Membincang Aswaja dari Karya Guru-Murid

  oleh: W Eka Wahyudi* Alaykum bil Jama’ah, begitulah pitutur Nabi Muhammad dalam satu kesempatan saat ditanya mengenai kelompok yang se…

oleh:

W Eka Wahyudi*

Alaykum bil Jama’ah, begitulah
pitutur Nabi Muhammad dalam satu kesempatan saat ditanya mengenai kelompok yang
selamat, jika perpecahan telah merejalela maka keselamatan terdapat pada
golongan pengikut Kanjeng Rasul dan para sahabat. Dalam sejarahnya, statement
Rasul ini menjadi rebutan antar golongan yang mengklaim dirinya sebagai penganut
Sunnah yang absah. Perebutan ini pada akhirnya melahirkan satu perpecahan
intra-Islam yang tak jarang friksinya terasa dalam hubungan
sosial-kemasyarakatan.

Adalah KH Hasyim Asy’ari dan KH
Abul Fadhol Senori menulis sebuah kitab yang membahas tentang konseptualisasi ahlu
Sunnah wal jama’ah
sebagai satu derivasi dari sabda nabi di atas. Jika Kiai
Hasyim memiliki karya Risalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka Kiai Abul Fadhol
menyusun satu risalah bertajuk al-Kawakibul Lamma’ah.

Kiai Hasyim mengawali risalahnya
dengan pembahasan konsep Sunnah dan bid’ah, namun tidak dengan Mbah Fadhol yang
lebih memilih mengawali karyanya dengan melakukan jab dan uppercut terhadap
kelompok-kelompok yang menyimpang, mulai dari khawarij hingga syiah dan
mu’tazilah.

Kedua karya ini, disusun mewakili
zaman dan tantangan yang dihadapi. Sebagai seorang ideolog, Kiai Hasyim justru
tampil membela golongan Aswaja sebagai seorang figur lokal yang dalam konteks
saat itu jamak menjadi “bulan-bulanan” kelompok reformis-modernis. Sehingga
bisa kita lihat dalam karyanya, beliau melakukan pembelaan terhadap ritus-ritus
keagamaan lokal yang telah menjadi tradisi muslim di Nusantara. Tema-tema
seperti dzikir, ziarah kubur dan fiqh lengkap dengan sistem bermadhab menjadi
“hal baru” dalam diskursus karya bergenre teologi yang dilakukan oleh Kiai
Hasyim.

Bahkan dalam pembelaannya, Kiai
Hasyim menegaskan standarisasi ahlu Sunnah dalam komunitas muslim di Indonesia:

“Umat Islam Nusantara pada
mulanya adalah satu madzhab, dan memiliki metode pengambilan hukum yang sama.
Dalam fiqih mengambil Imam Syafi’i, dalam teologi mengambil dari Imam Abu Hasan
al-Asy’ari, dan dalam Tashawuf mengambil Imam Ghazali dan Juned al-Baghdadi.”

Menariknya dalam kedua kitab ini,
baik Kiai Hasyim maupun Mbah Fadhol melakukan kill streak terhadap pemikiran
keislaman yang menyimpang. Apa yang membedakan keduanya? Kiai Hasyim tanpa
tedeng aling-aling langsung menyebut nama-nama tokoh yang diberi lampu merah
untuk tidak diikuti paham keislamannya, antara lain: Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridla, Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, Ahmad bin Taimiyah, Ibnu Qayim
al-Jauzi, dan Ibnu Abdul Hadi.

Hal ini nampak berbeda dengan
al-Kawakib al-Lamma’ah karya Mbah Fadhol yang lebih melakukan hook dan straight
kepada kelompok yang menyimpang, lengkap dengan pecahan-pecahan di dalamnya,
seperti: khawarij beserta delapan kelompok pecahannya, Syiah berikut lima
kelompok pecahannya dan mu’tazilah sekaligus 12 kelompok pecahannya. Eksplanasi
firqah yang dilakukan oleh Mbah Fadhol ini, dilengkapi dengan argumentasi
sejarah berikut ulasan mengenai penyimpangan lengkap dengan tokoh kuncinya
masing-masing.

Jika kita kategorikan, Risalah
Kiai Hasyim setidaknya merangkum beragam tema yang variatif, tidak hanya soal
teologi, misalnya: diskursus tentang konsep kelompok mayoritas (sawadul
a’dzom
), kritiknya terhadap wahdatul wujud, hulul dan ittihad, serta
perpecahan dalam tubuh umat Islam. Namun menariknya, Kiai Hasyim juga
menyisipkan bahasan dalam diskursus Aswaja tentang konsep bermadzhab fiqh, tradisi
keislaman, soal memperlakukan jenazah dan sikap terbaik dalam beragama. Secara heroik,
kakek Gus Dur ini tampil tak hanya sebagai teolog, tapi juga “bapak kaum
pesantren” yang melakukan pembelaan di garda terdepan dalam mengokohkan argumen
amaliyah masyarakat muslim Nusantara.

Terdapat persamaan yang selaras
dan senafas antara Risalah Kiai Hasyim dan al-Kawakibnya Mbah Fadhol, bahwa
keduanya sepakat tentang sistem bermadzhab dan keniscayaan taqlid kepada para
mujtahid. Di sisi lain, guru-murid ini juga kompak dalam melakukan “tendangan
pinalti” kepada Ibnu Taimiyah, syiah rafidhah dan kelompok Wahabi. Dengan demikian,
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bagi keduanya adalah kelompok umat Islam yang menjaga
kemurnian ajaran Islam dengan menginduk kepada para ulama ahli hadits, ahli
fiqh dan ahli tafsir yang mu’tabar, yang dalam kesempatan lain juga dikuatkan
oleh Kiai Hasyim dalam karyanya yang lain, yaitu Ziyadatu at-Ta’liqat.

Baik Kiai Hasyim dan Mbah Fadhol
sama-sama konsisten mengawal ahlu Sunnah sesuai dengan zamannya masing-masing. Beliau
berdua tampil bak gemintang yang menerangi kegelapan umat dalam berIslam. Bila
peran Kiai Hasyim lebih menonjol sebagai Bapak yang mengayomi dengan melakukan
pembelaan terhadap tradisi keagamaan, maka Mbah Fadhol berusaha memperkuat
kuda-kuda teologi Sunni melalui argumen history of thought kelompok-kelompok
non-sunni beserta penyimpangannya.

Perpaduan yang klop: Sang Guru meluruskan
tuduhan, Sang Murid membuktikan penyimpangan sang penuduh.

*Koodinator Divisi Riset dan
Data LTN NU Jawa Timur

https://www.halaqoh.net/2021/04/membincang-aswaja-dari-karya-guru-murid.html