Meneladani Nabi Kasih Sayang

Cara Rasulullah Menebarkan Kasih Sayang pada Umatnya | NU Online

Oleh Masyhari*)

RumahBaca.id – Suatu ketika Rasulullah saw sedang duduk berbincang dengan para sahabat di dalam masjid An-Nabawi tanpa terduga tiba-tiba datang seorang Badui membuka celananya, mengeluarkan apa yang tidak semestinya dikeluarkan di dalam masjid. Dia membuang air kecil. Karena kaget, mayoritas sahabat Nabi langsung menghardiknya, mencegahnya dengan keras.

Bisa jadi ini hal yang lumrah bagi sebagian kalangan, mengingkari kemungkaran dengan tegas. Mungkin, kita para pembaca akan bersikap yang sama. Jangankan kita, para sahabat Rasulullah yang merupakan orang-orang pilihan sekalipun, orang yang terdekat beliau, orang yang mendapatkan didikan secara langsung dari beliau, ketika menghadapi peristiwa tersebut tidak bisa sabar menahan diri. Apalagi dengan kita, manusia biasa, andai kita mendapati peristiwa serupa, bisa jadi sikap kita akan lebih parah daripada sahabat.

Lantas, bagaimanakah sikap Rasulullah? Apa kira-kira yang dilakukan oleh beliau? Ternyata apa yang beliau lakukan sungguh mengejutkan. Bukannya ikut mencegah Si Badui tersebut sebagaimana yang dilakukan para sahabat, beliau malah mencegah dan menasehati para sahabat. “Biarkan ia menuntaskan hajatnya,” ujar beliau. Setelah itu, para sahabat mengikuti apa yang beliau sampaikan, meski dengan menyimpan tanda tanya di kepala mereka.

“Sungguh, kalian diutus untuk memberi kabar gembira. Kalian tidak diutus untuk mempersulit,” lanjut beliau.

Setelah Badui tersebut menuntaskan hajatnya, beliau perintahkan kepada para sahabat untuk mengambil air dan menyiram bekas air najis yang mengotori lantai masjid.

Di ujung hadis, Badui tersebut berdoa “Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad, dan jangan kasihi orang selain kami berdua.“ Itu karena Badui tersebut marah kepada para sahabat yang menghardiknya, dan menerima dengan senang hati apa yang beliau lakukan. Sikap dan kata-kata berdampak secara psikologis dalam dirinya. Ketika ia merasa mendapatkan perlakuan buruk, ia akan membalas dengan buruk pula. Sebaliknya, bila ia merasa mendapatkan perlakuan baik, ia akan membalas dengan kebaikan pula. Ini sebagaimana kata Allah dalam Surat Ar Rahman, “Bukankah balasan kebaikan adalah kebaikan pula?”

Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim tersebut, di antaranya:

Pertama, bahwa Rasulullah merupakan teladan bagi kita dalam berdakwah, dalam menyampaikan kebaikan dan kebenaran kepada orang lain di sekeliling kita. Beliau adalah rahmat, penuh kasih. Suatu ketika beliau pernah bersabda, “Orang-orang pengasih akan dikasihi Allah Yang Maha Pengasih.”

Kita posisinya misalnya sebagai seorang guru atau orang tua harus sabar. Karena pada dasarnya tidak semua orang, apalagi anak-anak, mengetahui kebenaran sebagaimana yang kita ketahui. Banyak sekali hal-hal yang tidak dimengerti anak-anak. Bisa jadi, seorang anak melakukan suatu keburukan atau kesalahan karena tidak ketidaktahuannya. Terkadang kita menganggap ia mengerti sebagaimana kita. Lantas, ketika melihat anak kita melakukan suatu kesalahan, kita tidak sabar, langsung memarahinya. Padahal kita belum memberi tahu hal yang benar.

Begitu juga sebagai seorang guru, tatkala melihat anak didik kita melakukan suatu kesalahan yang tidak layak dilakukan, sikap kita cenderung negatif dan mengatakan dia nakal, badung dan lain sebagainya.

Begitu juga, misalnya kita mendapatkan amanah sebagai pengurus DKM atau marbot masjid, ketika menghadapi anak-anak yang ada di masjid, harus bersabar. Karena kadang-kadang, anak-anak, mulai dari usia TK, SD bahkan bisa jadi SMP, ketika berada di dalam masjid mereka tidak bisa tenang. Mereka tetap saja bercanda dan membuat gaduh padahal sedang berada di rumah ibadah. Dan, ini lebih baik daripada mereka tidak mau masuk masjid. Mereka mau masuk masjid saja sudah syukur.

Bisa kita bayangkan kalau seandainya anak-anak ini bercanda di dalam masjid lalu kita marahi atau karena tidak sabar kita tempeleng atau kita pukul dengan sajadah misalnya, padahal ia bukan anak kita. Lantas dia pulang dengan menyimpan amarah dan dendam kepada kita, menceritakan ke sana ke mari. Bukan hanya dia yang sakit hati itu yang enggan lagi ke masjid karena kapok, bisa jadi teman-temannya akan diprovokasinya agar tidak ke masjid sebab pengurus DKM galak, menurutnya. Padahal sebenarnya: memang galak.hahaha

Bisa jadi, pengalaman buruk itu membekas dalam dirinya secara psikologis hingga waktu yang lama, trauma. Sebab apa? Ia belum tahu kesalahannya. Inilah yang perlu kita teladani dari Rasulullah SAW. Kita harus bersabar. Bersabar sedikit, hingga waktu yang tepat telah tiba, kita sampaikan ini salah, ini benar. Bukan tiba-tiba langsung menghardiknya.

Pelajaran kedua, mengapa Rasulullah membiarkan si Badui ini tetap buang air kecil? Padahal air kencing itu najis dan menjaga masjid dari najis adalah sesuatu yang diperintahkan. Hal ini sebab respon negatif, reaksi dengan mencegahanya di tengah-tengah buang hajatnya tersebut akan berdampak negatif bagi kesehatannya. Itu akan mengakibatkan hal buruk bagi kantung kemihnya.

Selanjutnya, ketika ia buang air di satu titik, lantas kita menyetopnya di tengah-tengah buang air itu, bukannya ia akan menyudahinya, tapi sebaliknya najis itu akan jatuh ke mana-mana dan lebih meluas sebarannya.

Pelajaran ketiga, bisa jadi membiarkan suatu keburukan itu lebih baik, bila mana mengandung kemaslahatan. Sebaliknya, mencegah keburukan jangan sampai malah menimbulkan keburukan atau bahaya yang lebih besar. Ini merupakan kaidah bahwasanya mencegah bahaya itu lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

Pelajaran selanjutnya yaitu ath-thariqatu ahammu minal maddah. Metode itu lebih penting daripada isi. Inilah pelajaran penting bagi seorang dai, seorang pendidik, orang tua dan lain sebagainya. Menyampaikan kebaikan harus dengan cara-cara yang baik. Kadang-kadang sesuatu yang baik bisa dianggap buruk karena salah dalam cara menyampaikannya. Oleh karena itu, potensi dampak harus diperhatikan sebelum melakukan atau menyampaikan suatu pesan kebaikan sesuatu kepada orang lain, meskipun tujuan kita sebenarnya baik. Wallahu a’lam.

*) Redaktur RumahBaca.id, Dosen IAI Cirebon, Pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon, Dosen LB IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Bagikan tulisan ke: