Miguel Oliveira dan Sikap Seorang Risman

Mungkin ilustrasi satu orang atau lebih

Oleh Dr. Handrawan Nadesul, Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer, Poet

Miguel Oliveira pemenang MotoGP Mandalika 20 Maret kemarin. Dalam wawancaranya setelah kemenangannya, Oliveira menyebut nama Risman, bell boy tempat dia menginap di Lombok.

Kepada Risman dia berjanji akan sebut nama Risman bila ia menjuarai MotoGP, saking terkesan kepada Risman yang selalu melayaninya dengan sepenuh hati. Di depan forum dekat podium, Oliveira sudah menyebutnya. Dunia mendengar nama itu.

Siapa Risman kita tidak tahu. Yang pasti dia sudah menyentuh hati seorang Miguel Oliveira, yang buat Risman mungkin sudah semestinya melakukan tugasnya, boleh jadi dengan hati, karena Oliveira begitu tersentuh.

Soal melayani, soal hospitalitas bagi tamu, siapa pun dia, sesuatu betul. Ada sapaan, ada senyuman, ada ketulusan membantu. Hanya apabila itu keluar dari hati, terasa tulus kita menerimanya. Sapaan yang tulus, senyuman yang tulus, dan layanan yang juga tulus, yang keluar dari hati, yang bukan bagaikan pekerjaan robot, sekadar tersenyum, sekadar menyapa yang terasa mekanis. Saya duga, yang Risman lakukan sepertinya dirasakan Oliveira tulus.

Saya kira yang lainnya yang berada sepihak dengan Risman, seperti Risman juga, cuma kita belum tahu. Maksud saya mengangkat peristiwa ini, bahwa apa pun yang kita lakukan dan kerjakan perlu datang dari hati. Juga ketika kita menyenangkan orang lain. Membuat orang merasa nyaman, merasa senang, juga ibadah.

Banyak peristiwa tak terduga muncul dari orang yang merasa tersentuh oleh seseorang, lalu seseorang itu terangkat nasibnya, jadi karyawannya, jadi anak angkatnya, mengubah nasibnya. Walau tanpa pamrih apapun, tidak rugi melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik, berbuat baik selalu ada buah indah di belakangnya. Mungkin tidak hari ini, tidak saat itu juga berkat itu hadir. Orang beriman yakin itu ada.

Ketika hidup sekarang semakin kurang sentuhan, orang jadi rindu sapaan, bawahan rindu sekadar ditepuk pundaknya oleh atasan, sekadar disapa atasannya, rindu ditanya keadaan keluarganya. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang sudah mapan, sudah jadi orang besar, sudah somebody, rindu sentuhan juga. Itu maka ini menjadi bagian dari konsep customer services.

Orang senang disebut namanya oleh yang belum mengenalnya. Setiap penumpang pesawat kelas bisnis atas instruksi manajemen, perlu menyebut nama yang duduk di kursi bisnis. Orang merasa rindu diperhatikan, dikenal, diistimewakan, dan bukan sebagai nobody.

Hanya orang yang egaliter, yang murah tersenyum, mudah menyapa, menganggap orang lain sebagai sahabat, bersikap friendly. Saya menyaksikan, dan suka heran kalau terhadap yang belum kita kenal, ada saja orang yang tidak mau menyapa, mahal senyuman, padahal sering berpapasan, dingin saja, dan tidak bersahabat. Heran juga padahal dia sosok somebody.

Lumrahnya bahkan orang sekelas figur publik, mesti lebih egaliter, dan lebih sudi menyapa kepada siapa saja, bahkan kepada yang bukan siapa-siapa. Ini bagian dari kecerdasan otak kanan. Bagaimana elok memperlakukan sesama, bahkan terhadap segala makhluk hidup. Terlebih meniscayai kalau semua orang merindukan ada sentuhan ketika kehidupan sekarang sudah semakin membuat kita bagaikan robot-robot belaka. Budaya orang Indonesia tinggi hospitalitasnya, mengajak mampir ke rumah, mengajak makan, dan ringan tangan bahkan untuk yang bukan kewajibannya. Memanusiakan orang lain.

Kurang mau bersahabat, tak patut memperlakukan orang lain, bagian dari lemahnya pendidikan budi pekerti dan tata krama.

Kalau saya menuliskan ini semua, karena sejak kecil saya diajarkan demikian. Merasa heran kalau orang lain tidak melakukannya.

Salam sehat,