Menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama dengan tetangga adalah hal yang tak kalah penting dalam ajaran Islam. Pasalnya, memiliki tetangga yang baik akan membawa keberkahan tersendiri untuk diri kita dalam menikmati hidup, karena jauh dari gunjingan, bahkan satu sama lain saling tolong-menolong, dan mengunjungi tetangganya yang sakit atau mendapat musibah.
Beda halnya dengan tetangga yang usil, mudah iri tiap kali orang lain mendapat rezeki, bahkan tanpa basa-basi mengomentari segala hal yang terlintas di mata mereka dengan tidak menghiraukan apakah tetangganya itu terusik atau tersakiti. Hal itu ditenggarai bisa jadi karena kita sebagai tetangga belum menunaikan hak kebaikan terhadap orang yang bertempat tinggal di sekitar rumah kita.
Salah satu pesan penting yang selalu diperjuangkan oleh para guru sufi adalah menunaikan hak sesama. Hal itu tentu menafikan tudingan bahwa ajaran Jalaluddin Rumi ataupun para guru sufi lain sangat personal dan tidak menyentuh persoalan sosial. Meskipun mungkin secara fisik mereka tidak terlibat langsung dalam memimpin gerakan sosial, tetapi sesungguhnya mereka sedang bergerilya membenahi moral dan karakter masyarakat. Sebagaimana kita telah ditampar dengan statement sarkasme dalam kritikannya kepada kaum Muslimin di ranah sosial.
Rumi dalam sebuah kesempatan kepada murid-muridnya berkata, “Musik yang haram itu adalah beradunya sendok dan garpu orang kaya di meja makan yang terdengar oleh tetangganya yang miskin”.
Pernyataan Jalaludin Rumi diatas menjadi sebuah pesan yang penuh makna. Ia mengingatkan kita bahwa tidak seharusnya seseorang tidak peduli dengan keadaan tetangga yang tinggal di dekat rumahnya. Bahkan jika ada orang yang dengan sengaja menutup mata dari penderitaan orang lain khususnya dalam hal ini tetangga yang membutuhkan, akan menjerumuskannya terhadap suatu perbuatan yang berdosa besar.
Imam Al-Ghazali menambahkan, bahwa tetangga yang miskin di akhirat nanti akan terpaut leher tetangganya yang kaya seraya berkata, “Tuhanku, Tanyailah orang ini mengapa ia enggan menolongku dan menutup pintu terhadapku.” Sikap kewahannya ini sungguh melukai perasaan tetangga yang tidak ditolongnya.
Rumi melalui syairnya mengajarkan kita untuk menjaga perasaan tetangga, terutama mereka yang fakir dan miskin. Rasulullah juga berulangkali memberikan nasihat kepada para sahabatnya untuk menjauhi sifat acuh tak acuh terhadap sesama manusia, namun Beliau Shallahu ‘alaihi wasallam selalu mengajarkan umat Islam untuk berempati, saling membantu, berbagi dengan yang lain, terutama terhadap orang yang berdekatan dengan kita, yakni tetangga kita.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu menyakiti tetanggamu dengan bau masakan kuah yang direbus di dalam periukmu, kecuali kamu memberi kuah kepada tetanggamu sekedarnya.”
Wasiat Nabi diatas mendidik kita supaya menjadi orang yang memiliki sensitifitas dan kepedulian terhadap tetangga bukan malah menyakitinya, apalagi terhadap tetangga kita yang kurang mampu seharusnya kita gemar menolong, berbagi, dan bahkan Nabi memerintahkan kita untuk memberikan sebagian makanan yang telah kita masak, meskipun itu hanya kuah yang sekadarnya.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dan al-Bazzar, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Seseorang belum sempurna Imannya kepadaku apabila ia melewati malamnya dengan perut kenyang, sementara ia tahu ada tetangga disampingnya yang kelaparan.”
Tentu kita sebagai seorang muslim menginginkan iman yang sempurna, dengan menjadi tetangga yang baik, kita perlu memperhatikan apakah tetangga kita sudah merasa nyaman dengan keberadaan kita, ataukah kita sudah peduli dengan keadaan mereka yang ternyata belum makan, sementara kita jauh dari rasa lapar. Wallahu a’alam bisshowab.[]
https://alif.id/read/rrh/nasihat-rumi-dan-dosa-kita-melihat-tetangga-mati-karena-lapar-b246114p/