Mbah Muharto: Pemiliki Serat Menyuri

Serat Menyuri merupakan sebentuk kitab naskah yang memuat berbagai suluk. Serat tersebut pertama kali saya ketahui lantaran berkunjung ke rumah Mbah Muharto, seorang kasepuhan “Jawa Islam” Kalitanjung Banyumas. Menyuri merupakan akronim dari Menuju Sunyo Ruri yakni, menuju ke alam kematian.

Dalam Serat Menyuri, terdapat berbagai suluk, diantaranya: Suluk Syekh Abdus Salam, Suluk Linglung, Suluk Kentrung, Suluk Rancang, dan Suluk Malangsumirang. Keberadaan Serat Menyuri berkelit kelindan dengan corak keberislaman masyarakat Grumbul Kalitanjung, Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

Pengisahan Mbah Muharto, pemilik Serat Menyuri: “Serat Menyuri merupakan kitab turun temurun dari leluhur saya. Saya memiliki Serat Menyuri semenjak saya menjadi Kasepuhan Kalitanjung. Serat Menyuri ini asal-muasalnya dari Sunan Panggung (Raden Watiswara)”.  Kepada saya, Mbah Muharto memperlihatkan salinan  Serat Menyuri, untuk Serat Menyuri dalam bentuk asli, saya belum diizinkan melihatnya.

Dook Penulis

(Dokumentasi Asli Penulis)

Jika digali lebih mendalam, Raden Watiswara (Sunan Panggung) merupakan anak Sunan Kalijaga, sekaligus saudara kembar dari Dewi Wretiswari (Ibu dari Jaka Tingkir). Berbagai kajian menyatakan bahwa ia merupakan penyuluh agama Islam cum penyuluh ajaran tasawuf bersifat heterodoks. Ia tak jauh berbeda dari gurunya Syekh Siti Jenar yang mengajarkan tasawuf berunsur-unsur sinkretis antara Islam dengan spiritual Jawa, utamanya tentang Manunggaling Kawula Gusti yang pantheistic.

Yakni perilaku tasawuf yang hanya mementingkan aspek batin atau kebatinan saja, mengutamakan hakekat dan mengabaikan syariat, ajarannya lebih mengutamakan karomah dan kesaktian dengan melupakan tata cara sembah yang benar, sebagaimana ditetapkan oleh syariat.

Ajaran tasawuf dari Sunan Panggung ini tentunya vis a vis dengan para wali di Kerajaan Demak. Ia kemudian mendapat pertentangan dengan Kerajaan Demak yang notabene tengah menyebarkan tasawuf ortodoks, yakni tasawuf yang dekat dengan syariat Islam, berupa karya sastra suluk bercorak pemikiran tasawuf di pusat Islam. Kata ortodok berasal dari bahasa Inggris “orthodox” artinya sesuai dengan aturan yang baku; dipraktekan lebih ketat (Abdul Munir M, 1999).

Baca juga:  Bantahan Imam Al-Ghazali Terhadap Orang yang Tidak Percaya Akan Adanya Siksa Setelah Kematian

Ia pun bernasib seperti gurunya (Syekh Siti Jenar), yakni mendapat hukuman dari Kerajaan Demak sebagaimana pengisahan Babad Jaka Tingkir: Sunan Panggung tatkala usia 17 tahun, ia telah memperoleh “Ilmu Sejati” dari Sunan Giri Prapen. Sampai-sampai ia mendapat ‘wahyu’ dan sama-sama sekehendak dengan Yang Maha Mengetahui, sebagaimana pengisahan Babad Jaka Tingkir: Sinung wahyu dinulur sakapti/ denira Hyang Manon.

Sungguh pun begitu, dalam baris kemudian, eulogia Sunan Panggung diinterupsi dengan gambaran yang berbeda. Ia dicandrakan sebagai sosok ‘heresi’ dan berjuluk “malangsumirang”, yang berarti hanya mengikuti kemauan sendiri (ngungu karepe dhewe). Perilakunya berseberangan dengan syariat, seperti : tak mau sembahyang di masjid. Ia congkak dan provokatif. Ia juga memelihara dua ekor anjing bernama Iman dan Tokid.

Peliharaan ini mengingatkan saya akan sosok Kiai Mutamakin Kajen yang juga memelihara anjing, yakni binatang yang dianggap najis oleh kebanyakan muslim di Jawa. Perilaku Malangsumirang tentu saja mengusik para petinggi agama di Demak. Sunan Kudus lantas memberi nasihat agar berada di jalan syariat. Tak berhasil. Dewan para wali pun bersepakat, Malangsumirang musti dihukum mati.

Syahdan, tiba saatnya di suatu hari yang cerah, Malangsumirang diarak ke alun-alun Demak. Ia hendak di hukum bakar. Tak dinyana, saat hukum bakar itu berlangsung, hati saya bergumam, nama lain seketika bangkit, menyeruak di ruang kepala: Ibrahim di Babylonia!.Mansur Al-Hallaj!. Dalam Babad Jaka Tingkir, Malangsumirang dicandrakan sosok yang tak gentar dihukum bakar:

…..Malangsumirang wus prapti

            Millya lenggah anggene wali sosoran, 

            Sonane alit binekta,

            Ngadhep ing ngayunireki,                       

            Malang Sumirang ayem neggih

(…Malangsumirang tiba

Baca juga:  Memahami Seluk-beluk Wahdatul Wujud

Lalu duduk di tempat wali rendahan

Ia membawa juga anjing kecilnya

Yang menghadap di depannya,

Rona wajahnya cerah,

Benar-benar tenang)

Sunan Kudus sang eksekutor Syekh Siti Jenar dan Ki Pengging, diutus Raja untuk membakar Malangsumirang.Tak ayal, Sunan Kudus pun menyalakan api, setelah mengatakan bahwa tindakannya bersanding hukum syariat. Ia berujar: ‘ijma’ dan qiyas’ telah pasti, tak boleh bergeming walau serambut’. Mendengar ini Malangsumirang menjawab: ‘Sebelum aku dibakar, berilah aku kertas serta tinta’. Rupanya ia ingin menulis wasiat. Permintaan pun dipenuhi. Dan api unggun berkobar sebagaiamana tersua dalam Babad Jaka Tingkir:

Melanda minyak dan reranting

Menjilat-jilat mengerikan

Api membumbung ke angkasa

Menggeram suaranya

Yang menyaksikan pun merinding

Tapi Seh Malangsumirang bergegas

Pamit sambil memberi salam.

Ia segera naik

Ke atas unggun di utara beringin kurung.

Tak ketinggalan anjingnya

Yang ikut di belakangnya

Setiba di atas unggun

Ia terjun ke dalam api

Dan sesampainya di tengah nyala

Ki Seh duduk bersila

Si anjing menghadap di depan

Tak terjemah oleh api

Lalu Ki Seh memerintahkan anjingnya

Supaya kembali mengambil

Kertas, pena, dan tinta

Yang ditinggalkan di tempat duduknya

Yang akan ia gunakan untuk menulis.

Si anjing pun degan cekatan kembali

Tiba di tempat semula

Lalu mengambil kertas

Serta pena, tinta, yang ketinggalan

Dan masuk kembali ke julangan api

……..

Malangsumirang pun segera

Mulai menulis

Ditengah-tengah kobaran api

Sungguh pun begitu, Malangsumirang tak termakan api. Ia seperti Ibrahim dilemparkan ke dapur api, tetapi diselamatkan oleh malaikat Jibril dan api pun berubah jadi taman mawar. Ditengah kobaran api, ia muncul dan menghasilkan karya tulis (suluk). Diiringi anjingnya yang membawa karya tulisnya, ia kembali duduk dalam majlis. Anjingpun juga duduk, menjunjung tulisan tuannya bersama tinta dan pena.

Baca juga:  Jejak Tasawuf (2): Masa Pertumbuhan

Karya tulis Sunan Panggung tersebut kelak bernama “Suluk Malangsumirang”. Suluk Malangsumirang itu kemudian dibacakan oleh seorang ‘juru pamaca’ yang disuruh Raja untuk mengumandangkannya ke publik hari itu juga. Sedangkan Malangsumirang, ia lantas meninggalkan alun-alun, pergi meninggalkan kraton, para wali, dan puak yang membakarnya. Ia beruzlah ke hutan lebat kalampiasan, tempat yang wingit, sepi, asing dari manusia.

Kembali ke Serat Menyuri. Serat menyuri menjadi sebuah kitab pedoman lelaku bagi kelompok “Jawa Islam” Kalitajung, Banyumas. Berbagai kumpulan suluk menuturkan lelaku manusia mulai dari lahir hingga kematian (sangkan paraning dumadi).  Kitab ini dikidungkan ketika ritual pertemuan kelompok “Jawa Islam” Kalitanjung dan ketika ada orang yang meninggal dunia. Kelompok “Jawa Islam” Kalitanjung ini memiliki keterkaitan dan keterikatan dengan ajaran dari Sunan Panggung.

Corak tasawuf bernuansa ortodoks melekat pada kelompok “Jawa Islam” Kalitanjung, seperti contoh dalam hal syariat berupa solat. Dalam agak malu-malu saya bertanya pada Mbah Muharto terkait pelaksanaan solat. Mbah Muharto berujar, “Saya tak melaksanakan solat sebagaimana syariat (solat 5 waktu), yang saya lakukan solat daim (senantiasa ingat Alloh)”.

Setelah bercerita begitu pekat, Mbah Muharto memberi wejangan kepada saya, begini; “Pokoke urip neng dunya kudu leganing dunya, lilaning ati, susilo amongraga”. Maksud dari leganing dunya lilaning ati, susilo amongraga yakni, hendaknya kita hidup di dunia ini dengan penuh kerelaan, dan menjaga kesopanan, toleransi, dan tenggang rasa, agar selamat di dunia dan di akhirat.Ringkasnya, nasihat itu memuat ajakan untuk mengingat hubungan hablum min Allah dan hablum min annas. Begitu.

https://alif.id/read/csy/mbah-muharto-pemiliki-serat-menyuri-b245950p/