Malu Akhlak Mulia Yang Semakin Menghilang

LADUNI.ID, Jakarta – Kini, kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan sebagian manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang. Aurat dipertontonkan dengan menggunakan kecanggihan teknologi. Harga diri dijual menjadi ajang komoditi, praktik korupsi, penipuan merajalela dan lain Ke mana hilangnya rasa malu pelaku kebiadaban moral saat ini? Malu bukanlah sifat yang mudah untuk dimiliki. Malu hanya akan tumbuh dan menjadi perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah SWT dan hari akhir benar-benar sangat kokoh.

Rasa malu adalah sumber kebaikan dan pembentuk akhlak mulia, selain sebagai harta warisan dari para utusan Allah SWT terdahulu. Karena itu, malu menjadi salah satu pangkal keimanan seseorang. Betapa tidak, bila seseorang sudah tidak memiliki rasa malu, maka ia berpotensi melakukan berbagai hal yang dilarang agama.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak dari orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini jika melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan rasa penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa malu, merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa walaupun banyak orang lain yang mengetahui apa yang telah dilakukannya.

Islam menempatkan budaya rasa malu sebagai bagian dari keimanan seseorang. Orang yang beriman pasti memiliki sifat malu dalam menjalani kehidupan. Orang yang tidak memiliki rasa malu berarti seseorang bisa dikatakan tidak memiliki iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melewati, seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji.

Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari rezeki yang halal dan merasa menyesal jika tidak bisa melakukan kebaikan setiap hari. Apabila seseorang hilang rasa malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  mengatakan bahwa seluruh kebaikan sejalan dengan rasa malu.
Dia merasa :
 “ Rasa malu tidak datang kecuali dengan kebaikan…” (Hr. Bukhari) dan,
“Rasa malu adalah kebaikan semuanya… ” (Hr. Muslim).

Malu adalah tanda keimanan, dan keimanan akan mengantarkan pada surga

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

“Dan sikap malu adalah salah satu cabang dari keimanan” (HR. Al-Bukhari, 8; Muslim, 50)

الْحَيَاءُ وَالإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر

“Sesungguhnya malu dan iman adalah kedua hal yang beriringan. Jika diangkat salah satu, maka terangkat yang lain” (HR. Al-Hakim, dishahihkan oleh adz-Dzahaby)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”
(Atsar riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar)

Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam kitabnya:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Artinya : dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang.
Yang paling utama adalah perkataan: LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah). Yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)

مسلم : أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم بن ورد بن كوشاذ القشيري النيسابوري

(206 H – 261 H : 55 tahun)

Keimanan Rasulullah sudah menjadi perihal yang tak layak diragukan dan kita semua mengetahui bahwa Rasul seseorang yang sangat pemalu, sehingga tak pernah ditemukan satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Rasul pernah tertawa terbahak-bahak, tentu saja rasa malu itu hadir sebab kadar keimanan Rasulullah yang sangat tinggi.

Iman adalah sebuah kepercayaan, jika berbicara Islam sudah pasti kita berbicara tentang iman, namun tak sedikit dari umat Islam yang mempersempit makna kata “Iman”, apakh sudah cukup membuatnya menjadi seorang muslim yang beriman hanya dengan mengucapkan

 لا اله الا الله محمد رسول الله

Rasa malu yang terpuji terbagi menjadi Dua.
1. Pertama, malu kepada Allah Ta’ala
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berlibur,
“ Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Jawab para shahabat,” Kami sudah malu, ya Rasulullah.” Nabi menjelaskan, “Bukan demikian. Yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan organ-organ yang terletak di kepala, menjaga perut beserta organ-organ yang berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam kubur. Siapa pun yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang meninggalkan hal-hal tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya .” (Hr. Tirmidzi).

Berdasarkan hadis di atas, maka rasa malu kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai rasa malu untuk melakukan perbuatan, ucapan, maupun sikap, yang tercela, karena menyadari bahwa Allah SWT pasti menyaksikan dan tidak menyukainya.

2. Kedua , malu kepada sesama manusia
Rasa malu ini dimiliki oleh manusia normal (tidak sakit jiwa) dan dalam keadaan sadar (tidak tidur atau pingsan). Misalnya malu ketika membuka auratnya, malu kepada orang yang melihat kita saat lupa tak menutup mulut ketika menguap, dan lain-lain. Bila semua itu sejalan dengan rasa malu kepada Allah Ta’ala, menjadi penjagaan kita untuk berhati-hati dalam berperilaku, dengan tetap mendorong rasa ikhlas (tanpa bermaksud riya’), maka ia termasuk malu yang terpuji.

Nah, sekarang kita coba kenali rasa malu yang tercela. Terkadang kita malu untuk menanyakan perihal ilmu atau hukum fiqih, misalnya. Karena itu, kita menjadi tetap berada dalam kesulitan, karena tidak sesuai kaidah yang benar. Rasa malu inilah yang dinilai tercela.

Bila kita tengok sejarah kehidupan gerenasi salaf, kita akan menyaksikan mereka tidak malu menanyakan berbagai hal yang memang menangani tanggung jawab manusia terhadap Rabb-nya. Mereka berani lantang mengajukan pertanyaan demi agar selamat dari perbuatan dosa.
Hadis berikut ini memuat salah satu contoh kasusnya:

Suatu hari Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “ Ya Rasulullah, sungguh, Allah tidak malu akan kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita yang mimpi basah?” Beliau menjawab, “Ya, jika ia melihat udara .”
(Hr. Bukhari no. 6121 dan Muslim no. 313).

Qadi’ Iyad Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “ Malu yang menyebabkan tersia-sianya hak adalah malu yang tidak disyari’atkan. Bahkan ia merupakan ketidakmampuan dan kelemahan… (Fathul Bari: 10/522).

Dalam Al-Qawa’id wal-Fawa’id disebutkan bahwa, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah swt sehingga ia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berperilaku tanpa mau bertanya tentang agama; menyia-nyiakan hak dirinya sendiri; hak-hak orang yang menjadi tanggungannya; hak-hak kaum Muslim; tercela, karena pada hakikatnya itu adalah kelemahan dan ketidakberdayaan .
(al-Qawa’id wal Fawa’id hlm. 182).

Senada dengan penjelasan di atas, Imam Mujahid mengatakan,
“ Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan memperoleh ilmu .” (Atsar shahih riwayat Bukhari).

Mengenai sifat para Muslimah Anshar, Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak mampu menghalangi mereka untuk mendalami agama .” (Atsar shahih riwayat Bukhari).

Demikianlah nilai rasa malu di dalam Islam. Sejatinya rasa malu merupakan sifat terpuji. Namun, ada satu jenis rasa malu yang tercela, malu yang membuat manusia terhenti di dalam jurang ketertinggalan dan keterbelakangan oleh karena terpisah dari ilmu. Padahal ilmu merupakan bekal memeroleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

“Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, hendaklah dengan ilmu. Barang siapa yang menginginkan keduanya, hendaklah dengan ilmu .” (HR.Muslim).

Dan tak sedikit pula yang mengimplikasikan iman hanya sebatas percaya kepada Allah SWT percaya kepada malaikat-malaikat Allah SWT, Percaya kepada kitab-kitab Allah SWT, percaya kepada Nabi-nabi Allah SWT, percaya kepada Hari Akhir, dan percaya qada’ dan qadar. Sesempit dan sesederhana itu seseorang memaknai iman.

Padahal jika ditinjau dari Hadis di atas Makna iman sangatlah luas, iman tak cukup dengan mempercayai 6 rukun itu saja, terdapat banyak hal yang mampu mengimplikasikan dan merepresentasikan iman termasuk salah satunya dengan rasa malu, tingkat kemaluan kita mampu menggambarkan tingkat keimanan kita.

Sebagian ulama membagi malu menjadi beberapa macam, di antaranya:
1.    Malu kepada Allah SWT
2.    Malu kepada Malaikat
3.    Malu kepada manusia
4.    Malu kepada diri sendiri

Jika seseorang memandang dirinya mulia, ia pasti akan jauh lebih malu kepada dirinya daripada kepada orang lain. Seorang ulama Salaf berkata, “Barang siapa yang di tempat sepi melakukan perbuatan yang malu ia lakukan di tempat ramai, berarti dirinya tidak memiliki harga apa-apa dalam pandangannya.”

Sesungguhnya rasa malu adalah penyempurna kemuliaan, tempat tumbuh keridhaan, perambah jalan pujian, pemberi kematangan akal, dan pembesar kehormatan. Semoga Allah memberi kita kesempurnaan rasa malu dan rasa takut kepada-Nya, serta menutup semua amal kita dengan husnul khatimah.

Penting pula untuk menilik esensi kata malu pada Hadis tersebut, tidak serta merta menanggapi semua perkara dengan rasa malu. Semoga bermanfaat.

_________________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 05 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Lisandipo

Sumber : Kitab Fathul Bari dan Hr.Bukhori , Hr.Muslim,Hr.Tirmidzi

https://www.laduni.id/post/read/64189/malu-akhlak-mulia-yang-semakin-menghilang.html