Perempuan Desa Bicara Kehidupannya: Review Buku Menjadi Perempuan

Oleh Nurani Soyomukti, Anggota KPU Kabupaten Trenggalek

Terima kasih dan saya ucapkan selamat pada Dian Meiningtyas atas terbitnya buku ini. Buku berjudul “Menjadi Perempuan, Desa dan Transformasi Sosial” ini merupakan buku yang menjawab pertanyaan saya selama ini: Kenapa perempuan desa jarang menulis kehidupannya sendiri di desa dari perspektif feminis yang mencoba memahami persoalan relasi gender di pedesaan?

Maka buku ini mengisi ruang kosong absennya kajian feminisme untuk melihat situasi perempuan desa dalam kungkungan patriarki yang harus dikaji secara lebih jauh. Baiklah, saya katakan saja bahwa perspektif feminis yang diusung penulis yang diulas dalam buku ini, yaitu Eco-Feminisme, bisa saja menjadi aliran feminisme yang cocok. Tapi yang paling utama adalah bahwa buku ini harus diapresiasi karena dapat menambah khazanah pemikiran perempuan tentang kehidupannya, apakah kehidupan yang dipandang dari aspek sosio-ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Jelas menambah khazanah pemikiran bukan hanya untuk kalangan akademis yang cenderung terlalu memandang sesuatu secara teoritik, tapi buku ini juga meletakkan pandangan dari perspektif yang lebih realistik, berangkat dari pengamatan langsung penulis terhadap perempuan dan dinamika sosiol-budaya di lingkungannya yang nota bene lingkungan pedesaan. Sebab selama ini kaum feminis banyak membahas kaum perempuan dan ketertindasan kaum perempuan dari perspektif perkotaan.

Urut-urutan tulisan sudah pas, dibuka dengan esai tentang sejarah, yaitu “Menjadi Kartini Masa Kini”. Di sini Dian membicarakan bagaimana seharusnya peringatan Kartini juga harus membuat kita semua, khususnya kaum perempuan menekankan pada refleksi tentang gagasan agar kita mendapatkan kesadaran. Menurut Dian gagasan kartini yang harus kita warisi adalah gagasan tentang anti-kolonialisme dan anti-feodalisme. Kartini bukan seorang yang hanya tunduk patuh pada tradisi, tapi dia mempertanyakan dan melawan semampu ia melakukannya. Hal yang harus dijadikan inspirasi adalah bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang menyukai ilmu pengetahuan.

Saya juga suka tulisan/esai yang berjudul “Citra Perempuan dalam Sajian Iklan”. Meskipun kajiannya adalah tentang media lama (old media), tak masalah bagi kita yang sudah berada di era “new media” karena yang namanya kajian sosial bisa lintas waktu. Ya, era media sosial dengan media baru seperti facebook, tiktok, Instagram juga merupakan fenomena baru yang barangkali membuat kita bisa mendiskusikan kembali citra perempuan di media sosial sebagai media baru (new media) era sekarang ini. Mungkin ini bisa jadi kajian selanjutnya oleh penulis asal Desa Ngembel Watulimo yang aktif sebagai anggota BPD dan pengurus Karangtaruna Kecamatan ini.

Saya yang juga pernah mengalami masa dominasi media lama, seperti TV, bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Dian. Iklan Televisi memberi citra pada perempuan yang disodorkan pada masyarakat. Iklan melalui media kapitalis yang hanya bermaksud untuk mempromosikan produk-produk juga menghadirkan kaum perempuan.

Di sini masyarakat dibentuk pemaknaannya. Iklan membentuk pemaknaan perempuan akan tubuhnya. Bukan hanya iklan sabun, kosmetik, peramping tubuh, pemutih kulit, iklan sampo, dll. Tapi juga iklan rokok yang merupakan produk yang banyak dikonsumsi laki-laki, juga memanfaatkan (mengeksploitasi) perempuan. Iklan sepeda motor dan mobil juga demikian.

Nah, kemudian tampaknya yang paling menarik dalam buku ini adalah tema tentang “kelajangan”. Bagaimana tidak, penulisnya adalah serang lajang atau “jomblo”—yang juga sering “declare” sebagai jomblo fundamentalis. Untuk membicarakan posisi kelajangan (bukan kejalangan), dian berangkat dari film pendek yang beberapa tahun lalu sangat ‘viral’, yaitu film “Tilik”.

Tokoh utama film ini adalah Bu Tejo yang “nggosip” (bergibah) di bak truk dalam perjalannya mau “tilik” orang sakit. Film ini layak mendapatkan kajian dari berbagai aspek kapan hari. Saya sendiri juga pernah menulis ulasan tentang film itu di status facebook saya. Sosok bu Tejo, sebenarnya bisa jadi inspirasi sebagai sosok komunikator yang handal karena ia memerankan peran sentral dalam film itu. Dari perspektif ilmu komunikasi, Bu Tejo menjadi komunikator yang baik, karena ia berdiri di tengah bak truk dan ia mengendalikan perbincangan karena mulutnya yang rajin menyemprotkan kata-kata.

Tapi dalam ulasannya, Dian Meiningtyas lebih fokus pada bagaimana sosok Dian yang menjadi bahan gosip Bu Tejo dan ibu-ibu. Dian, kebetulan namanya sama dengan penulis buku ini, diperbincangan dengan stereotif yang dibentuk oleh masyarakat yang diwakili oleh ibu-ibu. Kenapa demikian? Karena Dian yang fokus karir, cantik dan menarik perhatian, dan tidak memakai jilbab tampaknya dianggap sebagai perempuan yang merusak keumuman bagaimana perempuan di pedesaan harus memerankan diri dan mempersepsi diri.

Tokoh Dian dalam film ini jadi bahan “rasan-rasan” karena kerap pergi ke mall, berhubungan dengan pria yang sudah berumur di mana hal tersebut dilihat dari unggahan medsos Dian. Perempuan yang menonjol perannya dan aktif tanpa membatasi pergaulan dijadikan bahan pergunjingan di sini. Ya, posisi Dian yang lajang juga menjadi bahan pergunjingan. Saya sepakat dengan Dian penulis buku ini bahwa “menikah adalah salah satu alternatif mencari kebahagiaan, bukan satu-satunya kebahagiaan”.

Saya tahu kenapa Dian berkata begitu, ya karena saya kenal dia sebagai satu-satunya perempuan yang mengaku sebagai jomblo fundamentalis, artinya ia tak masalah dengan status kejombloannya yang membuat situasi ini beresiko baginya ketika sering berada di desanya (Ngembel, Watulimo) dan di desa sekitarnya. Saya tahu Dian tak tertekan dengan status jomblonya karena, perempuan yang menikmati proses belajar, berorganisasi, dan menulis yang menyenangkan yang dijalaninya—hal itu lebih menyenangkan baginya daripada menikah. Ya saya jadi ingat, seorang penulis perempuan dari Amerika yang berkata: “Bahkan kenikmatan menulis itu lebih besar daripada kenikmatan yang didapat dari hubungan seks.”

Dalam buku ini Dian juga menuliskan tentang aktivitas perempuan di Desanya (Ngembel). Melalui esai yang berjudul “Tikar Pandan dan Sumber Penghidupan Perempuan di Desa Ngembel” tampaknya Dian ingin mengapresiasi kegiatan produktif perempuan di desanya (Ngembel) yang mempunyai kesibukan membuat tikar pandan. Ini adalah kegiatan sambilan para ibu-ibu yang dilakukan di sela-sela kegiatan domestiknya di rumah. Tentunya di sini diuraikan bagaimana alur produksi dan distribusi karya yang membutuhkan ketelatenan dan tentu saja ketelatenan ini adalah karakter perempuan.

Nah, tiba pada tawaran teoritik feminisme yang saya singgung di atas, yaitu esai yang berjudul “Ekofeminis: Cara Pandang Relasi Perempuan dan Alam”. Ini adalah tema yang paling saya sukai sejak saya kuliah.

Sebenarnya ini adalah aliran feminisme khas masyarakat timur seperti kita. Kebetulan para penggagas eko-feminisme ini juga berasal dari masyarakat Timur. Salah satu pemikir eko-feminis yang pernah saya baca saat masih keranjingan baca buku dulu adalah buku eko-feminisme Vandana Shiva, seorang pemikir dan aktivis perempuan dari India.

Pandangan eko-feminisme ini kalau kita terapkan dengan baik sebenarnya memberi landasan filosofis yang kuat bagi upaya menciptakan keadilan antara sesama manusia sekaligus hubungan antara manusia dengan alam. Sebuah pandangan feminis yang menggali konsep keadilan berbasis alam dan juga kedaulatan alam. Salah satunya, ekofeminisme meletakkan bumi yang ditinggali manusia ini dalam kacamata yang feminim. Bumi dipadankan dengan sosok ibu/perempuan. Ibu Pertiwi, Ibu Bumi, lalu konsep ketuhanan juga demikian, misal Dewi Sri (dewi padi). Padi sumber makanan yang menghidupi. Jadi konsep-konsep ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan itu basisnya adalah meletakkan sosok perempuan sebagai pemberi kehidupan, pembagi kehidupan, pencipta keadilan, dan representasi lingkungan alam yang harus dilestarikan.

Kebetulan tema kepemimpinan perempuan juga semakin menarik. Bahkan kemarin saya diajak diskusi dengan Bu Novita karena beliau sedang menyusun buku tentang “Motherhood Leadership” dan ternyata beliau juga secara piawai mampu menyampaikan gagasannya dengan baik tentang perempuan memimpin yang dianggap punya kelebihan dibanding kepemimpinan laki-laki. Kemarin saya sampaikan pada beliau bahwa saya setuju tentang kelebihan kepemimpinan perempuan karena secara naluriah perempuan itu memang cenderung mengayomi daripada memisahkan atau menyatroni.

By nature, perempuan sudah punya karakter adil karena ia punya rahim sedangkan lelaki tidak. Kenapa demikian? Karena rahim itu menumbuhkan dan membagi hidup dengan calon bayi yang nanti menjadi anak. Selama sembilan bulan perempuan menjadi pelindung calon kehidupan baru dalam perutnya, dan calon makhluk hidup ini menyerap bahan-bahan kehidupan dari seorang ibu (perempuan). Jadi, kepemimpinan berbasis rahim ini adalah salah satu istilah yang paling pas, yang menjadi dasar kenapa perempuan itu sudah naluri—tanpa diberi pelajaran pun—bahwa mereka sudah membawa konsep dan karakter keadilan, kepekaan, naluri berbagi, perempuan sudah terlatih. Berbeda dengan perempuan, laki-laki tidak tahu membagi keadilan dari awal karena mereka memang tidak tahu arti rahim. Perempuan adalah yang paling tahu tentang berbagi keadilan karena memiliki rahim.

Dari tema ekofeminisme jelaslah kemudian teori dan pandangan ini digunakan untuk melihat isu yang sedang beredar di Trenggalek, yaitu isu penambangan emas yang oleh sebagian masyarakat ditolak karena alasan-alasan yang berakibat dengan alasan alam dan kemanusiaan.

Dian juga menulis tentang demokrasi elektoral (pemilu dan pemilihan) di pedesaan. Ia juga bicara soal anak di era milenial, tentang pendidikan seks dan lain-lain. Meski tidak semua topik tentang perempuan dapat terangkum dalam buku ini, setidaknya buku ini adalah ikhtiar untuk mengangkat wajah perempuan pedesaan dalam sebuah bingkai berpikir oleh penulis yang nota bene adalah perempuan desa itu sendiri.***