Mengapa Kyai-Kyai NU tidak Memperjuangkan Syariat Islam?

LADUNI.ID, Jakarta – Istilah syariat Islam tidak lagi istilah yang baru atau asing di telinga, apalagi bagi pegiat literasi, istilah syariat islam sudah sangat familiar didengar, kata ini sering dijumpai di berbagai tempat, berbagai media online atau cetak, buku, ceramah-ceramah di masjid, di kampus dan masih banyak yang lain, namun bagi masyarakat awam apa yang dimaksud dengan syariat?

Kata syariat berasal dari kata dalam bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi kata bahasa Indonesia, dalam KBBI, kata syariat berarti hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Kata syariat juga memiliki bentuk tidak baku yaitu sarengat, sariat, sereat, dan syariah yang memiliki arti sama.

Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam al-Qurthubi  mendefinisikan syariat islam sebagai agama yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Selain itu  dalam kitab an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menyebutkan bahwa definisi syara’ dan syariat lebih menitikberatkan kepada agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya. Yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan wajibkan atas mereka.

Dari definisi syariat di atas banyaak anggapan yang salah terkait menegakkan syariat islam harus menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan justru menodai islam itu sendiri yang rahmatan lil’alamiin. Banyak pertanyaan yang dilontarkan kenapa kiyai NU tidak memperjuangkan Syariat Islam, dikutip dari Ustadz Ma’ruf Khozin dalam kajian Ramadhan bersama PCI NU Jerman ketika membahas Nuzulul Qur’an dan 3 kandungan makna Al-Qur’an, Tauhid, Hukum dan Kisah.

Kyai-kyai NU bukannya berpangku tangan dalam masalah ini. Sebelum kelompok pengusung Khilafah hadir, siapa yang memperjuangkan hukum pernikahan? Hukum waris menjadi undang-undang dan sebagainya? Jawabannya adalah para kyai NU. Dari keempat jenis di atas, tiga jenis sudah dijalankan di Indonesia, yakni ibadah, nikah dan muamalah.

Hukum dalam Fikih ada 4, ibadah, nikah, muamalah (interaksi sosial seperti jual beli dll) dan jinayah atau hukum pidana. Dari keempat hal tadi ada (1) yang bisa dilakukan oleh individu Muslim tanpa keterlibatan institusi negara, seperti shalat, puasa dll (2) bisa dilakukan oleh individu Muslim tapi lebih sempurna jika negara hadir memfasilitasi seperti persoalan nikah, haji, zakat, waris, wakaf, dan sebagainya. Serta (3) hanya bisa dilakukan oleh negara yakni dalam masalah hukum jinayah, seperti qishas dan lainnya.

Mengapa tidak semua hukum Islam secara Kaffah? Sebab tidak ada kemampuan. Dari dulu sejak zaman Orde Lama, Orde Baru hingga masa reformasi ini jumlah suara partai yang mengusung ideologi Agama tidak lebih dari 30%. Karena menjalankan ajaran agama adalah sesuai kemampuan dan tidak dengan cara yang dipaksa-paksakan, seperti sabda Nabi shalla Allahu alaihi wasallam:

ﻭَﺇِﺫَا ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﺄَﻣْﺮٍ ﻓَﺄْﺗُﻮا ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ اﺳﺘﻄﻌﺘﻢ

“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah perintah itu sesuai kemampuan kalian” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan seolah sudah menjadi warning dari Nabi dalam masalah ini:

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺃُﻣَﺎﻣَﺔَ اﻟْﺒَﺎﻫِﻠِﻲِّ، ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ: ” ﻟﺘﻨﻘﻀﻦ ﻋُﺮَﻯ اﻹِْﺳْﻼَﻡِ ﻋُﺮْﻭَﺓً ﻋُﺮْﻭَﺓً، ﻓَﻜُﻠَّﻤَﺎ اﻧْﺘَﻘَﻀَﺖْ ﻋُﺮْﻭَﺓٌ ﺗَﺸَﺒَّﺚَ اﻟﻨَّﺎﺱُ ﺑِﺎﻟَّﺘِﻲ ﺗَﻠِﻴﻬَﺎ، ﻭَﺃَﻭَّﻟُﻬُﻦَّ ﻧَﻘْﻀًﺎ اﻟْﺤُﻜْﻢُ ﻭَﺁﺧِﺮُﻫُﻦَّ اﻟﺼَّﻼَﺓُ

Dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Tali-tali Islam akan lepas satu-persatu. Setiap satu tali yang lepas maka manusia berpegang dengan tali yang di sebelahnya. Tali yang pertama lepas adalah hukum. Yang terakhir adalah shalat” (HR Ahmad)
Apakah lepasnya hukum Islam dikarenakan umat Islam yang anti dengan syariat? Tidak, bukan itu persoalannya. Imam Al-Baihaqi sebelum mencantumkan riwayat di atas terlebih dahulu beliau menyampaikan hadis berikut dalam kitabnya Syuab Al Iman:

ﻋَﻦْ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ اﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ، ﻗَﺎﻝَ: ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ” ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺎ ﻳُﺮْﻓَﻊُ ﻣِﻦَ اﻟﻨَّﺎﺱِ اﻷَْﻣَﺎﻧَﺔُ، ﻭَﺁﺧِﺮُ ﻣَﺎ ﻳَﺒْﻘَﻰ اﻟﺼَّﻼَﺓُ، ﻭَﺭُﺏَّ ﻣُﺼَﻞٍّ ﻻَ ﺧَﻴْﺮَ ﻓِﻴﻪِ “. ” ﺗَﻔَﺮَّﺩَ ﺣَﻜِﻴﻢُ ﺑْﻦُ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﺑِﺈِﺳْﻨَﺎﺩِﻩِ ﻫَﺬَا “. ﻭَﻗَﺪْ ﺭَﻭِﻱَ ﻣِﻦْ ﻭَﺟْﻪٍ ﺁﺧَﺮَ، ﻋَﻦْ ﺛَﺎﺑِﺖٍ، ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ، ﻣَﺮْﻓُﻮﻋًﺎ

Dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang pertama kali dihilangkan dari manusia adalah amanah. Yang paling akhir adalah shalat. Betapa banyak orang yang shalat tapi tidak ada kebaikan baginya -misalnya karena tidak khusyuk dan riya’-” (HR Al Baihaqi, memiliki jalur lain dari Anas)

Ajaran syariat Islam bisa diterapkan di masa para Khalifah, di masa Dinasti Islam dan seterusnya karena dahulu banyak yang dapat menerima amanah dan personal yang amanah. Ternyata sudah ditegaskan dalam hadis di atas bahwa amanah itu pertama dicabut dari umat manusia.

Arab Saudi saat ini dianggap sebagai negara yang menjalankan hukum Al-Qur’an dan Hadis. Tapi menurut kelompok Hizbut Tahrir sistem kerajaan bukan sistem Islam karena bukan khilafah. Iran juga memproklamirkan sebagai negara Islam. Lalu model seperti apa yang benar-benar menerapkan Hukum Islam? Ternyata tidak ada kesepakatan dalam hal ini diantara sesama umat Islam karena seperti yang difatwakan oleh Ulama Al-Azhar bahwa sistem Negara adalah ranah ijtihad.

 

_________________________________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  2020-05-14. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Aktifkan Nada Sambung pribadi Tausiyah Ustadz Ma’ruf Khozin “LIMA ALAM KEHIDUPAN”
Dengan cara kirim SMS: LAKDM kirim ke 1212
Tarif: Rp. 9.900 / 30 hari

https://www.laduni.id/post/read/68289/mengapa-kyai-kyai-nu-tidak-memperjuangkan-syariat-islam.html