Mengapa Penafsiran Al-Qur’an Bisa Berbeda?

Kalau kita berbicara pemikiran Islam, jelas pemikiran jenis itu semuanya tegak di atas fondasi Al-Qur’an dan hadis. Kita tahu, Al-Qur’an dan hadis menjadi rujukan umat Islam. Karena itu, tidak boleh ada pemikiran Islam yang tidak berbasis kepada al-Qur’an dan hadis.

Itu sebabnya, sejumlah tafsir terhadap Al-Qur’an dan hadits terus diberikan. Pada zaman Rasulullah Saw kita tahu bahwa album Rasulullah disebut sebagai “marjuk tasyri’ wahdah” sebagai rujukan hukum satu-satunya. Artinya, jika ada persoalan menyangkut tafsir terhadap Al-Qur’an, para sahabat tidak perlu bertanya kepada yang lain, cukup kepada Rasulullah. Karena Rasulullah sendiri sebagai “mufassir” terhadap Al-Qur’an, diberi mandat oleh Allah untuk menjelaskan makna-makna Al-Qur’an.

Kenapa Al-Qur’an perlu dijelaskan? Karena tidak seluruhnya diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an. Misalnya, di dalam Al-Qur’an kita diperintahkan untuk mendirikan shalat. Allah berfirman “Dirikanlah shalat tunaikanlah zakat sempurnakan Haji dan umrah.” Tapi bagaimana cara kita melaksanakan ibadah shalat? Bagaimana cara kita melaksanakan Haji? Apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya? Semuanya tidak dijelaskan rinci dalam Al-Qur’an.

Karena itu, hal-hal yang demikian ini dijelaskan di dalam hadis. Hadis berfungsi sebagai tafsir terhadap Al-Qur’an, berfungsi sebagai mubayyinah yang menjelaskan. Namun demikian, sepeninggal Rasulullah Saw Al-Qur’an bergerak sendirian tanpa didampingi oleh Nabi sebagai mufassir resminya, dan kita untuk menafsiri Al-Qur’an tidak bisa lagi bertanya kepada nabi.

Hingga kemudian muncullah yang disebut dengan tafsir sahabat, berkembang kemudian menjadi tafsir para tabi’in, tabi’it tabi’in. Jarak kita makin jauh dengan Nabi, maka kita membutuhkan metodologi untuk menafsirkan Al-Qur’an dan as-sunnah. Karena Al-Qur’an berbahasa Arab, maka untuk menafsirkannya harus tahu bahasa Arab juga.

Kita tidak mungkin untuk menafsirkan Al-Qur’an kalau tidak tahu bahasa Arab. Tahu bahasa Arab tidak cukup jika tak mengetahui sebab turunnya ayat (asbabul nuzul). Begitu juga jika menyangkut hadis Nabi, harus tahu sebab hadirnya, sebab diucapkannya hadis oleh Nabi (asbabul wurud). Secara umum, Al-Qur’an kalau dipecah terdapat beberapa kategori.Pertama, Al-Qur’an mengandung apa yang disebut dengan (tarikh) sejarah atau kisah. Kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an bukan hanya menyangkut kisah umat sebelum Rasulullah, tapi juga menyangkut kisah yang ada sekarang yang sedang “live” pada zaman Nabi. Makanya, ada pujian terhadap orang-orang Muhajirin dan pujian terhadap orang-orang Anshar.

Kedua, di dalam Al-Qur’an juga mengandung aqidah dan akhlak. Karena menyangkut akidah dan akhlak, para ulama kemudian mendiskusikan dan menafsirkannya terkait dengan ayat-ayat itu. Hingga akhirnya muncullah kelompok yang menafsirkan ayat-ayat aqidah atau ayat-ayat kalam.

Kalau baca sejarah, kita akan mengenal dengan kolompok ahlussunnah waljama’ah, kelompok Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah dan kelompok lainnya. Kelompok-kelompok ini mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat aqidah di dalam Al-Qur’an, sehingga terjadilah perselisihan menyangkut bagaimana cara kita untuk memahami Allah, cara kita menafsirkan sifat-sifat Allah.

Baca juga:  Al-Qur’an dan Budaya (2): Maraknya Tradisi Al-Qur’an di Indonesia

Tak hanya itu, ada juga di dalam Al-Qur’an yang disebut dengan ayat-ayat hukum. Ayat-ayat hukum ini dari segi jumlah sebenarnya sedikit. Ada yang menyebutnya 500 ayat, ada juga yang menyebutnya hanya 200 ayat saja. Para ulama juga menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an, maka lahirlah fiqih. Tapi cara untuk menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an, ada bangunan metodologinya yang disebut dengan ushul fiqih. Jadi fiqih adalah produknya, dan usul fiqih adalah metodologi untuk memahami ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.

Dari tafsir para ulama terhadap ayat-ayat hukum didalam Al-Qur’an, akhirnya melahirkan mazhab-mazhab. Sudah jelas, mazhab fikih yang bertahan sampai sekarang di lingkungan sunni ada empat. Ada yang mazhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifa, mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik, madzhab Syafi’i yang didirikan oleh Imam Syafi’I, dan mazhab yang didirikan oleh Imam Ahmad bin hambal yang disebut dengan mazhab Hambali.

Di Indonesia, yang paling banyak diikuti menyangkut mazhab fiqh adalah madzhab Syafi’i. Bahkan, negara lain seperti Malaysia dan Brunei Darussalam juga banyak mengikuti madzhab Syafi’i. Negara seperti Afghanistan dan Pakistan banyak mengikuti mazhab Hanafi. Sementara di Afrika Utara seperti di Tunis, Aljazair dan Maroko bermadzhab Maliki, dan kita tahu madzhab Hambali banyak diterapkan di Arab Saudi.

Syahdan, kita harus mengerti bahwa, Al-Qur’an yang kita miliki ini satu, dan hadis yang kita miliki maksimal tersebar di dalam 6 kitab hadis. Tapi tafsir para ulama terhadap Al-Qur’an yang satu dan hadis yang ada di dalam kitab-kitab hadis itu, ternyata tidak tunggal. Perbedaan pandangan, perbedaan tafsir adalah sebuah keniscayaan. Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat?

Yang pertama, adalah perbedaan di dalam menggunakan dalil. Satu dalil yang sama ketika dipahami dengan dalil yang berbeda ayat, maka akan melahirkan produk hukum yang berbeda. Misalnya, yang satu menggunakan dalil maslahat, sementara satunya menggunakan dalil qiyas, maka pasti produk hukumnya berbeda.

Kedua, perbedaan pendapat itu bisa terjadi karena perbedaan di dalam memahami dalil-dalil. Kita tahu ada beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang ayatnya tergolong kepada ayat ambigu, dalam hal ini (ayat) kata di dalam Al-Qur’an adalah lafadznya musytarak, misalnya. Lafadz musytarak adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, yang akhirnya berpotensi melahirkan produk pemikiran yang berbeda.

Karena itu, tidak perlu merasa gelisah dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, baik perbedaan pendapat di kalangan para ulama tafsir, perbedaan pendapat di kalangan para ahli fikih dan perbedaan pendapat di kalangan para ahli kalam. Yang terpenting, perbedaan-perbedaan pendapat tidak menyentuh esensi pokok agama. Para ulama juga bersepakat bahwa, shalat itu wajib tidak ada perselisihan, apakah dia mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Ataupun dia sunni, bahkan Syiah semuanya pasti akan bersepakat bahwa shalat itu wajib.

Baca juga:  Tafsir Surah al-Fatihah (1): Di Balik Namanya Terkandung Makna

Sekalipun disepakati bahwa shalat itu wajib, bagaimana tata cara salat itu potensial diperselisihkan. Misalnya, mazhab Hanafi menyatakan bahwa membaca Fatihah di dalam shalat itu tidak wajib, bisa diganti dengan ayat yang lain karena, mazhab Hanafi mengacu kepada keumuman ayat di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman “Bacalah olehmu yang paling muda dari Al-Qur’an”.

Apa yang paling muda dari Al-Qur’an? Bukan hanya surat al-Fatihah dan al-Ikhlas, tapi mungkin surat al-Kafirun, surat al-Kautsar dan lainnya. Madzhab Syafi’i menyatakan membaca Fatihah itu rukun shalat. Itu sebabnya menurut madzhab Syafi’i orang yang tidak membaca Fatihah maka, shalatnya dinyatakan tidak sah.

Nabi bersabda “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah”. Tidak membaca ummul Qur’an di dalam shalat, inilah yang menjadi acuan dari madzhab Syafi’i. namun demikian, kata mazhab Hanafi, hadis ini adalah hadis ahad dan dhalalahnya juga dhanni, sementara mazhab Hanafi menyatakan lafadznya am dan dhalalahnya lafadz am adalah qath’i.

Kita bersepakat bahwa shalat itu wajib, tapi apakah Fatiha itu adalah rukun shalat bisa diperselisihkan oleh para ulama. Biar diketahui bahwa perbedaan pendapat itu lazim di lingkungan para ulama, asalkan didasarkan kepada Al-Qur’an dan hadis, dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ada juga hal yang tidak disebutkan secara rinci di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya memberikan kerangka etik moralnya seperti, etika di dalam mengatur sebuah pemerintahan di dalam persoalan politik. Tidak ada ayat di dalam Al-Qur’an dan hadis yang kita temukan, apakah pemerintahan yang Islami itu adalah pemerintahan yang berbasis monarki (kerajaan) atau Republik tidak ada. Apakah ada dalil di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah misalnya, bahwa pemerintahan itu harus dibagi dengan kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif tidak ada dalil.

Al-Qur’an hanya bicara mengenai kerangka etik moralnya yang ingin ditegaskan, “Apapun jabatan kalian mau kalian berada di wilayah kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, kamu harus mengambil sebuah kebijakan didasarkan kepada keadilan. Apapun harus dasarnya adalah keadilan”.

Tapi bagaimana dengan sistem pemerintahan pada zaman Nabi? Apakah tindakan dan perilaku politik nabi di Madinah menjadi bagian dari risalah kenabian atau tidak? Kalau menjadi risalah kenabian maka, mengikat kepada umat Islam. Apa yang terjadi sekarang? Seluruh jenis pemerintahan di dunia Islam akhirnya berbeda-beda karena, mayoritas umat Islam tidak memandang sistem pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah kenabian

Baca juga:  Bani Israel dalam Al-Qur’an (2)

Pernah ada masa di mana umat Islam menggunakan sistem Khilafah misalnya. Tapi kita di Indonesia menggunakan apa yang disebut dengan negara bangsa. Jelasnya, Al-Qur’an hanya menjelaskan kerangka etik moralnya, dan Nabi menyontohkannya. Sementara, bentuk pemerintahannya bisa berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.

Jadi, ada aqidah dan akhlak yang melahirkan ilmu kalam, ada hukum yang melahirkan fiqih, ada etika di dalam berpolitik. Ada juga yang disebut dengan tasawuf. Kalau kita telisik, sebenarnya, kata tasawuf di dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ada karena, yang ada di dalam Al-Qur’an adalah tazkiyah al-nafas menyucikan jiwa.

Dari mana sebenarnya tasawuf diperoleh? Yang jelas dari perilaku para sahabat. Ketika Rasulullah baru saja meninggal dunia, para sahabat ada yang berkonsentrasi mengatur pemerintahan, namun juga ada sahabat yang konsentrasi diri mendekatkan diri kepada Allah, tidak mengurusi mengenai pemerintahan. Mereka akhirnya sibuk mendekatkan diri kepada Allah yang disebut dengan ahlus suffah.

Orang-orang yang ada di pinggiran masjid Nabawi, mereka setiap hari sibuk melaksanakan shalat. Tradisi-tradisi sufistik yang seperti ini dilanjutkan oleh para ulama setelahnya yaitu para tabi’in, tabi’it tabi’in, maka kita mengenal para sufi seperti Hasan al-Bashri, Haris al-Muhasibi, Dzunnun al-Misri, Junaid al-Baghdadi, Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Abu Hasan asy-Syadzili, Bahauddin an-Naqsabandi sampai ke Indonesia seperti, Syaikh Nawawi al-Bantani, Kiai Kholil al-Bangkalan hingga Kiai Hasyim Asy’ari.

Masih tentang tafsir. Kita juga mengenal yang namanya tafsir ilmi seperti, tafsir yang ditulis oleh Tantowi Jauhari yang disebut dengan tafsir Al-Jawahir. Ada tafsir adabi ijtima’i seperti tafsir Al-wasith yang ditulis oleh Muhammad Sayyid Tantawi, atau yang ditulis oleh Sayyid Quthub judulnya Fii Dhilalil Qur’an coraknya adalah adabi ijtima’i. Ada tafsir fiqih yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an, jadi ayatnya dan coraknya menjadi legal formalistik

Misalnya, seperti al-Jashash memiliki kitab tafsir judulnya Ahkam Al-Qur’an, Ibnul Arabi juga dengan Ahkamul Qur’an. Ada juga tafsir yang coraknya adalah Balaghi menafsirkan Al-Qur’an dari sudut susastranya, keindahan diksinya. Makanya, kita punya tafsir seperti yang ditulis oleh az-Zamakhsyari yaitu tafsir Al-Kasysyaf, artinya kemukjizatan Al-Qur’an bisa dilihat dari nilai ketinggian sastranya.

Inilah capaian-capaian pemikiran yang kalau kita lihat kerangkanya, dari zaman Nabi, sahabat tabi’in, tabi’it tabi’in, masuk ke dalam periode modern, pemikiran Islam terus mengalami pengayaan- pengayaan. Tentu adalah sebuah keniscayaan karena kata nabi, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan agama ini di setiap 100 tahun orang yang melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Islam. Mereka para pembaharu yang bertugas untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pemikiran keislaman, sehingga Islam akan menjangkau manusia di setiap zaman dan lokasi. Wallahu a’lam bisshawab.

 

https://alif.id/read/safa/mengapa-penafsiran-al-quran-bisa-berbeda-b245468p/