Muktamar NU Ke-34: Memahami Khittah NU

Oleh Drs. KH. Sholahuddin Al Aiyub, M.Si

“Selama ini khittah NU dipahami bahwa NU tidak boleh berpolitik. Itu menyalahi kenyataan sejarah, karena para muassis NU berpolitik.”

KH Ma’ruf Amin

Keterangan foto tidak tersedia.

Pernyataan itu disampaikan KH. Ma’ruf Amin saat peluncuran buku “Historiografi Khittah dan Politik NU” karya Ahmad Baso, di Lampung 22 Desember 2021 kemarin.

Menurutnya, fakta sejarah menunjukkan bahwa Mbah Hasyim Asy’arie dan para muassis NU, saat itu, aktif berpolitik melalui partai. Tujuannya ialah untuk mengubah dan memperbaiki kondisi yang ada, khususnya terkait dengan perumusan kebijakan Pemerintah yang akan berdampak luas pada keadaan warga NU, di mana hal itu sulit dilakukan tanpa NU mempunyai kekuatan politik yang signifikan.

Karenanya, saat itu, NU menjadi bagian dari partai Masyumi. Namun ketika partai Masyumi tidak bisa menyalurkan dengan baik aspirasi warga NU, maka diambil keputusan NU membentuk partai politik sendiri, yaitu Partai NU. Itu terjadi pada medio tahun 1952. Dan saat pemilu tahun 1955, Partai NU menjadi tiga besar partai politik terkuat di Indonesia.

Pada medio tahun 1973, ada kebijakan penyederhanaan partai menjadi hanya tiga partai, yaitu melalui kebijakan fusi parpol yang punya kemiripan ideologi. Maka saat itu NU masuk di dalam Partai Persatuan Pembangunan. Hal itu berlangsung sampai dengan awal tahun 1980an.

Saat dirasa PPP tidak optimal lagi menjadi tempat penyaluran aspirasi warga NU, dan ditambah kondisi saat itu yang mengharuskan NU memberi perhatian lebih pada agenda-agenda jam’iyah selain agenda politik, maka saat itu diputuskan NU tidak berpolitik langsung. Warga NU dibebaskan untuk menyampaikan aspirasi politiknya melalui partai-partai yang ada. Hal inilah kemudian yang disebut-sebut sebagai NU kembali pada Khittah.

Di era pra reformasi tahun 1998, NU semakin terpinggirkan dan tidak masuk “hitungan” dalam penentuan arah politik bangsa, karena NU dipandang tidak punya kekuatan politik riel. Maka dilakukan ijtihad NU harus punya kendaraan politik sendiri. Tapi karena pemahaman kembali pada khittah dipahami bahwa NU tidak berpolitik, maka ijtihad tersebut diwujudkan dengan membentuk partai politik yang khusus menjadi penyalur aspirasi warga NU. Maka lahirlah PKB.

Lebih lanjut Kyai Ma’ruf menyampaikan, dari perjalanan sejarah di atas, sesungguhnya jika khittah diartikan dengan NU tidak berpolitik, itu pemahaman yang kurang tepat. Karena khittah pada hakekatnya adalah garis perjuangan NU, yang salah satunya adalah untuk misi perbaikan (harakah ishlahiyah) terhadap kondisi berbangsa dan bernegara. Di mana hal itu sulit dilakukan tanpa mempunyai kekuatan politik riil melalui partai politik.

Khittah NU itu adalah sebagai organisasi yang mengusung gerakan perbaikan (harakah ishlahiyah), termasuk dalam berbangsa dan bernegara, di mana itu lebih efektif dilakukan jika NU mempuyai kekuatan politik riel. Inilah khittah NU. Khittah ini permanen dan tidak berubah (ats-tsawabit), karena merupakan garis perjuangan organisasi. Tapi Langkah-langkah untuk mewujudkan khittah tersebut sangat kondisional dengan kondisi dan situasi yang ada (mutaghayyirat). Itu yang saya sebut khathawat (langkah-langkah). Jadi ada Khittah dan ada khathawat. Khittahnya tetap, dan khathawatnya yang berubah-ubah.

Fakta sejarah bahwa NU pernah menyalurkan aspirasi politik melalui Masyumi, kemudian membentuk partai NU, kemudian menyalurkannya melalui PPP, kemudian membebaskan warga menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai-partai yang ada, dan kemudian membentuk PKB, itu semua adalah khathawat, artinya langkah-langkah untuk mewujudkan khittah NU dalam melakukan perbaikan.

Ke depan, saat kondisi dan situasinya berubah, tidak tertutup kemungkinan langkah-langkah (khathawat) NU akan berubah mengikuti tuntutan zaman saat itu. Sedangkan khittah NU tetap tidak berubah, yaitu sebagai harakah ishlahiyah. Begitu penjelasan kyai Ma’ruf Amin.

Wacana ini merupakan salah satu potret percikan gagasan di arena muktamar NU ke 34 di Lampung. Selamat bermuktamar dengan ceria.

Lampung, 23 Desember 2021