Lamtoro Pengobat Luka

Oleh Evy Aldiyah, Guru IPA di SMPN 202 Jakarta

Segarnya udara pagi ini membuatku bersemangat untuk berolahraga pagi, dengan berjalan cepat mengitari kompleks perumahan. Cahaya matahari belum terpancar penuh, tapi di sepanjang jalan yang kulalui sudah tampak geliat aktivitas para penghuni kompleks di sekitar rumahnya. Senyuman dan sapaan ramah dari para penghuni kompleks yang kutemui semakin menambah gairahku pagi ini. Tak terkecuali ibu pedagang sayur langgananku yang sudah siap dengan gerobak sayurnya, kehadirannya selalu dirindukan oleh ibu-ibu di kompleks ini. Aku memberikan kode dengan memutar-mutar telunjukku ke atas lalu berakhir dengan mengarahkan telunjukku ke arah ibu pedagang sayur yang wajahnya tersenyum sumringah. Dia seperti mengerti kode tanganku dengan menganggukkan kepalanya dan mengatakan iya.

Hampir setengah jam aku berjalan berkeliling, berpapasan dengan beberapa penghuni kompleks lain yang juga beraktivitas memanfaatkan segarnya udara pagi ini. Cahaya matahari mulai terasa hangat menimpa wajahku. Sesaat aku menoleh karena ada yang memanggilku, tampak seorang ibu dari blok sebelah berlari kecil menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. Kami pun berjalan cepat bersama menuju ke arah taman. Berjalan bersama mengitari taman sambil mengobrol sungguh menyenangkan.
Pada putaran ketiga mengelilingi taman kami mendapati Bu RT di sana bersama kedua putranya yang masih kecil. Ada yang bermain sepeda. Ada pula yang sedang berjongkok di pinggir jalan seperti sedang mengais dan menjumput sesuatu dan menampungnya ke dalam kantong. Kami yang sedari tadi berjalan lantas berhenti. Selain merasa sedikit letih dan ingin beristirahat, kami juga penasaran melihat Bu RT juga ikut berjongkok bersama putranya. Entah apa yang mereka kerjakan.

Kebetulan tempat kami beristirahat di tepi jalan di sekitar taman ini cukup teduh karena pada area ini dinaungi pohon biola cantik yang cukup rindang. Di sebelah pohon biola cantik menyejajarkan diri dua batang pohon lamtoro yang menampakkan buah polongannya yang bergerombol, bahkan ada polongan yang sudah menua berwarna coklat. Biji-bijinya yang berwarna coklat tampak berhamburan pada aspal jalan dan tanah di tepi jalan.

Rasa penasaranku terjawab, ternyata Bu RT bersama putranya yang masih bersekolah di SD itu sedang menjumputi biji-biji lamtoro yang jatuh di tepi jalan di sekitar taman ini. Kulihat kantung yang dipegang Bu RT belum tampak penuh dengan biji-biji lamtoro yang berwarna coklat. Olahraga pagi kami lanjutkan dengan mengobrol santai seputar minyak goreng dan gula pasir yang menjadi langka bahkan harganya melonjak tinggi di pasaran, sambil membantu Bu RT menjumputi biji-biji lamtoro.

Menurut Bu RT, mengumpulkan biji-biji lamtoro itu adalah sebagai tugas proyek berbasis lingkungan dari guru di sekolah, biji-biji lamtoro tersebut sebagai bahan dasar membuat hasil karya autentik dari para siswa. Rencana putranya akan membuat lukisan dari biji-biji lamtoro itu, imbuhnya. Aku berdecak kagum atas apa yang dilakukan oleh guru dari putra Bu RT tersebut, yang mengajak anak-anak didiknya untuk mencintai dan memanfaatkan lingkungan sekitar.

Sambil terus menjumputi biji-biji lamtoro ingatanku melayang ke masa dulu. Di tempat tinggal masa kecilku banyak dijumpai pohon lamtoro, aku pun sering memanjat pohon lamtoro bersama teman-teman mainku hanya untuk mengambil buah polongan mudanya lalu memakan biji-bijinya langsung. Ya, kala itu sungguh tidak terbayang untuk memakan buah apel atau anggur. Makan biji polongan muda lamtoro hasil petik sendiri bersama teman-teman adalah kebahagiaan yang tak terkira pada masa anak-anak pada masa itu.

Bila menemukan polongan yang sudah tua berwarna coklat kami preteli biji-bijinya, kami kumpulkan lalu kami ronce menjadi sebuah kalung atau gelang bahkan menjadi sebuah tiara mahkota meskipun tidak bertatahkan berlian. Membuat sabuk pinggang dari biji-biji lamtoro juga pernah kulakukan. Bangga sekali memakai kalung, gelang, atau sabuk pinggang dari biji lamtoro tersebut. Pada masa kuliah aku bahkan pernah melihat sebuah pajangan berbentuk kapal pinisi berukuran cukup besar dengan tiang-tiang dan layarnya, di rumah salah satu dosenku. Di mana kapal tersebut dibuat dari biji-biji tua lamtoro yang berwarna coklat. Sangat kagum aku mengamati hasil karya tangan itu, entah siapa yang membuatnya, sungguh keren dan luar biasa.

Kuingat juga dulu aku pernah terjatuh dari sepeda dan mengalami luka di beberapa bagian anggota tubuh akibat gesekan dengan jalan aspal. Aku berteriak ketakutan saat ibuku mengobati dengan cairan merkurukrom yang berwarna merah, lucu sekali bila terbayang itu. Tapi bukan hanya aku yang takut dengan cairan merkurukrom atau obat merah kami menyebutnya, teman-temanku pun sama takutnya. Entah, aku sendiri tidak mengerti mengapa kami waktu kecil sangat takut dengan obat merah itu, mungkin warnanya merah seperti darah ya.

Aku bahkan merasa lega bila nenek sudah mengunyah daun-daun lamtoro hingga lumat lalu menempelkannya pada luka-lukaku, terasa nyaman dan adem. Nenek sangat telaten mengobati lukaku dengan daun lamtoro. Terheran-heran aku melihat lukaku cepat mengering tidak dalam waktu lama. Menurutku pengobatan luka oleh nenek menggunakan daun lamtoro saat itu sangat keren. Dan itu terus dilakukan oleh nenek bila kami mengalami luka kecil pada bagian tubuh kami, hingga beliau meninggalkan kami untuk selamanya karena sakit.

Rasa penasaran mengapa daun lamtoro mampu menyembuhkan luka akhirnya terjawab pada saat aku memasuki masa kuliah, salah satu dosenku meminjamkan buku tentang lamtoro kala itu. Beliau menyarankan penelitian skripsiku terkait dengan tumbuhan lamtoro, tapi sayangnya aku malah meneliti tumbuhan paku, bukan lamtoro. Dulu, sumber informasi sangatlah sedikit, jadi tidak mudah untuk memperoleh info tentang lamtoro. Tidak seperti sekarang, bila ingin mencari informasi tentang sesuatu hal tinggal search di Google saja.

Para pembaca, tahukah apa saja manfaat lamtoro? Kita kenali lamtoro yuk.. Pohon lamtoro atau petai cina yang berasal dari Amerika Tengah ini masih cukup banyak ditemukan di pemukiman penduduk. Asal mula peranan lamtoro dibawa ke Indonesia pada masa dulu adalah sebagai peneduh jalan, sebagai pakan ternak dan penghasil kayu bakar. Namun seiring berlalunya zaman, masyarakat pun mengembangkan pemanfaatan tanaman lamtoro ini. Pohon lamtoro umumnya tumbuh dengan sendirinya pada kebun-kebun atau di tepian jalan, tanpa sengaja ditanam. Buahnya berbentuk polong terkumpul dalam bonggol. Polongan buah yang sudah tua berwarna coklat dan akan mengalami gerak higroskopis, di mana polongan akan pecah dengan sendirinya sehingga biji-bijinya yang coklat melenting berhamburan.

Umumnya masyarakat mengenal lamtoro hanya sebagai bahan makanan, terutama biji mudanya yang dapat diolah menjadi menu masakan. Selain rasa yang enak, lamtoro juga memiliki banyak manfaat kesehatan. Biji lamtoro mengandung 148 kalori, 10,6 gram protein, 0,5 gram lemak, 26,2 gram karbohidrat, 155 miligram kalsium, 59 miligram fosfor, 2,2 miligram besi, serta terkandung juga vitamin A, B1 dan C. Dengan kandungan mineral kalsium yang cukup tinggi maka biji lamtoro ini baik dikonsumsi anak-anak untuk pertumbuhan tulangnya, tentu saja biji dari polongan muda.

Sebenarnya banyak sekali manfaat pohon lamtoro ini. Biji polongan muda lamtoro diketahui bermanfaat bagi kesehatan tubuh seperti meredakan gatal-gatal pada kulit, mengobati dan mencegah penyakit diabetes mellitus, membasmi cacing di dalam sistem pencernaan, menjaga kesehatan mata dan tulang, menurunkan tekanan darah tinggi, dan menetralisir racun di dalam tubuh, Biji-biji lamtoro yang sudah tua pun dapat dibuat hasil karya kerajinan.

Sementara ekstrak daun lamtoro diketahui bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan kehalusan kulit, meredakan rasa nyeri (bersifat analgesik), mengurangi pembengkakan (anti inflamasi) dan menyembuhkan luka, serta sebagai bahan pupuk untuk pertumbuhan tanaman. Nah, manfaat daun lamtoro sebagai bahan pupuk pertumbuhan tanaman sudah pernah kulakukan penelitiannya bersama anak-anak didikku di sekolah.

Terkait dengan manfaat daun lamtoro sebagai obat luka, sejak dulu daun lamtoro digunakan oleh masyarakat sebagai obat herbal dalam penyembuhan luka. Secara umum daun lamtoro digunakan sebagai obat luka dan bengkak dengan cara dikunyah terlebih dahulu atau dengan cara diremas-remas, kemudian ditempelkan pada bagian yang luka atau bengkak. Masya Allah, sungguh keren ya. Seperti itulah yang dilakukan nenek dulu pada kami, mengunyah daun-daun lamtoro hingga lumat lalu menempelkannya ke bagian luka.

Sebenarnya zat apa yang terkandung dalam daun lamtoro sehingga mampu menyembuhkan luka? Tapi bukan luka hati ya para pembaca…

Dalam salah satu penelitian analisis kandungan zat pada daun lamtoro ditemukan kandungan zat saponin 6,74%, tanin 13,34%, lektin 7,92%, flavonoid 12,5%, dan alkaloid 11,2%. Pada penelitian lanjutan ditemukan bahwa zat saponin, tanin dan lektin merupakan senyawa yang mampu memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka.

Kandungan zat saponin, tanin dan lektin mampu menstimulasi regenerasi sel kulit yang mengalami kerusakan pada saat luka seperti luka lecet, luka sayat atau pun luka bakar. Zat tanin juga mampu menghentikan pendarahan dengan menggumpalkan darah di permukaan kulit. Sementara zat saponin mempunyai kemampuan sebagai bahan pembersih sehingga efektif untuk penyembuhan luka terbuka.
Diinformasikan pula bahwa kandungan zat flavonoid dalam daun lamtoro memiliki khasiat sebagai anti inflamasi dan antioksidan yang mampu menekan efek peradangan atau bengkak serta mengurangi rasa sakit (bersifat analgesik). Sedangkan zat alkaloid berfungsi sebagai antiseptik. Tentu saja untuk proses penyembuhan luka juga dipengaruhi oleh faktor lain ya para pembaca yang budiman, seperti faktor usia, nutrisi, luasnya infeksi luka, dan kadar oksigen. Sehingga masa penyembuhan juga berbeda bagi tiap orang bila menggunakan pengobatan dengan daun lamtoro ini.

Teriakan bu RT melihat anaknya terjatuh dari sepeda membuatku kaget. Tampak putra bu RT terduduk di jalan aspal dan meringis karena lututnya tergores aspal begitu juga dengan siku dan telapak tangannya. Aku merespon cepat untuk melakukan pertolongan pertama. Teringat dengan apa yang pernah kualami pada masa kecilku, kupetik beberapa lembar daun lamtoro lalu melumat dan meremas-remasnya pada telapak tanganku hingga mengeluarkan cairan. Kedua ibu di sebelahku yang tadi terpaku melihatku akhirnya ikutan meremas-remas daun lamtoro, atas saranku juga. Sambil aku menjelaskan khasiat dari remasan daun lamtoro kepada kedua ibu di sampingku, aku tempelkan remasan daun lamtoro tadi ke bagian luka putra Bu RT terutama sekali cairannya.

Bu RT tampak lega dan senang sekali melihat putranya tampak merasa nyaman. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah mengagendakan penebangan pohon lamtoro itu karena dianggap kurang indah untuk berada di taman bersama dengan pohon dan tanaman lain. Tapi dengan kejadian ini beliau mengurungkan niat menebang lamtoro tersebut. Bahkan beliau berterima kasih sekali atas informasi yang kuberikan tentang manfaat lamtoro. Ya, mungkin saja Bu RT tidak punya memori atau pengalaman luka dengan pengobatan herbal seperti yang dulu pernah kualami.

Matahari mulai naik meninggi. Kami bergerak meninggalkan taman. Sejenak aku menoleh ke arah pohon lamtoro. Daun-daunnya melambai perlahan ditiup angin pagi, seakan kudengar suara halus berbisik padaku, mengucap kata terima kasih.[]