Mungkinkah Seorang Muslim Menerima Istidraj? Berikut Penjelasan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi

Laduni.ID, Jakarta – Buku-buku yang ditulis oleh Al-Imam Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi apapun judulnya, apapun pembahasannya, beliau sangat sering menekankan tentang makna penghambaan yang sesungguhnya. Mengingatkan bahwa manusia adalah milik Allah seutuhnya, dan mengajarkan bagaimana caranya berinteraksi dengan diri kita yang dimiliki oleh Allah agar terus melakukan tugasnya.

Beberapa hari yang lalu, ketika hamba membaca salah satu buku yang beliau tulis, pembahasan masuk kepada bab Istidraj, yakni Allah tidak memutus kenikmatan dan fasilitas kepada orang yang zalim dan membangkang, bahkan terkadang ditambahkan lebih banyak lagi.

Ada banyak rahasia dibalik istidraj tersebut, diantaranya ketika mereka mendapatkan cucuran kenikmatan dengan keadaan mereka yang lalai dan tidak ingat sang pemberi nikmat, hati mereka akan makin mengeras dan jiwa makin congkak. Semua pintu kekayaan terbuka lebar di hadapan mereka, ketika mereka makin bahagia dengan apa yang mereka peroleh, dan merasa tenang dengan harta yang terus melimpah, Allah ambil nyawa mereka dan dihempaskan ke adzab yang tidak terbayang.

Setelah membaca muqaddimah ini mungkin kita akan menyangka bahwa istidraj hanya akan ada pada orang-orang ahli maksiat, oleh karena itu setelahnya Al-Imam Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi memberikan sebuah pertanyaan, “Apakah mungkin kenikmatan yang dinikmati oleh seorang muslim yang tulus dalam keislamannya juga termasuk istidraj?”

Beliau menjawab, ini adalah hal yang mungkin. Kenapa mungkin? Karena sejatinya kita tidak akan menemukan manusia yang dapat menunaikan hak-hak Allah di tengah rasa lemah dan ketidakmampuan yang menjadi esensi dari diri manusia. Jika begitu, dari mana kita dapat meyakini bahwa semua nikmat dan kebahagiaan yang diberikan oleh Allah merupakan tanda cinta dan kemuliaan, dan tidak ada satupun dari hal tersebut berbentuk istidraj?

Beliau menegaskan, bahwa seseorang yang beriman itu jika bertambah pengetahuan dia tentang Tuhannya, kedekatan dan rasa hormatnya, berbarengan dengan itu harus bertambah juga pengetahuan dia tentang kurangnya khidmat dia kepada Allah. Dia seharusnya bertambah malu, karena tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba.

Sayyidina Umar bin Al-Khattab pernah menangis saat mengurus rampasan perang yang didapat setelah perang al-Qadisiyah di Iraq, beliau takut harta yang diperoleh itu merupakan bentuk istidraj dari Allah. Sayyidina Umar berkata:

اللهم إنك تعلم أن محمد ﷺ كان خيرا مني و لم تعطه كل هذا، و إنك تعلم أن أمير المؤمنين أبا بكر كان خيرا مني فلم تعطه هذا، فأعوذ بك أن تجعله فتنة لي في ديني.

“Ya Allah, Enkau tau bahwa Muhammad ﷺ lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan semua harta ini kepadanya. Engkau juga tau bahwa Abu Bakr lebih baik dariku, tapi Engkau juga tidak memberikan kepadanya. Maka aku berlindung kepadaMu agar harta ini tidak menjadi fitnah dalam agamaku.”

Ada dua hal yang membedakan antara nikmat yang turun karena istidraj, dan nikmat yang diberikan sebagai tanda cinta dan kasih sayang. Pertama, jika nikmat itu diberikan sedangkan hamba sedang asik bermaksiat, maka nikmat itu adalah istidraj.

Kedua, jika hamba tersebut menerima nikmat itu dengan penuh rasa syukur kepada Allah, dan tidak terlena dengan nikmat sehingga lupa dengan yang memberi nikmat, maka kenikmatan itu adalah surat cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Allah.

Tapi, jika hamba tersebut menerima nikmat itu sedangkan dia tersibukkan dengan kenikmatan sehingga lupa dengan yang memberi nikmat, ia gunakan fasilitas itu untuk hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah, maka nikmat itu merupakan istidraj.

Oleh: Fahrizal Fadhil


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73345/mungkinkah-seorang-muslim-menerima-istidraj-berikut-penjelasan-syekh-said-ramadhan-al-buthi.html