Meluruskan Kesalapahaman tentang 22 Desember dan Membongkar Ketimpangan Gender dalam Masyarakat Kita

Oleh Nurani Soyomukti, Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek

RumahBaca.id – Hari Ibu sebenarnya adalah Peringatan Kongres Perempuan di mana para aktivis perempuan dari berbagai macam organisasi berkumpul membicarakan nasib mereka. Mereka menggugat tatanan feodal-patriarkal yang menempatkan perempuan hanya sebagai penurut laki-laki yang cenderung ditindas dan dipinggirkan perannya. Tuntutan menolak pernikahan yang dipaksakan, menolak Poligami, Menuntut pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan, pengakuan hak-hak perempuan di bidang sosial politik.

Bagi yang tidak paham akar sejarahnya, karena pemerintah terlanjur menyebut Hari Ibu, dikiranya ini adalah peringatan ala Mother’s Day seperti di luar negeri. Padahal tanggal 22 Desember adalah peringatan kebangkitan gerakan perempuan. Dan kesalahan memahami akar sejarah akhirnya juga berujung pada peringatan yang salah paham saja. Rata-rata peringatan yang dilakukan adalah lomba cantik-cantikan, masak-memasak, dan lomba yang seakan merayakan peran domestik perempuan. Padahal Gerakan Perempuan sendiri adalah juga menuntut pentingnya peran yang setara antara lelaki dan perempuan, di mana perempuan juga boleh punya peran untuk suatu yang lebih daripada sekedar patuh kepada suami, tapi juga boleh ikut berperan di luar rumah, bekerja sebagai makhluk sosial dan publik, ikut kegiatan-kegiatan sosial dan politik.

Perempuan hadir di dunia, bukan untuk sebagai “jenis kelamin kedua” (second sex) yang hanya terpasung oleh kehendak orang lain. Perempuan juga punya hak untuk ada sebagai subjek yang sadar dan bicara, punya pendapat, dan punya peran untuk membangun sejarah. Bagi kaum yang inginnya perempuan hanya untuk melayani suami, menerima nafkah dan upah dari pelayanan terhadap suami saja, yang karenanya setelah diupah perempuan harus patuh pada suami, pemikiran Gerakan Perempuan yang berbasis pada pikiran sadar dan prinsip kesetaraan tampaknya memang tidak mengenakkan.

Tapi memang, pada kenyataannya perempuan tidak lebih lemah dan tidak lebih rendah dibanding laki-laki. Saya sendiri meyakini bahwa perempuan itu lebih kuat dan hebat daripada laki-laki seandainya cara pandang yang sistematik dan struktur sosial yang terbentuk tidak menempatkan perempuan secara rendah. Kalau diberi kesempatan yang sama, seandainya sejak awal perempuan tidak dicap “hanya pantas jadi abdi suami dan ngurusi dapur sumur dan kasur” dan tidak divonis oleh tafsir agama sebagai “calon penghuni neraka terbanyak” atau “sumber dosa”, tentu perempuan akan jauh lebih terdepan dibanding laki-laki.

Masalahnya, pasti ada kaum yang tidak rela jika perempuan itu produktif, menghasilkan ekonomi dan mendapatkan peran politik yang bagus. Pertanyaan yang muncul bagi kalangan seperti ini: “Lha kalau laki-laki tidak memberi nafkah, apakah justru nantinya ada kekuatan dan otoritas bagi laki-laki untuk mengatur dan menundukkan perempuan?”

Kalau bagi saya pribadi, kalau memang tidak ada lagi vonis peran gender “laki-laki menafkahi istri dan istri nurut pada suami” ya seharusnya sudah tuntas. Kalau perempuan memang sudah punya pemikiran bahwa untuk bisa hidup ia tak harus tergantung pada laki-laki, karena ketergantungan menyebabkan ketertindasan, ya tinggal kita mendidik masyarakat bahwa memang seharusnya hubungan yang terikat (seperti pernikahan) itu tidak berbasis pada asumsi-asumsi terhadap peran gender yang bias dan tidak setara sejak dalam pikiran.

Kenapa sich misalnya kalau laki-laki dan perempuan (suami-istri) sama-sama kerja dan menghasilkan? Kenapa sich misalnya pendapatan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki? Kenapa sich seandainya perempuan yang menjadi sumber ekonomi sedangkan laki-lakinya tidak? Apakah kemudian cinta dan kesetiaan itu harus tergantung pada pemberian materi?

Nah, masalahnya sudah ada vonis peran gender bahwa lelaki harus menafkahi perempuan dan jika tidak maka lelaki dianggap gagal. Bahkan struktur ini juga didukung oleh sistem pewarisan yang juga diskriminatif, misalnya tafsir agama bahwa “warisan perempuan separuh dari laki-laki”. Cara pandang ini tampaknya memang diabdikan untuk mendukung bahwa perempuan harus jadi abdi suami sementara suamilah yang wajib menafkahi.

Masalahnya, masyarakat terkini adalah masyarakat di mana perempuan dijamin untuk boleh menjadi kaum produktif, menghasilkan uang dan peran di luar rumah. Tapi di satu sisi cara pandang bias-gender (patriarkal) masih juga bersarang di pikiran orang-orang. Perempuan masih sering memakai “kewajiban nafkah dari suami” sebagai alasan untuk senjata minta cerai dari suami. Sedangkan laki-laki juga menganggap bahwa jika perempuan kerja dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar akan membuatnya malu.

Memang, ideologi “suami wajib menafkahi istri” ini masih menjadi ketetapan yang digunakan oleh negara. Sedangkan dinamika ekonomi sendiri semakin membuka peluang bagi perempuan untuk mencari sumber pendapatan sendiri. Kesetaraan sendiri sudah terjadi pada ranah riil meskipun cara pandang yang ada pada perempuan dan laki-laki dan ketetapan hukum pernikahan juga masih memandang bahwa “lelaki wajib memberi nafkah perempuan”.

Pada hal, menurut saya, bukankah lebih baik jika kedua orang (laki-laki dan perempuan) dipandang sebagai orang yang sama-sama setara dalam mencari sumber ekonomi dan biaya hidup keluarga. Lalu, siapa pun yang mendapatkan sumber pendapatan, baik pihak lelaki maupun perempuan, baik yang berhasil mendapatkan penghasilan adalah satu pihak saja (katakanlah pihak perempuan), ya semuanya bisa dipakai bersama untuk membiayai perjalanan rumahtangga. Maksud saya, toh jika pihak laki-laki karena suatu kondisi tidak bisa memberikan penghasilan pada keluarga atau tak mampu memberi nafkah pada keluarga, sedangkan si istri mampu mendapatkan penghasilan, hal itu tetap tak akan membuat hubungan buruk. Artinya, dalam kondisi seperti itu si istri juga tetap menerima meskipun suaminya tak memberinya nafkah.

Jika setara sudah sejak dalam pikiran, sebenarnya semuanya baik-baik saja. Sejauh ini, doktrin “suami harus menafkahi istri” dan ketakutan laki-laki bahwa ia tak akan bisa melakukan seperti itu, bisa jadi menjadi penyebab kenapa banyak lelaki yang takut untuk menikah. Ini adalah problem besar dalam masyarakat kita yang secara ideologis disokong oleh cara pandang ketidakadilan gender.

Gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan gender tentunya sudah harus menyadari kesetaraan yang adil sejak dalam pikiran. Sedangkan, kemampuan dan kekuatan perempuan yang muncul akibat sudah memiliki bekal bagi perannya di dunia publik akan berhadapan dengan ketakutan laki-laki bahwa pihak perempuan akan menjadi pihak yang tak lagi bisa diatur dan ditundukkan. Maka sebaiknya, kita harus menjadi “laki-laki baru” yang memang harus siap hidup bersama dengan perempuan yang produktif.

Sebenarnya kesempatannya sama. Lelaki juga harus menjadikan dirinya berdaya, kuat, dan produktif sehingga tampak menarik bagi siapapun, termasuk di hadapan perempuan yang ingin dimenangkan hatinya. Bukan saatnya lagi menjadi laki-laki yang hidup untuk menundukkan kaum perempuan dalam hubungan. Sebagian doktrin poligamis mendorong lelaki-lelaki untuk bekerja keras sukses secara ekonomi lalu berpikir agar bisa menikahi perempuan lagi. Perempuan yang secara ekonomi tidak produktif, yang hanya menunggu dinafkahi laki-laki, tentunya adalah para sasaran empuk bagi laki-laki poligamis.

Sedangkan perempuan yang pikirannya maju, wawasannya cerdas, punya peran produktif akan bisa memilih pasangannya. Dan jelas tak akan mampu menjadi sasaran laki-laki yang mendekatinya untuk menjadikannya madu. Dalam situasi ruang sosial yang demokratis di mana negara tidak dikuasai oleh aturan yang melarang perempuan berperan di ranah publik seperti negara kita, tentunya perempuan juga bebas memilih. Dan laki-laki tidak bisa lagi menyalahkan perempuan gara-gara mereka tak bisa ditundukkan dan diatur-atur sesuai harapannya bahwa “perempuan harus manut dan tunduk pada dirinya!”. Bahkan doktrin bahwa “jika perempuan tidak patuh dan membantah boleh dipukul” tidak lagi masuk akal.

Lha memangnya kenapa kok main pukul? Perempuan bukan lagi budak lelaki. Perempuan juga punya keinginan dan harapan. Tidak bisa hubungan diselesaikan dengan berhenti pada dalil “istri harus tunduk pada suami” dan “laki-laki harus lebih unggul daripada perempuan”. Keduanya punya kesempatan untuk bicara. Keduanya harus mau saling mendengarkan. Jika apa yang diomongkan perempuan benar, tak perlu gengsi untuk menjadikannya dasar bertindak. Lelaki juga boleh mendengarkan perempuan dan juga boleh menuruti keinginan perempuan.

Sekian! Salam Literasi! Salam Kesetaraan!