Mahasiswa vs Budaya Literasi

0 0

Read Time:6 Minute, 31 Second

Refleksi Bimbingan Penulisan Tesis Periode Munaqasyah Agustus 2022

Oleh Ahmad Rusdiana*)

Pohon akan dapat dapat tumbuh subur jika diberi pupuk yang cukup sebagai asupan nutrisi terbaik. Pemberian pupuk yang cukup dan rutin mampu menjaga kekuatan pohon hingga ke akarnya. Kekokohan akar pohon dapat mencegah tumbangnya pohon yang diterpa angin.

Begitu pula yang terjadi hubungan antara mahasiswa dan dunia literasi. Literasi menjadi suplemen utama bagi mahasiswa untuk mengembangkan daya nalar, pola pikir, dan kekritisannya. Literasi yang terus dibudayakan mampu membuat produktivitas mahasiswa meningkat. Selain itu, budaya literasi yang telah mendarah daging dapat dijadikan pijakan kuat hingga terhindar dari seleksi kehidupan yang semakin kompleks.

Mahasiswa dengan sederet titel dan perananya, dianggap sebagai figur penting yang bisa memberikan kontribusi nyata terhadap kehidupan sosial. Kekuatannya sebagai seorang elite intelektual, dituntut memberikan pemikiran-pemikiran cemerlang yang bisa dieksekusi secara riil dalam kehidupan nyata. Ide-ide yang cemerlang sering menjadi cirri khas dari mahasiswa. Sehingga tak salah apabila bangsa ini, menyimpan harapan besar di pundak para mahasiswa sebagai generasi penerus, yang bisa meneruskan estafeta perjuangan bangsa.

Dunia adalah buku, dan mereka yang tidak bepergian hanya membaca satu halaman.”

Agustinus

Dari pesan Augustinus di atas terlihat jelas bahwa buku memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih mahasiswa mampu menerobos batas-batas kehidupan dunia.

Namun untuk sebagian kalangan mahasiswa, kata literasi masih terdengar begitu asing. Padahal tanpa disadari literasi telah lekat dalam kegiatan akademik selama berkuliah. Mulai dari membaca buku, berdiskusi tentang pelajaran atau tugas dengan teman, serta membuat tulisan. Semua itu adalah bagian pokok dari literasi. Sayangnya, konsep ideal dari budaya literasi belum direalisasikan secara optimal oleh para elit intelektual (baca: mahasiswa).

Saat ini, budaya literasi di kalangan remaja terutama mahasiswa masih tergolong rendah. beberapa lembaga survei menujukkan yang tidak menggembirakan:

Survey UNESCO pada 2012, anak-anak Eropa menamatkan 25 buku per tahun, sedangkan Indonesia? Mencapai titik terendah, 0 persen! Tepatnya, 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari 1000 orang yang menamatkan satu buku, per tahun. Satu hak yang sama sekali tidak membanggakan. UNESCO juga menyebutkan posisi membaca Indonesia 0.001%—artinya dari 1.000 orang, hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Hasil survei tersebut cukup memprihatinkan.

PISA (Programme for International Student Assessment) menyebutkan, pada tahun 2012 budaya literasi di Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara. Pada penelitian yang sama ditunjukkan, Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara dalam kategori minat baca.

Didukung oleh data The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. Hal ini menjadi sebuah kehawatiran amat nyata untuk generasi muda, ditengah gempuran informasi yang tak jelas asal kebenarannya.

Idealnya, lingkungan pendidikan tinggi merupakan tempat yang strategis untuk mengembangkan kebiasaan membaca. Namun pada kenyatannya, harapan tersebut belum bisa terwujud secara nyata, sebab minat baca dikalangan mahasiswa masih rendah. Realita demikian didukung pula oleh data yang didapat oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tingkat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara dari negara-negara bagian (www.srie.org).

Pantas saja ruang-ruang perpustakaan kampus yang sering kali sepi juga menjadi bukti bahwa mahasiswa belum menjadikan buku sebagai bagian penting dalam hidupnya. Sekalipun ramai dikunjungi, kegiatan yang dilakukan tak jauh dari bermain sosial media, nyari internet gratis, atau sekedar ngobrol biasa. Koleksi buku maupun jurnal yang minim dan tidak up to date bisa jadi faktor utama yang membuat mahasiswa enggan datang ke perpustakaan.

Memang dapat kita akui bawa salah satu kelemahan sistem akademik kampus terletak pada pemberian tugas makalah oleh dosen kepada para mahasiswanya. Seringkali dosen memberikan tugas tanpa disertai follow up yang baik. Misalnya saja, ketika mahasiswa secara berkelompok diberikan tugas membuat makalah tentang suatu topik. Kemudian pertemuan berikutnya diminta untuk presentasi, tanya jawab, dan makalah dikumpulkan. Selesai. Mahasiswa tidak pernah tahu makalah yang dibuatnya sudah memenuhi standar keilmiahan atau belum. Ketidaktahuan ini akan terus berlanjut hingga kegundahan menyelimuti mahasiswa di tingkat akhir dalam penyusunan skripsi, tesis dan disertasi.

Tidak semua mahasiswa mampu bergulat dengan salah satu kegiatan literasi ini. Perlu adanya pembiasaan secara kontinyu agar bisa menguasainya. Bagi mereka yang menyenanginya, semaksimal mungkin dapat menyelesaikan tugas tersebut sampai titik sempurna. Bahkan mencari tahu kebenaran dalam membuat makalah. Sebaliknya, bagi mereka yang enggan bersusah-payah hanya mengandalkan copy-paste sebagai formalitas memenuhi tugas.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi dan teknologi menjadi salah satu faktor utama. Dengan berkembangnya teknologi informasi seharusnya akses terhadap literasi juga lebih mudah. Namun semua itu berbanding terbalik dikarenakan sikap kritis yang juga berkurang atau terlalu fokus terhadap baca cepat atau skimming tanpa pemahaman lebih dalam dan kritis. Hal ini menyebabkan kemampuan menyaring informasi pun lemah dan mudah termakan hoax atau berita palsu.

Roger Farr dalam bukunya, Think Reading (1984) menuliskan, “Reading is the heart of education” cukup menjelaskan bahwa budaya membaca adalah jantung pendidikan. Yang berarti, pendidikan tanpa berliterasi adalah percuma. Dengan literasi, mahasiswa juga mendapat banyak manfaat terutama untuk penyusunan tugas akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi. Bukan hanya dibutuhkan dalam proses belajar dan akademik mahasiswa itu sendiri, literasi juga berperan dalam melakukan perubahan di skala lebih besar dan ruang lingkup masyarakat lebih luas. “Agent of changes”, agen perubahan, begitulah julukan yang disematkan bagi mahasiswa. Jadi sudah sepatutnya mahasiswa mampu membawa perubahan kepada masyarakat terutama melalui literasi.

Pertanyaan kemudian bagaiamana membangun sadar literasi dapat dijadikan solusi?

Pertama, perencanaan adalah hal penting untuk mengatur strategi pencapaian cita-cita. Ketika seseorang gagal menyusun perencanaan, sama artinya ia merencanakan sebuah kegagalan. Hukum tersebut juga berlaku bagi para mahasiswa sebagai kunci perubahan bangsa. Mereka harus cerdas dalam membuat rencana-rencana masa depan. Kecerdasan itu dapat berkembang apabila literasi telah terintegrasi dalam setiap detik waktu hidup mereka. Sementara jika kultur literasi masih “jalan di tempat”, maka mimpi menjadi agent of change hanya sekedar utopis belaka. Harapan akan adanya perubahan dan terjaganya peradaban bangsa mustahil dapat terwujud.

Kedua, dosen sebagai salah satu rekan/mitra/pembimbing diskusi mahasiswa perlu memiliki kesamaan visi dalam memberikan penugasan. Visi untuk membiasakan mahasiswa menganalisis suatu masalah, mengaitkannya dengan teori, mengacu pada referensi dalam maupun luar negeri, sampai pada penyusunan penulisan yang ilmiah. Kebiasan demikian dengan sendirinya akan menjadi budaya di kalangan mahasiswa.

Ketiga, aneka potret kehidupan literasi kampus baiknya dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memotivasi diri. Kesadaran akan pentingnya literasi perlu dibangun mulai saat ini untuk mewujudkan ragam mimpi. Perubahan persepsi ini menjadi titik awal untuk menjelajahi ilmu setiap waktu. Pada akhirnya, mahasiswa mampu mendapatkan kebebasan serta kekuatan berpikir demi sebuah kebenaran yang hakiki.

Jika zaman dulu generasi pemuda menjadi pahlawan pejuang kemerdekaan, generasi muda khususnya mahasiswa zaman sekarang tentunya bisa menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan dengan pemikirannya. Melalui gagasan-gagasan yang ia kembangkan, mahasiswa harus mampu memecahkan segudang permasalahan negri yang semakin hari semakin menyayat hati nurani. Di saat bahaya disintegrasi bangsa mengancam, para mahasiswa sejatinya menjadi agen-agen perubahan yang mengkampanyekan semangat perubahan, semangat perdamaian, semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Wallahu A’lam Bishowab

*) Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui: (1) http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2) https://www.google.com/search?q=buku+a.rusdiana +shopee&source (3)https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M.

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %