Kontroversi Gerakan Qur’anis

Oleh Mun’im Sirry, Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA

Tanggal 25 Februari saya menulis status sedang mencari “al-Bayan bi’l-Qur’an” karya Mustafa Kamal al-Mahdawi, penulis kontroversial asal Libya. Saya bertanya mungkin ada teman FB yang bisa melacak versi pdf-nya. Sebab, saat ini buku-buku Arab versi pdf dapat mudah diperoleh dari internet. Namun, buku Mahdawi ini memang tak tersedia versi pdf-nya.

Melalui perpustakaan kampus, saya memesan supaya dicarikan buku langka ini. Perpustakaan kampus-kampus di Amerika akan mencarikan buku apa pun yang kita perlukan. Di mana pun buku tersebut berada. Hari ini mereka mengabarkan telah mendapatkan buku yang saya perlukan itu.

Pada tahun 1990-an karya Mahdawi ini merupakan buku paling kontroversial di Libya. Para penolaknya, terutama dari ulama-ulama konservatif, menuduh Mahdawi telah murtad. Bahkan, mereka membawa kasusnya ke pengadilan. Pada tahun 1990-an, Mu’ammar Qaddafi masih cukup kuat sehingga pengadilan membebaskan Mahdawi, walaupun buku ini dilarang beredar (ini mungkin sebabnya kenapa buku ini sulit ditemukan).

Penyebab penolakan terhadap karya Mahdawi ini ialah karena penulisnya mencoba memahami aspek-aspek hukum dalam al-Qur’an dengan sepenuhnya bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dan meninggalkan hadis atau sunnah. Tentu saja, bila praktik keagamaan seperti salat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, semata dijelaskan dari ayat-ayat al-Qur’an, maka gambaran yang diperoleh akan sangat berbeda dari praktik yang dilakukan umat Muslim saat ini.

Model reformasi keagamaan yang dikembangkan Mahdawi ini biasanya dikenal dengan “gerakan Qur’anis”, yakni suatu upaya beragama yang hanya berbasiskan al-Qur’an. Di banyak negara, para pengosong gerakan Qur’anis ini memang menghadapi penolakan keras. Kasus Mahdawi yang dibawa ke pengadilan bukan yang pertama.

Tahun 1930-an, di Mesir juga heboh setelah Abu Zayd al-Damanhuri menerbitkan karya tafsirnya yang bukan hanya kritis terhadap warisan tafsir klasik, tapi juga memposisikan hadis bukan sebagai penafsir al-Qur’an. Karyanya yang berjudul “al-Hidayah wa’l-Irfan” itu begitu cepat lenyap dari peredaran. Seperti Mahdawi, Abu Zayd juga diseret ke pengadilan. Dan, seperti Mahdawi juga, penulisnya – alhamdulillah – lolos dari hukuman pengadilan.

Sesaat setelah Abu Zayd menerbitkan karya tafsirnya, ulama-ulama Azhar, termasuk syeikhnya, meradang. Mereka marah bin murka. Berbagai tuduhan dilemparkan kepada Abu Zayd. Beberapa penulis Azhar belakangan, seperti Dzhabi, menyebut karya Abu Zayd sebagai “tafsir ateis.” Tentu saja, tuduhan itu untuk mendeskritkan penulisnya.

Hari ini saya membandingkan dua karya kontroversial itu. Banyak kemiripan, walaupun karya Mahdawi ini memang dahsyat. Bersifat tematik dengan penjabaran sangat detail. Jika teman-teman sudah baca karya Abu Zayd yang tersedia di internet, karya Mahdawi ini bisa dibaca sebagai lanjutannya. Banyak kejutan menarik.

Yang sangat disayangkan adalah kenapa penulisnya harus berhadapan dengan pengadilan. Tak bisakah para ulama itu menyanggahnya dengan karya serupa? Baik “al-Bayan bi’l-Qur’an” maupun “al-Hidayah wa’l-Irfan” terdiri dari 2 jilid. Ya, tidak perlu menanggapi dengan 2 jilid. Cukup satu saja. Tentu, seharusnya mereka menanggapi setelah paham isinya. Artinya, setelah membacanya dengan teliti dan cermat.

Semoga para pemikir non-ortodoks dan konvensional di Tanah Air tidak perlu berhadapan dengan lembaga pengadilan. Jangan sampai itu terjadi.