Mbah Shodiq Kiai Sat-set (8): Kiai Tanpa Beban

Pada tahun 1986, saya mengenal K.H. Shodiq Hamzah sebagai Katib Syuriyah Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Kota Semarang. Hingga puncaknya pada Muktamar NU Krapyak (Yogyakarta) pada 1989. Waktu itu sering ketemu. Sambil mengingat-ingat, kalau di Pati ya ketemu dengan K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah dan K.H. Ma’mun Muzayyin.

Kalau saya sendiri mulai menjadi Katib Syuriyah Nahdlatul Ulama Kudus mulai Agustus 1985. Nah, saya sering ketemu dengan beliau dalam forum NU. Mendiskusikan dengan masail (permasalahan) yang ada dalam pertemuan Bahtsul Masail, baik itu sebelum acara ataupun setelah acara berlangsung. Dari sinilah banyak saling bertukar gagasan.

Mbah Shodiq sangat bersahaja dan kepolosannya. Apa adanya. Bukan tipe orang politik. Bener NU deles (tulen). Saya punya kecocokan dengan beliau. Dalam hal keilmuan.

“Nggak patek (begitu) pantes kalau rumahnya bagus”

Saya mengenal Mbah Shodiq dahulu sebelum bertempat di komplek pesantren Ash-Shodiqiyyah (beliau menjadi pengasuh) sekarang ini. Ya di daerah komplek Masjid Terboyo (Tambakrejo, Gayamsari, Kota Semarang).

Saya masuk PWNU itu pada 1998. Mbah Ubed (K.H. Ubaidullah Shodaqoh) sudah masuk di PWNU. Selain itu, angkatan saya itu sudah ada Drs. H. M. Muzamil. Pada waktu itu, PWNU masih dipimpin Drs. K.H. Achmad (Semarang) dan Rois Syuriyah K.H. Amin Sholeh (Jepara). Saya yang narik ke PWNU Jateng ya sama K.H. Zuhdi.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (6): Kanjeng Sunan Gunungjati, Wali Moderat Bergelar Sultan

Saya di NU tidak memiliki beban apa-apa. Maka ketika tidak menjadi pengurus NU pun tidak apa-apa. Biasa saja.

Nah, Mbah Shodiq tidak masuk ke struktur PWNU pada waktu itu. Saya memiliki kesamaan dengan Mbah Shodiq. Masuk ke struktur tidak masalah tidak masuk juga tidak apa-apa. Saya tak punya beban apa-apa.

Kalau sekarang ini banyak orang berkeinginan menjadi pengurus. Karena dengan menjadi pengurus bisa menjalankan kepentingan masing-masing. Kadang, NU-nya malah ditinggal.

Ora dadi ora pateken (tidak jadi tidak apa-apa). Itu yang saya senang dengan beliau. Tidak ada keinginan macam-macam.

Kalau dilihat ya beliau setelah menjadi Rois Syuriyah PCNU Kota Semarang masa khidmah 2011-2016 sudah tidak masuk struktur NU lagi.

Pada pertemuan 5 Desember 2021 di pesantren Ash-Shodiqiyyah menjadi peristiwa penting dalam sejarah NU. Yaitu terdapat pertemuan Majma Buhuts an-Nahdliyah. Dalam pertemuan ini ada Rois Amm KH. Miftachul Ahyar dan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siraj, MA selain itu juga ada K.H. Yahya Cholil Staquf hadir. Saya tahu persis karena saya ya ikut acara tersebut.

Mbah Shodiq itu termasuk memiliki banyak peran, ada banyak pertemuan penting yang diselenggarakan di Pesantren Ash-Shodiqiyyah. Salah satunya pertemuan itu.

“NU itu washilah (cara) dan ghayah (tujuan) adalah aswaja.”

Baca juga:  Syekh Yasin Al-Fadani dan Ilmu Falak (4): Faedah Mempelajari Ilmu Falak

Beliau itu kalau menghormat tamu luar biasa. Orangnya masih seperti dulu, tak berubah sama sekali. Tidak neko-neko (aneh-aneh).

Orangnya tak punya beban. Nah, ini yang saya suka. Banyak orang pinter tapi banyak kepentingan. Ditirulah profiling Mbah Shodiq. Namun, kadang-kadang itu naif. Ketulusannya dan kesahajaannya. Karakternya itu yang penting.

https://alif.id/read/khnh/mbah-shodiq-kiai-sat-set-8-kiai-tanpa-beban-b246366p/