Mengikat Makna: Konsep Literasi Hernowo (Bagian 3)

Oleh Dr. Zaprulkhan, M.Si, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN Bangka Belitung

Untuk mengenang figur Hernowo, dalam kesempatan terbatas ini, izinkan saya berbagi sekilas konsep literasi dari figur Sang Pengikat Makna ini mengenai konsep besarnya, yaitu konsep Mengikat Makna.

Secara sederhana, mengikat makna merupakan kegiatan yang memadukan antara aktivitas membaca dan menulis. Ketika kita telah membaca sebuah teks atau buku, kemudian kita menuliskan kembali kesan atau makna yang kita dapat dari teks dan buku tersebut secara personal dengan menggunakan bahasa kita sendiri. Menurut Hernowo, membaca sudah pasti merupakan kegiatan yang akan mengajak seseorang untuk berpikir. Memikirkan sesuatu ketika membaca tentu bukanlah memikirkan sesuatu secara sembarangan atau tidak memiliki wujud yang jelas.

Ketika seseorang membaca dan berpikir, cara berpikirnya pastilah sistematis sesuai dengan materi-materi yang dia baca. Dan membaca yang benar adalah membaca yang disertai kegiatan mencerna dan memahami. Inilah berpikir yang benar-benar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi si pelaku membaca. “Saya biasa melanjutkan,” tulis Hernowo, “kegiatan membaca dengan menulis, yaitu menuliskan apa yang saya baca, cerna, dan pahami. Setiap kali selesai membaca, saya harus mendapatkan sesuatu yang penting dan berharga bagi diri saya pribadi. Itulah makna”.

Dalam karya briliannya, Mengikat Makna Update, Hernowo merumuskan tiga pilar utama bagi kegiatan mengikat makna. Pilar pertama, membangun ruang privat. Bagi Hernowo, agar kegiatan mengikat makna benar-benar dapat kita jalankan secara mendekati sempurna, kita harus membangun “ruang privat” sebagai tempat menjalankan kegiatan membaca dan menulis secara terpadu dan saling mendukung. “Ruang privat” adalah sebuah tempat yang di tempat itu hanya ada diri kita—yang lain, tidak ada sama sekali.

Di “ruang privat” milik kita tersebut, kita menjadi pengendali-mutlak seluruh kegiatan kita. Kitalah yang menentukan buku apa yang ingin kita baca. Ketika kita bersiap-siap untuk memulai menulis, kita jugalah yang menentukan mau menulis apa, memulai dari mana, dan menggunakan apa, serta berakhir seperti apa. Jadi, dalam ruang privat ini, kita memiliki kebebasan mutlak dalam membaca dan menulis. Kita memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan buku bacaan yang bisa membangkitkan minat baca kita. Begitu juga, kita mempunyai kebebasan mutlak dalam menulis tanpa terikat kepada konsep, teknik, dan aturan apapun yang diciptakan oleh orang lain.

Kendati demikian, kita tetap tidak dapat membangun ruang privat secara sembarangan. Paling tidak ada dua pijakan utama dalam membungun ruang privat agar aktivitas mengikat makna yang telah kita lakukan benar-benar bermakna yaitu selfish dan AMBAK. Selfish di sini dalam arti mementingkan diri sendiri secara positif, bukan negatif. Dengan bersandar pada definisi Thomas J. Leonard, Hernowo membawa kata selfish untuk mengaktualisasikan potensi menulis kita dalam ruang privat. Ketika belajar mengikat makna dalam ruang privat, kita menerapkan kredo: Menulis Untuk Diri Sendiri (MUDS). “Untuk dapat menerapkan konsep ‘Menulis Untuk Diri Sendiri’, Anda harus mempersepsi bahwa Anda sendirian di muka bumi ini dan Anda harus menghargai bahwa Anda memiliki potensi” tegas Hernowo.

Jadi selfish bukan mengarahkan kita untuk egoistik atau hanya mementingkan diri kita sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Selfish yang kita praktikkan ketika kita menulis untuk keperluan menyingkap dan menjelajah diri kita masih berada di ‘ruang privat’ (MUDS), bukan berada di ‘ruang publik’ (menulis untuk orang lain). Ketika menyingkap dan menjelajah diri kita, lewat kegiatan menulis, kita seakan-akan sendirian di muka bumi. Kita hanya berhadapan dengan diri sendiri. Kita benar-benar hanya mempedulikan diri kita sendiri. Kita pun benar-benar jujur dan terbuka terhadap diri kita sendiri.

“Anda perlu selfish,” tegas Hernowo, “karena Anda ingin benar-benar tahu potensi dan kapasitas diri Anda sebelum Anda berhubungan dengan orang lain atau menulis di ‘ruang publik’. Anda perlu selfish karena Anda tidak boleh menutup-nutupi diri Anda. Dan, ini yang paling penting, Anda perlu selfish karena Anda perlu menggali orisinalitas atau keunikan diri Anda. Hanya dengan selfish-lah Anda dapat melalui langkah ketiga dengan hasil yang sangat memuaskan, yaitu mengungkapkan diri Anda yang orisinal, diri Anda yang unik, diri Anda yang tidak sama dengan diri-diri lain yang ada di sekitar Anda”.

Pijakan selanjutnya adalah AMBAK. AMBAK merupakan akronim dari “Apa Manfaatnya Bagiku?”, yang digali oleh Hernowo dari buku fenomenal, Quantum Learning. Menurut Hernowo, manfaat yang harus kita cari ketika menggunakan AMBAK adalah manfaat untuk diri pribadi kita. Kita harus benar-benar dapat merasakan manfaat yang menurut kita memang akan, sedang, dan (ini yang penting) sudah kita dapatkan ketika kita melakukan sesuatu. Tujuan AMBAK, pada akhirnya, memang ke arah yang lebih bersifat mendorong, yaitu bagaimana manfaat tersebut mampu menggugah diri kita untuk melakukan sesuatu hingga menjadi sebuah kebiasaan baik (good habit).

AMBAK juga kemudian dikaitkan dengan menciptakan minat, yakni cara yang sangat baik untuk memberikan motivasi pada diri kita demi mencapai tujuan kita. Ketika menggunakan AMBAK, kita sesungguhnya sedang mencari jenis motivator-ampuh dan mempertanyakan minat kita akan sesuatu yang akan, sedang, dan telah kita kerjakan. AMBAK memang tidak dapat dilepaskan dengan motivasi. Ketika kita ingin melakukan kegiatan membaca dan menulis, kita butuh motivasi. Tanpa motivasi yang kuat, kita akan merasakan kebosanan dan keletihan ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Motivasi yang dimunculkan oleh penggunaan AMBAK terkait dengan seberapa besar manfaat yang akan kita peroleh ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis.

Pilar kedua, menyelenggarakan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan. Bagi Hernowo, membaca bukan sekadar membuat diri kita kaya akan pengetahuan. Membaca juga bukan sekadar meluaskan wawasan kita. Bahkan membaca tidak harus berhenti hanya untuk keperluan studi, misalnya, membuat skripsi atau karya tulis ilmiah yang lain. Membaca lebih dari itu. Membaca, seperti kata Iqbal, menjadikan diri kita sebagai “tenaga kreatif, ruh yang membumbung tinggi, yang dalam bergerak maju, bangkit dari satu keadaan menuju keadaan yang lain”. Atau membaca akan membuat diri kita, sebagai manusia, dapat ”menyelidiki kebenaran”.

Mengapa membaca dapat membuat diri kita mengalami proses pertumbuhan yang kian baik dan kreatif? Sebab kata Bapak Filsuf Modern Barat, Rene Descartes, “Membaca buku yang baik itu bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang dari masa lampau”. Sedangkan kata Jordan E. Ayan, ketika kita dapat mengalami sebuah kegiatan membaca yang dapat dikatakan sebagai pengalaman membaca yang terbaik, pada hakikatnya adalah sebuah siklus hidup mengalirnya ide seorang pengarang ke dalam diri kita. Kemudian setelah itu, ide kita mengalir balik ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda yang kita hasilkan, pekerjaan yang kita lakukan, dan orang-orang yang terkait dengan kita.

Akan tetapi yang amat menakjubkan, bagi Hernowo kegiatan membaca juga merupakan sebentuk kasih sayang Tuhan yang paling awal sekali diberikan kepada Rasulullah Saw, dan tentu saja, kepada kita semua sebagai hamba-Nya dan pengikut Rasulullah Saw. Tanpa membaca, ada kemungkinan kita tidak akan mampu melebarkan diri kita ke arah yang lebih luas. Tanpa membaca, diri kita juga berhenti bergerak, tidak dapat ke mana-mana. Memang tubuh kita dapat bergerak, menjelajah bumi dan langit. Namun, sejatinya, jiwa kita diam tanpa kita mau dan mampu membaca. Membaca akan menggerakkan tubuh dan juga jiwa kita. Membaca membantu totalitas diri kita melewati lapis demi lapis peristiwa. Dan sepertinya, hanya dengan membacalah diri kita dapat meraih “al-akram” sebagaimana dijanjikan Tuhan dalam ayat ketiga surah Al-‘Alaq, “Iqra’ wa rabbukal akram”.

Meskipun demikian, kegiatan membaca harus disinergikan dengan kegiatan menulis. Mengapa kita harus memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan? Dalam karya cemerlangnya, Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, Hernowo mengilustrasikan bahwa kegiatan membaca dan menulis itu bagaikan sepasang suami-istri yang, dalam kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer. Membaca akan menjadi kegiatan yang efektif apabila disertai menuliskan hal-hal yang terbaca. Begitupun sebaliknya, menulis akan menjadi kegiatan yang efektif apabila didampingi oleh membaca. Dua aktivitas intelektual ini, yakni membaca dan menulis, memang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Namun, menggabungkan kedua aktivitas tersebut secara bersamaan dan saling mendukung belum tentu dapat dilakukan oleh setiap orang.

Sampai di sini kita harus berhenti sejenak. Ada sesuatu yang menarik di sini. Kita juga biasanya mengaitkan kegiatan membaca dan menulis. Tapi lazimnya kita hanya menekankan satu aspek: kegiatan menulis harus dibarengi dengan kegiatan membaca agar kita mendapatkan ide dan gagasan yang segar dan baru, serta agar tulisan kita mampu menyuguhkan perspektif yang kaya. Kita jarang menekankan bahwa kegiatan membaca harus pula dibarengi dengan kegiatan menulis.

Di sinilah menariknya konsep mengikat makna Hernowo: membaca dan menulis tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Ketika membaca, membaca apa saja khususnya buku, maka kita harus menulis (mengikat makna) apapun saja yang telah kita dapatkan dari buku tersebut dalam bahasa kita sendiri secara personal. Begitu pun sebaliknya, kegiatan menulis kita harus diiringi dengan kegiatan membaca supaya kita mudah mengembangkan gagasan dan materi yang ingin kita tulis. Bahasa tulis kita semakin berkualitas, serta kian mudah bagi kita dalam mengeluarkan ide-ide yang konstruktif.

Pilar ketiga, berusaha sekuat daya untuk meraih makna ketika melakukan kegiatan membaca dan menulis. Upaya meraih makna ini mencakup aspek yang sangat luas, baik mengenai diri sendiri dengan segala aktivitas yang mengiringinya, buku-buku yang kita baca, maupun fenomena kehidupan itu sendiri.

Dalam meraih makna tentang diri sendiri, kita bisa menjelajahi potensi unik diri kita masing-masing. Dengan kegiatan mengikat makna, lambat laun kita dapat ‘meledakkan’ diri potensial kita; Kita akan semakin dekat dengan diri sejati kita; Dengan diri autentik kita masing-masing. Kita mungkin merasa tidak memiliki keunikan diri potensial yang layak kita singkap dan promosikan. Tapi merujuk kepada Howard Gardner, setiap kita pasti mempunyai keunikan diri potensial atau diri yang cerdas yang patut kita jelajahi.

Jadi upaya meraih makna tentang diri sendiri dapat kita gunakan untuk memunculkan keunikan dan kehebatan kita yang berbeda dengan orang lain. Dengan upaya meraih makna diri sendiri, kita akan menjadi percaya terhadap diri sendiri, bahwa apa yang kita miliki memang amat pantas untuk kita tampilkan; Karena kita sedang menulis skenario kehidupan kita yang unik dan berbeda dengan siapapun.

Meminjam kata-kata Viki King: “Anda sedang menulis skenario yang tidak mungkin ditulis oleh orang lain. Sebuah cerita yang berkobar dalam diri Anda adalah skenario yang ‘komersial’. Anda tidak menjadi penulis kelas dua di bawah siapa pun. Anda menjadi yang terbaik bagi diri Anda sendiri. Anda memiliki satu hal yang layak jual sebagai seorang penulis yakni sudut pandang Anda. Sudut pandang Anda adalah sebuah cara unik untuk melihat dunia berdasarkan seluruh pengalaman Anda dan bagaimana Anda merasakan dunia seputar Anda.”

Itulah sekilas contoh bagaimana kita bisa menggali makna diri kita sendiri. Sedangkan meraih makna dari buku-buku yang kita baca, maka kita harus membaca buku-buku yang benar-benar menyenangkan minat kita dan mampu menggerakkan pikiran kita. Menemukan buku-buku yang menyenangkan minat kita dan mampu menggerakkan pikiran kita, menjadi sangat penting agar kegiatan meraih makna melalui kegiatan menulis menjadi ringan bagi kita. Sebaliknya, ketika kita memaksakan diri membaca buku-buku yang tidak menarik minat kita dan tidak menggerakkan pikiran kita, niscaya pembacaan kita bukan hanya membuat kita tidak bergairah, tapi juga tidak mendorong kita untuk mengikat maknanya; Kita tidak mendapatkan makna dari buku-buku tersebut.

Dengan alasan inilah, Hernowo menyarankan agar ketika kita ingin mengawali menekuni kegiatan mengikat makna yang berkelanjutan dan memberdayakan diri kita, maka menemukan buku-buku yang menarik minat kita menjadi syarat mutlak. Mengapa demikian? Karena manfaat langsung dari membaca buku-buku yang menyenangkan adalah sel-sel otak (neuron) kita akan bergerak aktif dan berhubungan satu sama lain, sehingga pikiran kita akan menyala. Bukan hanya itu, manfaat selanjutnya adalah kita akan termotivasi dan terinspirasi secara langsung untuk menuliskan hasil-hasil renungan yang kita baca. Saat itulah, secara tidak langsung kita sudah mendapatkan makna dengan membaca buku-buku yang menyenangkan dan menggerakkan pikiran kita.

Selanjutnya menggapai makna dari semesta pengalaman hidup yang kita rasakan. Manakah yang lebih luas antara khazanah diri kita, buku, dan panorama kehidupan? Dalam tilikan Hernowo, buku dapat menyimpan kekayaan diri dan kehidupan. Selayaknya buku lebih luas daripada diri dan kehidupan. Namun, buku sifatnya statis sementara diri dan kehidupan terus berkembang. Benar, sebuah buku kadang dapat memperkaya dan mengembangkan pikiran. Hanya diri dan kehidupan yang nyatalah yang dapat membuat seseorang dapat belajar dari pengalaman. Akan tetapi, diri dan kehidupan adalah juga “buku” yang terbuka yang menyediakan bahan-bahan utama untuk sebuah buku.

Kendati demikian, hubungan antara diri, buku, dan kehidupan sesungguhnya bersifat resiprokal yakni saling mewarnai satu sama lain yang berpusat pada diri kita sendiri. Bila kita mampu melakukan proses mengikat makna yang benar-benar baik, subtil, dan autentik terhadap pustaka kehidupan, niscaya kita akan menjalani jenis kehidupan yang amat kaya; Kita dapat merasakan jenis kehidupan seperti apapun yang kita dambakan, sebagaimana dituliskan dengan begitu manis oleh Hayakawa: “Dalam makna yang sungguh-sungguh, sebenarnya orang yang membaca kepustakaan yang baik, telah hidup lebih daripada orang-orang yang tak mau dan tak mampu membaca. Adalah tidak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika kita bisa membaca, kita bisa menjalani berapapun banyak dan jenis kehidupan seperti yang kita inginkan”. Kalau itu mampu kita lakukan, kita telah menggenggam salah satu makna kehidupan yang hakiki.

Lalu apa hasil puncak ketika kita telah mengamalkan mengikat makna dengan ketiga pilarnya itu? Baca selanjutnya di tulisan bagian terakhir di sini.

Untuk membaca tulisan sebelumnya, silakan klik di sini.