Menyiasati Ajal Kematian

Sekurang-kurangnya ada tiga asumsi santifik yang menjadi impian para ilmuwan hingga saat ini, yakni kloning manusia, transplantasi memori, hingga cryosleep (cryonics). Tiga hal tersebut tergambar jelas dalam film besutan sutradara Prancis, Alexande Aja, berjudul “Oxygen” (2021). Sampai sekarang, ketiganya masih menjadi teka-teki yang penuh misteri: bagaimana mungkin kita sanggup membangun strategi untuk menghindari atau memperpanjang umur manusia, yang setiap ajalnya sudah ditentukan oleh Sang Pencipta kehidupan ini?

Perkembangan cryogenic menggelitik hasrat dan keingintahuan manusia (terutama ilmuwan) untuk menemukan cara guna menyelamatkan tubuh manusia dari pembusukan, bahkan secara klinis bisa dihidupkan kembali di kemudian hari (cryonics).

Penemuan teknologi yang spektakuler ini diperkirakan mampu membantu perjalanan luar angkasa antarplanet, bahkan antargalaksi, hingga bisa memakan waktu bertahun-tahun (deep space travel). Dengan cryogenic, para ilmuwan sanggup menidurkan para astronot hingga mengalami hibernasi, sampai kemudian dibangunkan dalam usia yang tetap muda, tidak menua, dan dalam keadaan sehat walafiat. Dengan cara itu, deep space travel menjadi sangat mungkin karena hibernasi akan mampu menghemat konsumsi energi.

Beberapa tahun lalu, para ilmuwan NASA berhasil merancang proyek tersebut dengan nama “torpor”, meskipun proyek itu hanya mampu mempertahankan kondisi hibernasi selama dua minggu saja. Namun, satu hal yang perlu dicatat dari proyek ambisius itu, yakni tubuh yang mengalami tidur panjang (hibernasi), kemungkinan besar, memori dan kesadarannya akan hilang.

Baca juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (1): Ekonomi Pesantren Mampu Bersaing dalam Skala Global

Film “Oxygen” membawa kita pada asumsi saintifik lain yang sulit diwujudkan hingga hari ini, yakni transplantasi memori dari dalam otak seseorang ke dalam tubuh orang lain, atau tubuh hasil kloning manusia. Dengan menginjeksikan memori, para ilmuwan seakan-akan mampu menciptakan keabadian. Padahal, untuk proyek kloning manusia saja, mereka sudah kewalahan dan kalang kabut. Namun, sebagian ilmuwan ngotot, seakan-akan injeksi memori bisa menghasilkan pribadi yang sama dengan pribadi si pemilik memori tersebut.

Film “Oxygen” menyentakkan kesadaran kita pada perdebatan panjang antara paham kaum monisme dan dualisme. Di satu sisi, monisme berpendapat, bahwa segala perbuatan dan aktivitas manusia, termasuk hal-hal abstrak seperti pikiran dan perasaan, merupakan hasil kerja selebral, atau aktivitas kimiawi di dalam otak. Di sisi lain, kaum dualisme berpendapat, bahwa tidak semua aktivitas manusia, terutama kesadaran, dipicu oleh kinerja otak. Sebab, manusia punya kemampuan mengabstraksi dirinya ke luar wujud fisiknya. Inilah yang kita namakan dengan jiwa atau ruh (jamak: arwah).

Bagi paham dualisme, jiwa manusia bisa menerima pengetahuan dan kesadaran dari luar wujud fisiknya. Bagaimana mungkin kaum monisme bisa meyakini bahwa aktivitas di dalam otak adalah pangkal atau sebab dari kesadaran dan pikiran manusia, serta bukan akibat dari kesadaran yang memperoleh limpahan pengetahuan dari luar wujud fisiknya?

Baca juga:  Literasi Konten Youtube (2): Benarkah Menggambar Itu Haram?

Sejak akhir 2014 lalu, sudah tercatat sekitar 250 orang-orang berduit yang sudah mendaftar dalam proyek “torpor’ (NASA). Mereka sudah memesan agar dibangkitkan kembali bertahun-tahun kemudian setelah wafatnya. Meskipun proyek cryogenic itu belum menemukan jawaban pasti, apakah tubuh manusia yang akan dibangkitkan itu kelak memiliki kesadaran baru sama sekali? Ataukah, justru mereka akan menjelma sebagai Liliput, Zombi atau monster Frankenstein?

Film jenius berdurasi 101 menit ini menyentakkan tali renungan kita, hingga memunculkan pertanyaan etis dan estetis perihal kematian itu sendiri. Bagaimana dengan nyawa dan kesadaran manusia? Apakah masalah kematian sebatas pada soal berfungsi atau tidak berfungsinya fisik, termasuk otak manusia? Jangan-jangan proyek ambisius ini justru lebih awal membunuh seorang manusia, sebelum ajal kematian yang sesungguhnya? Atau, boleh jadi proyek cryonics ini bukan demi kelestarian dan kemaslahatan, tetapi justru menciptakan manusia-manusia pikun, pelongo, serta tubuh-tubuh tanpa memiliki kesadaran?

 Pengalaman keberagamaan memberi kita harapan dan keyakinan, bahwa kematian fisik bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW, pernah menyatakan bahwa ketika manusia mati, justru kesadaran dirinya terbangun. Pengalaman yang mendekati ajal kematian (near death experience) seakan menunjukkan pada kita, bahwa ketika aktivitas tubuh fisik melemah, termasuk otak, justru aktivitas jiwa (spirit) semakin meningkat. Dalam kondisi seperti itu, banyak orang yang merasa mendapat limpahan pengalaman mistik atau spiritual.

Baca juga:  Berharap Tuah Singa-Singa Muda

Kita semua tahu, bahwa satu hal yang pasti bagi umat manusia adalah soal hidup dan mati. Kepastian akan kematian ini justru membuat banyak orang merasa cemas dan takut. Itulah yang membuat seorang filosof Prancis, Sartre berpendapat, bahwa hidup manusia menjadi tak bermakna jika ia telah kehilangan ilusi akan keabadian.

Namun demikian, ajaran Islam tidak membenarkan seseorang untuk menghindar atau mengakali kematian, dengan jalan apapun. Obsesi akan keabadian tak bisa dibenarkan, karena ia dianggap melawan hukum alam (sunatullah) yang menjadi keniscayaan. Di dalam ajaran Islam, ada wilayah yang boleh dipelajari secara ilmiah, namun ada juga wilayah ruh atau nyawa yang menjadi hak prerogatif Tuhan.

Sekuat apapun ambisi manusia dengan perangkat sains dan teknologi ciptaannya, tetap mereka akan dibatasi oleh kekurangan dan kelemahan di mana hak prerogatif Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, tak boleh dilanggar oleh kehendak dan obsesi manusia yang bersifat fana dan sementara. Ketika sampai ajalnya tiba, manusia harus memasrahkan diri secara total, bahwa tubuh dan nyawa kita adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nya kita semua berserah-diri…. (*)

 

 

 

https://alif.id/read/muhamad-pauji/menyiasati-ajal-kematian-b243544p/