Mencermati Sentimen Kebencian terhadap Islam di Swedia (2)

Situasi sosial dan politik di atas telah berpengaruh secara signifikan terhadap meningkatnya angka diskriminasi dan islamofobia terhadap Muslim di Swedia. Bahkan Barzoo Eliassi menegaskan bahwa Swedia sebelumnya menjadi negara terdepan dalam demokrasi. Memiliki ambisi untuk menjadikan Swedia sebagai negara yang beradab dan mengakomodasi berbagai etnik dan budaya dalam berbagai kebijakan yang mendukung integrasi dan multi-budaya. Kini bergerak ke arah ideologi baru yang mendominasi ruang publik dengan mengasimilasi pandangan yang monolitik dalam hal identitas dan nilai nasional masyarakat Swedia.

Meskipun demikian, pemerintah dan sebagian masyarakat Swedia tetap memberikan dukungan khususnya di saat yang penting. Menyusul bom bunuh diri di tahun 2010 misalnya, Erik Ullenhag, mentri integrasi dari Partai Liberal, menerbitkan gagasan untuk menciptakan organisasi serupa ‘Exit’ yaitu organisasi sosial di Swedia yang digunakan untuk membantu kelompok Neo Nazi untuk keluar dari paham yang mereka yakini seperti halnya yang dimiliki oleh Muslim yang berpaham kelompok islam yang radikal dan militan.

Pemerintah juga berusaha untuk membentuk masyarakat yang terbuka dan multi-budaya. Dia menegur koran yang telah mempublikasikan kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan mengingatkan bahwa 200 orang militan yang berhasil diidentifikasi oleh negara tidak dapat dijadikan acuan dan representasi lebih dari 400.000 masyrakat Muslim yang lainnya. Untuk mendukung program yang dilakukannya, Ullenhag meminta saran dari organisasi – organisasi Muslim. Hal yang sama dilakukan pasca serangan Masjid di tahun 2015 seperti yang dilakukan oleh  mentri budaya dan demokrasi, Alice Bah Kuhnke.

Masyarakat umum juga memberikan dukungan terhadap komunitas Muslim. Misalnya dilakukan di pasca pembakaran Masjid Eskilstuna dengan membuat gerakan ‘love bomb’ yang dibuat oleh kelompok aktifis Tillsammans for Eskilstuna dan protes Mereka menuliskan dukungan di atas kertas yang berbentuk hati yang mereka tempelkan di pintu Masjid. Aksi protes juga dilakukan di luar parlemen di Stockholm. Termasuk juga upaya yang dilakukan dengan mengadakan pameran di the Police Museum di Staockholm di bulan Februari 2016. Pameran ini merangkum seluruh peristiwa dalam jangka waktu yang panjang seluruh kejahatan karena kebencian yang pernah terjadi dengan tajuk ‘Swedish Model’.

Bagaimana kita harus bersikap?

Jenny Berglund dari Universitas Södertörn di dalam artikelnya berjudul ‘Sweden’s protests against Islamophobia highlight the polarised views of Swedish citizens toward Muslim’ menegaskan bahwa meskipun peningkatan kejahatan kebencian terhadap Muslim terbukti secara meyakinkan namun penjelasan mengenai fenomena ini cukup kompleks. Penjelasan di atas memberikan gambaran atas pernyataan tersebut.

Baca juga:  Hikayat Hari

Oleh karena itu, sebagai ‘orang luar’ kita sebaiknya mempertimbangkan kompleksitas tersebut sambil juga mempertimbangkan beberapa fakta penting. Diantaranya adalah tentang perbedaan sikap dan opini masyarakat terhadap fenomena ini. Dalam gempuran narasi kebencian, tak sedikit dari mereka yang tetap mendukung kebebasan beragama dan kelompok imigran. Mereka tetap berharap Swedia menjadi negara yang multi agama termasuk bagi sebanyak sekitar 810.000 orang Muslim (berdasarkan Pew Research di tahun 2017) yang kini tinggal di sana.

Fakta lainnya adalah pragmatisme politik partai konservatif khususnya the Sweden Demokrats yang kemudian mewabah menjangkiti partai yang lainnya yang harus menyesuaikan diri dengan iklim politik yang tengah berkembang. Hal ini memberikan informasi kepada kita bahwa Islam, Muslim dan berbagai tindakan teror atas nama islam telah digunakan sebagai amunisi dalam kontestasi politik. Terkait hal ini, terdapat juga fakta bahwa partai-partai politik arus utama pada tahun 2015 telah membentuk aliansi untuk mencoba mengisolasi Partai Demokrat Swedia yang anti-imigran ini. Partai ini menentang komitmen untuk menerima 100.000 pencari suaka per tahun dari Suriah dan Irak. Namun, memasuki tahun 2020, segala tindakan kejatahan anti – Islam dengan isu imigran telah bergerak menjadi bagian dari perdebatan mengenai kebebasan berekspresi yang ditandai dengan pembakaran kitab suci.

Baca juga:  Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama

Di tengah gempuran dukungan terhadap partai populis the Sweden Democrats yang berdasarkan survey Pew Research Center di tahun 2019 mencapai 59%, fakta lain yang harus dipertimbangkan adalah permintaan dari masyarakat Muslim moderat kepada pemerintah untuk bersikap tegas terhadap kelompok yang mereka sebut sebagai ‘ekstremis Islam’. Menurut Samir Muric seorang imam masjid Eslov di Swedia selatan dalam wawancara dengan France24 menegaskan bahwa hal ini penting karena tindakan terbuka mengutuk sikap mereka akan berbalik menjadi ancaman. Tak hanya itu, memasuki tahun 2021, sebuah partai pro Islam yang dibentuk tahun 2019 untuk pertama kalinya mengumumkan berkampanye untuk mencapai ambang batas elektoral 4%. Mikail Yüksel  sebagai pimpinan partai berharap dapat masuk di parlemen pada pemilu 2022. Artinya, masyarakat Muslim di Swedia memilliki kesempatan untuk dapat berkompetisi secara politik.

Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa pemerintah secara rutin memberikan bantuan keuangan bagi organisasi Muslim resmi yang telah memenuhi persyaratan tertentu melalui Komisi Hibah Negara untuk Komunitas Agama  (Samarbetsnämnden för stöd till trossamfund). Artinya, negara telah berusaha hadir dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim dalam hal keberagamaan.

Penutup

Melalui lembaga resmi negara kita harus mengutuk tindakan kejahatan yang dilakukan dan meminta pemerintah di sana untuk mengambil langkah strategis guna melindungi masyarakat Muslim. Namun demikian, kita selayaknya bersikap hati – hati dan tidak melakukan jeneralisasi dalam menghadapi tindakan sebagian masyarakat di sana terhadap Islam. Karena sikap masyarakat Muslim di belahan bumi yang lain, dapat menjadi boomerang bagi masyarakat Muslim Swedia dan para aktifis pembela Muslim di sana. Seperti yang dijelaskan oleh Engy Abdelkader dalam analisisnya di tahun 2017 tentang perbandingan Islamofobia di lima negara di Eropa termasuk di Swedia bahwa ancaman dalam bentuk tindakan kekerasan anti – Muslim di Eropa pada khususnya semakin menunjukan lebih dari sekedar ketidak puasan terhadap persoalan politik, sosial dan lingkungan tapi lebih dari itu menunjukan adanya kebencian yang semakin meningkat terhadap umat Islam (secara umum).

Baca juga:  “Mudhammataan” dan Suspensi Kenikmatan

Oleh karena itu, minimal kita bertanya sebelum bertindak, Islam dan Muslim yang mana yang menjadi sasaran protes masyarakat di sana? Kapan dan dalam konteks apa hal ini dilakukan? Dalam kasus pembakaran Ramsus Paludan misalnya, kita layak bertanya motif di balik intervensi partai sayap kanan Denmark terhadap dinamika politik di Swedia. Jarak antara kejadian di tahun 2020, 2022 dan 2023 yang menimbulkan gelombang protes yang masif di berbagai negara, apakah ini sebuah kebetulan? Mengapa kali ini dia melakukannya di depan kedutaan besar Turki?

Pertanyaan ini penting, karena setiap tindakan pasti memiliki alasan. Perlu diingat, tahun 2022 adalah tahun politik yang penting di Swedia dan disaat yang sama Swedia tengah berusaha untuk dapat diterima sebagai anggota NATO di mana dalam hal ini peran Turki cukup signifikan. Satu fakta yang menarik, jika dibandingkan dengan narasi yang gunakan oleh Rasmus Paludan di dalam aksinya di tahun 2020 dan 2020 yang kencang menyerang imigran. Di tahun 2023 dia membawa narasi yang berbeda dalam aksinya yaitu kebebasan berekspresi. Dengan demikian tampak terdapat berbagai kepentingan yang benar – benar harus dapat dipahami. Dengan mengajukan pertanyaan sederhana, kita setidaknya menyadari ada begitu banyak kemungkinan jawaban yang muncul untuk dapat dipertimbangkan sebelum mengambil tindakan.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/isr/mencermati-sentimen-kebencian-terhadap-islam-di-swedia-2-b247066p/