Perempuan dalam Spirit Demokrasi Pemilu

7 0

Read Time:2 Minute, 21 Second

Oleh Lilik Hanafiah*)

RUMAHBACA.ID – DEKADE kedua abad XXI demokrasi telah menjadi kerangka nilai tatanan negara yang banyak dianut oleh sebagian besar negara di belahan dunia. Laporan data internasional IDEA 2020 menyatakan, dunia terdiri dari 97 negara demokrasi, 28 negara hibrida, dan 31 negara nondemokrasi. Ini menunjukan bahwa kurang lebih 60 persen negara di dunia menganut sistem demokrasi yang diikuti oleh kurang lebih 4 miliar atau separuh jumlah penduduk dipermukaan bumi.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi telah menyepakati pemilihan umum menjadi instrumen sirkulasi pergantian elit pemimpin secara aman dan damai. Dalam konteks membangun demokrasi tersebut tentu saja membutuhkan dua pilar utama, yakni popular control atau kendali oleh rakyat, dan political equality atau kesetaraan politik. Ketika suara rakyat memegang kendali dan separuh dari populasi Indonesia adalah perempuan, maka kendali itu ada pada suara perempuan.

Selain itu, kendali rakyat membutuhkan adanya representasi dari semua warga negara melalui political equality sehingga harus dapat memberikan peran serta yang setara kepada perempuan. Data KPU RI pada pemilu 2019 menunjukkan suara pemilih perempuan semenjak pemilu 1999 hingga pemilu 2019 semakin meningkat setara bahkan melebihi dengan jumlah suara pemilih laki-laki. Dengan demikian menjadi sangat ideal bila pemenuhan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu diberikan konsistensi.

Sejak awal reformasi pemilihan umum dalam sejarah penyelenggaraanya tidak pernah terlepas dari peran dan kiprah sosok perempuan. Bertitik tolak dari hal tersebut dalam agenda membangun spirit demokrasi pemilu, maka peran dan kiprah keterwakilan perempuan diharapkan sama dan setara dengan laki-laki. Data Puskalpol UI menunjukkan semenjak pemilu 1999 hingga pemilu 2019, afirmasi pemenuhan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu semakin tahun semakin menurun, baik dari tingkat pusat hingga daerah.

Bahkan, di lapisan bawah penyelenggara pemilu tingkat kecamatan dan desa, peran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu belum mendapatkan ruang yang sama dan setara. Oleh karena itu, konsistensi pemenuhan keterwakilan perempuan dilembaga penyelenggara pemilu diharapkan dapat dibangun kembali sebagaimana diamanatkan konstitusi.

UUD 1945 pasal 24H ayat (3) mengamanatkan, bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Norma pasal tersebut dapat menjadi tuntutan dan landasan etis terkait dengan aturan hierarkis ketika ingin menjabarkan dan mewujudkan tentang bagaimana pemenuhan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu. UU No. 7 tahun 2017 pasal 92 ayat (11) dengan tegas menyebutkan, bahwa komposisi keanggotaan penyelengara pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Artinya terbukanya ruang lembaga penyelenggara pemilu sejatinya telah dijamin oleh kontitusi dan undang-undang.

Lembaga penyelenggara pemilu adalah garda terdepan potret demokrasi elektoral Indonesia. Hadirnya afirmasi keterwakilan perempuan akan dapat memberikan keyakinan positif kepada publik, bahwa sebuah lembaga yang dibangun berdasarkan sistem demokrasi modern tidaklah melihat perbedaan jenis identitas, tetapi berdasarkan pada kualitas dan integritas. Sejalan dengan prinsip tersebut maka sudah cukup alasan untuk dapat mewujudkan demokrasi pemilu yang jujur dan adil.

*) Lilik Hanafiah, perempuan pemerhati pemilu

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %