Ngaji Film: The Shack & Ketuhanan

Mungkin gambar 1 orang
Oleh Dr. Abdul Wahhab Ahmad, Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Jember

Anda sudah nonton film “The Shack”? Kalau belum, Anda melewatkan satu film yang asyik dan penuh makna di tahun 2017 ini. Film adaptasi dari novel karya William P. Young ini menuai kritik dan pujian dari kalangan Nasrani sebagaimana novelnya satu dekade yang lalu. Bagaimana tidak, Tuhan dalam akidah Nasrani ditampilkan dalam wujud tiga orang yang saling terhubung; Seorang wanita berkulit hitam yang menjadi “Papa” kata lain bagi Bapa, seorang wanita Asia yang memakai nama Hindu “Sarayu” sebagai gambaran sosok roh kudus dan seorang tukang kayu dengan wajah khas Yahudi yang mewakili sosok Yesus. Bisa dimaklumi bukan kalau para pastur menyebut film ini “murtad”. Sebaliknya, sebagian penonton Nasrani justru memujinya sebagai cara kreatif.

Oke, saya tak akan membahas soal portrayal (penggambaran) itu, biarlah itu jadi perdebatan di kalangan internal sahabat-sahabat Nasrani. Yang menarik adalah bagaimana film itu mencoba mengajak penonton untuk “memahami” cara kerja Tuhan; bagaimana bisa Tuhan yang Maha Kuasa kok tega mengorbankan anaknya (di tiang salib), bukankah itu jahat sekali? Lebih-lebih Yesus di tiang salib dengan jelas mengatakan: Tuhan… Tuhan… kenapa Engkau meninggalkanku? Bagaimana bisa Tuhan membiarkan Missy, seorang gadis kecil tak bersalah, dibunuh dengan sadis oleh psikopat misterius, bukankah berarti ia mengabaikan hamba yang sedang membutuhkan-Nya? Bagaimana bisa Tuhan membiarkan semua jenis kejahatan di dunia terjadi padahal katanya Ia Maha Pengasih?

Gugatan-gugatan tersebut ditampilkan dengan apik dalam lakon Mack, ayah Missy, seorang pria yang ketika masa kecilnya menjadi korban penganiayaan ayahnya sendiri dan ketika dewasa kemudian sangat terpukul dengan kematian putri kecilnya, Missy. Di manakah Tuhan saat itu semua terjadi? Dan, akhirnya Papa (sebutan untuk Tuhan) mengirim surat kepada Mack agar mengunjunginya di sebuah gubuk tempat putrinya dibantai untuk menjelaskan semuanya.
Di gubuk itu, Mack tinggal sepekan bersama [para] Tuhan. Untuk meyakinkan Mack, Papa bersama Sarayu dan pria yang memerankan Yesus (tak disebut namanya) memperlihatkan serangkaian kejadian luar biasa. Dari situ Mack yang awalnya menggugat Tuhan menjadi sadar dan berbalik cinta pada Tuhan dan memahami hikmah di balik setiap kejadian.

Dalam salah satu adegan, Mack disuruh memilih mana di antara kedua anaknya yang masih hidup yang harus masuk neraka. Keduanya ternyata punya kenakalannya masing-masing yang dilakukan tanpa sepengetahuan Mack. Namun, ia tak bisa memilih salah satunya untuk masuk neraka. Tetapi ia tetap diharuskan memilih, akhirnya ia memohon agar kedua anaknya diselamatkan dan biarlah dia saja yang menggantikan mereka masuk neraka. Akhirnya Mack sadar kenapa Yesus memilih mati di tiang salib demi menebus dosa anak-anaknya. Itu cinta, bukan tega.

Di saat yang berbeda, Mack mendapatkan dirinya hampir tenggelam di danau, padahal sosok Yesus yang menyuruhnya ke sana. Akhirnya ditegaskan bahwa Mack tenggelam hanya karena kekurangannya sendiri yang tak percaya bahwa Tuhan bersamanya. Ketika Mack mulai percaya kehadiran Tuhan, maka ia pun selamat dan bahkan bisa berjalan di atas air, bersama bantuan Tuhan tentunya.

Akhirnya, Sang Papa, dalam wujud wanita berkulit hitam, mengatakan pada Mack bahwa semua kesedihanmu itu bukan perbuatanKu, itu ulah setan. Aku selalu menyayangimu. Mack pun menangis.

Oke.. Oke.. Saya tahu ini panjang, kita sudahi sampai di sini ceritanya meski banyak adegan lain yang mengandung hikmah. Tapi, apakah ada dari anda para pembaca yang mengerutkan dahi ketika membaca kisah dalam adegan itu? Kalau iya, selamat, berarti anda kritis.

Bila sang Papa memang berkuasa mutlak, maka seharusnya tak ada yang bisa membuatnya merasa terpaksa hingga ia memilih mengorbankan anaknya di tiang salib guna menebus dosa hambanya. Kan tinggal ampuni saja dosa mereka? Beres tak perlu pengorbanan apapun. Toh, kalau Tuhan menebus dosa, ditebus ke siapa? Siapa yang bisa membuat Tuhan merasa terpaksa? Bila penebusan dosa di tiang salib adalah kebenaran, maka orang-orang Yahudi yang memaku Yesus di tiang salib lalu menusuk perutnya itu seharusnya menjadi pahlawan sebab tanpa mereka tak akan ada kejadian penting itu, betul bukan?

Selain itu, bila Tuhan memang maha kuasa, tentu tidak ada kuasa lain yang bisa menandinginya, tak terkecuali setan. Pengakuan bahwa keburukan dan kejahatan itu di luar kekuasaan Tuhan hanyalah pengakuan bahwa itu bukan Tuhan sejati sebab kekuasaannya terbatas. Alasan inilah yang membuat banyak warga Eropa dan Amerika memilih menjadi ateis karena bagi mereka tak masuk akal bila mengatakan bahwa Tuhan yang maha Kasih itu ada tapi dalam waktu yang sama kita melihat berbagai keburukan dan kejahatan yang katanya ulah setan. Itu berarti Tuhan tak ada sebab kalau memang ada pasti keburukan dan kejahatan itu dimusnahkan, kata mereka yang ateis itu.

Mari kita abaikan dulu keberadaan Tuhan yang digambarkan jadi tiga sosok tapi satu dan Yesus yang katanya 100% tuhan tapi juga 100% manusia ataupun unsur Bapa yang 100% tuhan, unsur Yesus 100% tuhan dan unsur Roh kudus yang juga 100% tuhan tapi ketiganya tidak menjadi 300% tuhan. Ini di luar bahasan film itu meskipun menarik dibahas.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menuntun kita ke agama Islam sehingga tak perlu berhadapan dengan berbagai kontradiksi seperti di atas. Akidah Islam bersih dari segala kontradiksi, semuanya bisa dijelaskan dengan mudah tanpa perlu argumen yang berbelit dan logika yang susah dipahami.

Allah itu satu (ahad, benar-benar satu bukan gabungan dari beberapa unsur dan tidak bisa dibagi menjadi beberapa unsur), tak beranak dan tak dilahirkan, tak ada kuasa yang dapat menandingi-Nya atau apapun yang menyamai-Nya (laisa kamitslihi syai’), semua selain dirinya butuh kepada-Nya (as-Shamad) tetapi Dia sama sekali tak butuh pada yang lain (qiyamuhu bi nafshi). Allah bisa memaafkan semua dosa tanpa perlu membuatnya ditanggung siapapun kecuali oleh mereka yang melakukan dosa itu sendiri (la taziru waziratun wizra ukhra). Allah meminta hamba-Nya bertanggung jawab atas perbuatan mereka tapi Dia tidak perlu bertanggung jawab pada siapapun sebab Allah sudah di puncak tertinggi dari semua kuasa (al-Muta’ali). Semua kebaikan dan keburukan terjadi hanya atas kehendak-Nya (Muridun).
Simpel bukan akidah itu? Tapi tunggu, kalau Allah sehebat itu, lalu mengapa Allah membiarkan kejahatan dan aneka keburukan terjadi? Bukankah pembiaran terhadap kejahatan adalah kejahatan? Kalau semua hal buruk yang dilakukan dan dialami manusia semua atas kehendak-Nya, lalu di mana keadilan-Nya?

Sabar… Saya tahu anda penasaran, tapi sebelum kita bahas itu, marilah kita sejenak melihat kejadian di sekeliling kita. Apa yang dilakukan seorang arsitek sebelum membangun maha karya? Ia merusak lingkungan yang ada untuk menciptakan lahan dan bahan. Pernahkah kita bertanya di mana keadilan ketika rumput yang tidak berdosa harus dicabut dari akarnya agar taman menjadi indah atau agar petani bisa menanam padi? Kenapa pula petani membakar gabah mereka yang rusak dan hanya mengolah yang baik saja padahal semua itu adalah hasil keringatnya sendiri? Nah.. Saya yakin jawaban atas pertanyaan sebelumnya sudah mulai jelas.
Apa yang kita nilai sebagai hal baik dan hal buruk sebenarnya tak lebih dari perasaan enak dan tak enak. Bila enak ke kita, maka kita bilang baik. Sebaliknya bila tidak enak, maka kita bilang buruk. But, let see the bigger picture, kita lihat gambaran besarnya; ternyata dari aneka kejadian yang tidak enak itu kita bisa belajar banyak hal dan ilmu manusia semakin bertambah.

Manusia takkan membutuhkan satu sama lain kalau semua sempurna. Para peneliti takkan menghasilkan karya kalau belum mengalami serangkaian kegagalan. Takkan ada obat dan dokter bila tak ada penyakit. Bahkan tanah liat akan tetap diinjak bila ia menolak diolah dan dibakar.

Oke, mungkin ada yang bertanya: tapi bukankah selalu ada korban dalam proses yang penuh hikmah itu? Ya, betul. Selalu ada yang mengalami kerugian, kesengsaraan dan bahkan kematian, tapi mereka semua akan dibalas dengan tempat terindah nantinya, di surga. Allah yang Maha Adil selalu memberikan ganti yang lebih baik atas apa yang Ia ambil secara paksa dari hamba-Nya, tidak seperti kita yang hanya bisa mengambil tanpa mampu mengganti. Kita makan ayam dan aneka daging tanpa pernah berpikir bagaimana rasa keadilan dari perspektif hewan-hewan tersebut. Kita cabut dan tebang pohon tanpa peduli bahwa itu pun makhluk hidup. Bisakah kita mengembalikan nyawa “mereka” yang kita rampas? Ah… bahkan menginjak semut yang numpang lewat saja kita tak peduli meski semut itu juga punya keluarga. Masih layakkah kita mempertanyakan keadilan Tuhan?

Allah itu memang Maha Pengasih (ar-Rahman), tapi Ia juga Maha Tegas (al-Jabbar) pada makhluk yang sewajarnya diperlakukan dengan tegas. Ia Maha Pemberi rezeki (ar-Razzaq) pada yang Menurut-ya layak diberi, tetapi juga Maha Menahan Rezeki (al-Mani’) bagi yang tidak layak. Begitu seterusnya, Allah punya dua sifat yang saling bertentangan untuk menciptakan keseimbangan. Kalau doa dan harapan semua orang untuk bahagia dikabulkan, maka kacau isi dunia ini; bila harapan penjual es agar cuaca panas selalu dikabulkan, maka bagaimana nasib penjual bakso? Bila harapan kita agar sehat selalu dikabulkan maka dokter kerja apa?

Tetapi, ada kalanya Allah hanya punya satu sifat saja dan tak punya kebalikannya. Ia Maha Hidup (Hayyun) tapi tak punya sifat mati. Ia Maha Melihat (Bashar) tapi tak punya sifat buta. Dan, begitu seterusnya semua sifat sempurna Ia punya dan semua kebalikannya Ia tak mungkin punya. Termasuk di antaranya adalah sifat Maha Adil (al-‘Adl) yang ia punya tetapi maha zalim ia tak punya sebab mustahil Allah berlaku zalim.

Lalu, mengapa ada orang yang dibiarkan celaka tanpa salah, yang dibiarkan tersiksa padahal baik, dibiarkan tersakiti padahal benar, dibiarkan mati padahal sudah hati-hati? Bukankah pembiaran itu sebentuk kezaliman? Begini, kezaliman itu terjadi hanya kalau seseorang melakukan apa di luar haknya. Ketika seseorang merampas hak orang lain untuk bahagia padahal orang lain itu layak bahagia, maka itulah kezaliman. Tapi bila polisi mengurung penjahat dalam sel sebab selayaknya ia dikurung di sana, itu bukan kezaliman tapi keadilan, meskipun rasanya tidak enak bagi si penjahat. Si Polisi itu tidak bisa disebut zalim meski merampas kebahagiaan orang sebab dia melakukannya berdasarkan apa yang sudah jadi hak dan wewenangnya.

Jadi dalam semua kasus yang terjadi, yang bisa tidak adil hanya manusia. Allah tak mungkin bertindak tak adil sebab seisi semesta ini mutlak menjadi hak dan wewenang-Nya saja. Mau ada yang dimatikan atau dihidupkan, dibantu atau dibiarkan sengsara itu hak prerogatif Allah. Sama dengan sepatu milik kita sendiri, mau dibuat menginjak jalan yang mulus atau kasar, tempat bersih atau kotor, itu hak kita, tetangga atau teman tak berhak protes. Bedanya dengan kita, Allah menyiapkan ganti balasan di surga bagi mereka yang “menjadi korban kebijakan”. Lah wong kita, manusia, yang sebenarnya tidak bisa apa-apa ini malah merasa berhak atas seisi planet ini, kenapa Tuhan yang menciptakan seluruh semesta justru mau kita pertanyakan wewenang-Nya?

Semoga kita semua menjadi hamba yang bertakwa dan bertawakal. Inna lillah, kita mutlak sepenuhnya milik Allah, wa inna ilaihi raji’un, dan kepada Allah semata kita akan kembali untuk mendapat kebahagiaan paripurna.

Sekian dulu ngaji filmnya. Semoga bermanfaat bagi keimanan kita semua. Bagi pembaca yang kebetulan Kristen, no offense ya, hadanallah. Salam terindah untuk semua.