Membaca Ulang Gagasan Sastra Hizib

Oleh Mashuri Alhamdulillah, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Jawa Timur

Saya membuka arsip-arsip lama. Ternyata, saya pernah menulis sebuah resensi buku mungil tetapi menarik untuk didiskusikan. Resensi tersebut pernah dimuat di jurnal Balai Bahasa Jawa Timur, yaitu Atavisme, Vol. 10, Nomor 1, tahun 2007. Buku tersebut adalah “Sastra Hizib” karya Murtadho Hadi, diterbitkan Pustaka Pesantren, Yogyakarta, cetakan I, Mei 2007. Jumlah halaman 109 + xi halaman. Berikut ini resensi saya pada buku tersebut. Hitung-hitung sebagai ngablak siang.

Di kalangan santri, hizib memang bukan sesuatu yang asing. Doa-doa khusus yang kerap diberi nama tertentu dan melekat pada sosok seorang wali itu memang diakrabi oleh kalangan santri (juga masyarakat santri) sebagai sesuatu yang khusus dan intim. Hanya saja, untuk soal penyebutan sastra hizib memang sesuatu yang baru, karena biasanya hizib memang dipahami sebagai sebuah cara bermunajat pada Sang Ilahi dengan cara yang istimewa, tanpa ada embel-embel sastranya.

Dan, apa yang disodorkan oleh Murtadho Hadi, lewat buku mungil Sastra Hizib ini, memicu banyak hal yang harus ‘dibaca’ kembali, terutama untuk posisi hizib itu sendiri yang dipersandingkan dengan sastra. Apalagi epistemologi yang diungkap seputar kemunculan peristilahan ‘sastra hizib’ memang cukup memicu tanda tanya. Buku ini memberi satu anggitan, bahwa disebut sastra hizib karena “sastra yang meluncur ‘apa adanya’ seolah sudah terpatri di lubuk hati dan tinggal menunggu waktu untuk diluncurkan. Ia bukan ‘rekayasa’ kata dan bahasa seperti dilakukan oleh banyak penyair kita. Tak pelak lagi sastra hizib ini bisa melengkapi genre sastra yang sudah ada di masyarakat kita”. Pernyataan tersebut tertera pada back cover.

Tentu, apa yang digagas Murtadho Hadi tersebut bisa dijadikan satu pijakan menarik, dan tentu merupakan sebuah gagasan yang cukup brilian. Namun, seyogyanya, harus dikaji lebih jauh perihal gagasan genre sastra hizib, terutama jika diletakkan di antara genre sastra yang mengacu pada agama, semisal genre sastra sufi. Pertanyaannya, mampukah sastra hizib disebut sebagai sebuah genre dan berdiri sendiri dengan kaidah-kaidah tersendiri yang khas dan otentik?

Buku ini terdiri atas delapan bab. Bab pertama, merajut ‘makna semantik hizib. Bab dua, berisi uraian singkat sastra hizib di tengah sastra konvensional. Pada bab ini, terdapat sebuah acuan yang berusaha membedakan antara sastra hizib dan sastra pada umumnya, di antaranya ada ungkapan: ‘sebagaimana syair dalam tradisi lisan, hizib itu pun lahir dalam kemurniannya. Itulah yang membedakan antara sastra hizib dengan ‘berhala’ para penyair untuk konteks saat ini. Terkadang penyair ketika menulis puisi, di benaknya sudah tergambar panggung dan setting, serta tepuk tangan penonton. Maka penyair-penyair itu adalah benar sebagai orang-orang yang dungu. (Hadi, hal. 4). Ditegaskan lebih jauh: ‘selanjutnya dari para penyair seperti itu, kita bisa membayangkan apa yang akan ditulis. Sekadar apologi, toh itu bisa dikatakan sebagai sifat kekanak-kanakan para penyair?’ Pernyataan dan pertanyaan itu terungkap dalam bab 2, yang mencontohkan proses Imam Syafii membuat syair ketika ia ditolak oleh tukang cukur, karena jubahnya yang compang camping.

Pada bab tiga, ‘Epistemologi Sastra Hizib’, Hadi berusaha merunut asal-usul peristilahan itu. Namun, apa yang diungkap kurang memadai. Ia sama sekali tidak meruyak wilayah dalam dari munculnya istilah itu, juga asal-usul pengetahuan atau genealogi yang melingkupinya. Ia hanya mencontohkan perihal kemunculan dan keistimewaan hizib Nashr (salah satu hizib yang sangat dikenal di kalangan masyarakat kita), juga berusaha menukil beberapa ungkapan bernas yang berupa puisi atau ‘prosa liris’ dari beberapa sufi yang termuat dalam beberapa kitab, seperti Sirrul Jalil, Al Hikam, Diwan Syafii dan Sirajut Thalibin.

Dalam bab itu, meski kerangkanya adalah epistemologi, tapi yang terungkap hanyalah secuil dari hizibnya, tanpa menyinggung perihal sastra sama sekali. Ditegaskan dalam buku ini: ‘basis epistemologi sastra hizib adalah ketika ruang-ruang historisitas manusia telah tertaburi oleh tembok yang begitu tebal sehingga yang dibutuhkan adalah ‘lompatan’. Jika tangan-tangan manusia (yang masih diliputi hawa nafsu) telah mengalami kebuntuan maka yang dibutuhkan adalah ‘Karya Tuhan” (bahasa santrinya: fi majari al haq) yang termanifestasikan melalui hamba-hamba pilihan. (Hadi, hal. 5).

Pada bab-bab selanjutnya, yaitu bab 4 berisi Munajat Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandary, pengarang kitab tasawuf legendaris Al Hikam, bab 5 Hikam Syafi’i (faqih yang sastrawan), bab 6 Hizib Nashr (Munajat Syaikh Abu Hasan Asy Syadzily), bab 7 Munajat Balya bin Malkan (Nabi Khidir), dan bab 8 Epilog (Tatimmah). Adapun tebal buku ini adalah 108, dengan format buku ‘saku’ nan mungil. Tentu, sangat disayangkan, tiadanya contoh beberapa hizib lain yang cukup dikenal dan mashur pada buku tersebut, seperti Hizib Al Ghazali (Imam Ghozali), Hizib Al Autad (Syekh Abdul Qadir Jailani) dan lain-lainnya.

Ada beberapa hal yang timpang dan perlu ditelusuri kembali dari apa yang digagas Murtadho Hadi. Pertama perihal gagasan sastra hizib; dan kedua adalah menghadapkan antara ‘sufi’ vis a vis dengan penyair kontemporer. Runutan ini tak hendak menabrak gagasan Murtadho Hadi, tetapi lebih pada ikhtiar untuk menempatkan porsi dan wilayah yang tepat untuk hizib, serta adil pada sastranya.

Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam titik tertentu, munajat tersebut bisa dikatakan sebagai doa dan berkadar hizib. Dijelaskan, berkadar hizib karena doa itu seakan tetap dalam strukturnya, bersanad jelas atau nyambung, serta memiliki tata aturan dalam pelafalannya, baik terkait dengan tempat dan waktu. Tentu, ‘melekat’ pada seorang sufi yang sudah mencapai derajat kewalian.

Lazimnya, para pengikut wali bersangkutan dalam pembacaan hizib memang memiliki tujuan-tujuan yang terkait dengan masalah pragmatis, dengan asumsi, bahwa hizib adalah sebuah cara agar doa cepat sampai ke Sang Khalik. Bisa disebutkan sebagai Hizib Ghazali milik Imam Ghazali, Hizib Nashr dan Bahri milik Abul Hasan As Syadzili, Hizib Jailani dan Autad milik Syekh Abdul Qadir Jailani, Hizib Ta’awudz milik Maulana Muhammad bin Wasi’, Hizib Khafy, Hizib Hikmah, Saifi, Barqi, Difaa’, Al Lathif dan lain-lainnya. Selain hizib, seorang sufi juga kerap mendendangkan ungkapan-ungkapannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu.

Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai zikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049). Syairnya yang terkenal adalah:

‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’

Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku” (Waley, hal. 599).

Terkait dengan masalah doa dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang (Schimmel, hal. 208).

Hizib pun masuk dalam salah satu dari tiga kerangka tersebut. Meski demikian, perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama (Schimmel, hal. 209). Sangat dimungkinkan bila dalam hagiografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus atau hizib itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Demikianlah, dunia sufi dan sastra memang berkarib erat. Sastra sufi sudah menjadi genre sejak dulu. Jika kemudian, Mustofa Hadi ingin mengangkat genre sastra hizib maka secara epistemologi dan genealoginya memang harus dimantapkan lebih dulu.

Bagikan tulisan ke: