Nilai-Nilai Indonesia dan Pendekatan Kebudayaan (2)

Mangkatnya Elizabeth II di Britania Raya pada Agustus kemarin mungkin dapat dijadikan semacam studi oleh para budayawan di Indonesia. Beberapa aspek dalam perpindahan kekuasaan (yang menyangkut ketatanegaraan) sampai aspek keagamaan (berupa simbol keagamaan) ternyata juga memberikan ruang besar bagi kebudayaan yang diemban oleh warga Britania Raya untuk membangun identitas nasionalnya. Selain itu Kerajaan Kesatuan dan Britania Raya juga memiliki kesamaan fisik dengan Republik Indonesia, yakni negara kepulauan mereka juga memiliki warga yang berasal dari berbagai wilayah dunia.

Warga Britania Raya terdiri dari masyarakat yang majemuk, mengingat mereka juga menjadi tumpuan migrasi bagi para warga mantan jajahannya (baik itu dari Afrika, Kepulauan di Kawasan Karibia, hingga Asia Selatan, Australia, Selandia Baru dan negara kepulauan lain). Bagi warga negara Wilayah Persemakmuran (Commonwealth Realms), yang agak berbeda dengan Commonwealth Nations yang memiliki kepala negara sendiri, Ratu Elizabeth II adalah kepala negara mereka. Kebanyakan dari kemerdekaan negara-negara tersebut adalah melalui pemberian bukan melalui upaya diplomasi dan pertempuran bersenjata seperti yang dilakukan oleh para Pendiri Bangsa dan Negara cikal bakal Republik Indonesia.

Selama lebih dari 8 hari, baik melalui penyiaran mau pun streaming online, warga dunia melihat berbagai perwakilan komunitas warga Britania Raya memenuhi sisi jalan yang akan dilewati oleh mobil jenazah Ratu Elizabeth II saat jenazahnya dibawa dari Balmoral menuju ke Aberdeen dan selanjutnya London dan akhirnya Kastil Windsor. Penyiaran dan streaming menunjukkan pula ketertiban warga yang saat meletakkan karangan dan buket bunga-bunga dan boneka beruang Paddington di berbagai tempat tinggal keluarga kerajaan yakni Balmoral, Buckingham, mau pun Windsor.

Di sisi lain warga ingin mengucapkan terimakasih mereka atas pengabdian Sri Ratu dengan rela mengantri mengular sampai berkilo-kilometer jauhnya demi mendapatkan kesempatan memberikan penghormatan terakhir bagi kepala negara mereka yang disemayamkan di Westminster Hall, di London selama 4 hari 4 malam.

Antrian selama 24 jam selama 4 hari 4 malam tersebut memberikan gambaran bahwa yang datang melayat adalah para warga baik tua, muda, pria mau pun wanita, bahkan antara rakyat biasa dengan para selebriti dan pejabat. Fakta lain yang mengejutkan adalah para warga yang mengantri terdiri dari berbagai warga negara yang bahkan tidak memiliki pertalian tradisional dengan Britania Raya. Britania Raya biasanya disebut sebagai kolonialis pada abad XIX dan sebelumnya.

Baca juga:  Menerawang Wajah Islam Indonesia di Abad 21

Di sisi lain para pengantri yang berdiri dan tertib selama belasan jam menjadi saling mengenal dan membentuk komunitas tersendiri. Hal ini diakui oleh mereka sendiri yang kemudian saling bertukar nomor telpon dan media sosial untuk menjaga silaturahmi di antara mereka. Salah satu kasus yang paling menarik adalah saat David Beckham, mantan skuad sepakbola nasional Britania Raya juga mantan pemain Klub Sepakbola Manchester United, ikut mengantri selama 13 jam dan sempat membelikan cemilan donat kepada orang sekitarnya.

Pada kenyataannya, para warga London dan sekitarnya banyak yang menjadi tenaga sukarela dalam menjadi petugas antrian. Bahkan di antara mereka ada yang mengirimkan paket makanan dan minuman bagi para pengantri yang diberikan secara cuma-cuma. Selain itu warga Britania Raya berupaya menjadi tuan rumah yang baik bagi para warga dunia dengan memastikan ketertiban dalam acara pemakaman kenegaraan yang dihadiri oleh lebih dari 150 kepala negara dunia dan perwakilannya. Ini suatu tugas yang tidak main-main.

Identitas nasion Kerajaan Britania ini penting dan dapat terlihat dari keselarasan warga yang majemuk di Britania Raya. Perilaku warga masyarakat selama waktu masa berkabung ini mengacu kepada beberapa hal penting. Selain rasa hormat kepada kepala negara mereka, warga juga memiliki kesamaan tujuan yakni warga Britania menginginkan diri mereka menjadi nasion yang kuat dan sejahtera, terbukti dengan datangnya para warga dari negara-negara bekas jajahan mau pun yang bukan untuk mendapatkan kesempatan bekerja dan memiliki masa depan yang baik bagi keturunannya.

Kebanggaan mereka sebagai negara pertama yang menghapus perbudakan secara sah demi hukum pada tahun 1833 juga merupakan tonggak identitas mereka. Kerajaan bahkan membayar pinjaman uang untuk membebaskan 800.000 budak di wilayah kerajaannya secara mencicil. Cicilan itu baru selesai dibayarkan oleh Kerajaan pada tahun 2015. Simbol-simbol utama lainnya adalah adat istiadat kerajaan yang telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun dan tetap dipertahankan dan tetap relevan bagi rakyatnya.

Baca juga:  Dari Madura hingga Australia: Membaca Wajah Orang Indonesia di Tengah Wabah Corona

Semua upacara yang dilaksanakan dipenuhi dengan simbol-simbol kenegaraan dan kebangsaan yang telah dilaksanakan dan dihormati secara baik, mau itu berasal dari Skotlandia, Irlandia Utara, Inggris, mau pun Wales yang menunjukkan kepulauan suatu kerajaan kesatuan (United Kingdom) yang dipersatukan di dalam entitas bersama bernama Britania Raya.

Kesemua simbol memenuhi kepentingan semua kerajaan yang bersatu itu adalah berbagai perwakilan dari para warga kerajaan tadi seperti para pengawal pribadi yang berasal dari semua kerajaan tadi yang silih berganti berjaga (vigil) pada tempat mendiang disemayamkan, juga warna, jenis bunga, bahasa yang dipergunakan, selain juga simbol-simbol ketentaraan yang mengikutinya. Ketertiban mereka dalam mengantri dan taat aturan di ranah publik – yang secara mengejutkan mampu membuat para pelayat tidak mengambil selfie dan foto-foto di Westminster Hall – membuka mata di antara para warga dan komunitas Britania Raya sendiri.

Ketaatan dan ketertiban serta keuletan untuk tetap mengantri setia selama berjam-jam menunjukkan adanya keinginan dan identitas yang mengikat para anggota komunitas. Ada pula keterikatan karena kebanggaan dan nilai-nilai yang ditunjukkan melalui ketangguhan dan profesionalisme para anggota tentara kerajaan Britania Raya yang mempertebal kebanggaan identitas warga, karena mereka melaksanakan prosesi pemakaman secara presisi dan nyaris tanpa cela di hadapan semua orang dan bahkan disiarkan melalui penyiaran dan streaming secara langsung.

Kesemua hal ini dapat diteladani oleh para budayawan dan pengambil keputusan di Republik Indonesia bahwa untuk kepentingan jangka panjang, negara Republik Indonesia sebaiknya menggunakan pendekatan kebudayaan dalam rangka menjalankan amanat para Bapa Pendiri Bangsa pada mula-mula. Cita-cita Kemerdekaan Indonesia adalah negara yang memiliki kehidupan kebangsaan yang bebas (termasuk kemajemukan yang harus dipelihara dan dilestarikan), memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat diartikan secara sederhana demi menumbuhkembangkan warganya menjadi warga yang sejahtera di suatu negara yang berdaulat.

Baca juga:  Wikulokika, Ulama Su’ dalam Sastra Sunda Kuna

Dapat pula dicamkan bahwa penjaga budaya dan pengambil keputusan di Republik Indonesia bukan satu-satunya pihak yang dapat membangun identitas. Penjaga budaya di sini bukan hanya seniman terkenal mau pun para pejabat di suatu kementerian atau pun pada posisi di lingkup pemerintahan daerah. Malah sebaiknya, para penjaga budaya juga terdapat pada tatanan keluarga sendiri, yakni para senior seperti orangtua, tulang, nantulang, kakak dan abang.

Melalui mereka diharapkan beberapa hal dapat dicapai yakni transfer nilai-nilai kekeluargaan dan kebudayaan yang relevan serta memastikan keluarga tetap dapat meneruskan nilai-nilai tersebut bagi orang sekitarnya dan keturunannya. Dengan nilai-nilai yang dilakukan secara turun temurun, maka komunitas terbentuk dan karenanya dapat dijadikan sebagai identitas yang membuat Indonesia semakin kaya.

Tidak dapat pula dilupakan pengaruh transfer nilai pada tataran pendidikan seperti guru, dosen, bahkan pada posisi non formal lainnya. Tanpa identitas yang pasti, Indonesia sebagai nasion akan mengalami ketergerusan yang akan berakibat kerugian bagi kemajemukan di dunia.

Di sisi lain adalah masyarakat adat yang ada di Indonesia yang terkadang tidak hanya dilaksanakan oleh satu suku bangsa saja. Pada kenyataannya kebiasaan religi juga merupakan tali yang kuat mengikat suatu suku bangsa tertentu. Para anggota adat yang terdapat di wilayah Republik Indonesia juga memiliki tujuan dan simbol-simbol yang telah berusia ratusan tahun dan tetap memiliki relevansi dalam kehidupan hingga hari ini.

Mungkin selayaknya para pengampu kepentingan di Indonesia memulai dari apa yang bisa dilakukan dulu dan berada di tangan masing-masing pada saat ini sebelum selalu meminta negara untuk mengesahkan suatu kebijakan dan peraturan perundang-undangan negara yang bersendikan hukum dan karenanya bersifat punitif. Mungkin Indonesia dapat mencontoh Raja Kertanegara dengan menggunakan pendekatan kebudayaan agar impian mula-mula akan Indonesia yang sejahtera tetap lestari sampai generasi-generasi yang akan datang.

Daftar Pustaka:

  1. Putri, Risa Herdahita, 26 Agustus 2019, Majalah Online Historia, https://historia.id/kuno/articles/dharmasraya-kerajaan-kuno-di-sumatra-barat-DWqNk/page/2
  2. Henry, Natasha L, Britannica, https://www.britannica.com/topic/Slavery-Abolition-Act

https://alif.id/read/jso/nilai-nilai-indonesia-dan-pendekatan-kebudayaan-2-b245528p/