian untuk aktif membangun perdamaian dan toleransi melalui pendidikan.

Saat ini memang sudah banyak para perempuan baik individu maupun komunitas (kelompok) telah berusaha menjadi agen perdamaian dari lini terkecil dan terdekat mungkin, namun hal ini juga dibarengi dengan terus meningkatnya perilaku-perilaku kelompok intoleran yang antipluralisme dan pelaku kekerasan terorisme di berbagai kawasan. Oleh karena hal tersebut, maka peran perempuan bukan lagi menjadi perbincangan kecil, hal ini sudah seharusnya ditempatkan pada wilayah atau proporsi yang lebih luas.

Tentunya dengan mendukung para perempuan melakukan kerja-kerja perdamaian di berbagai wilayah Indonesia bahkan dunia. Maka, dukungan pemerintah dalam negeri juga luar negeri, bersinergi dengan agen perdamaian di negara luar pun harus tersinkronisasi secara lebih luas, taktis, strategis juga masif, termasuk tidak membatasi para perempuan yang ingin berjuang menjadi bagian perdamaian dunia dari berbagai latarbelakang yang ada.

https://alif.id/read/alf/perempuan-perdamaian-4-perempuan-sebagai-agen-perdamaian-di-wilayah-konflik-b245011p/