Kiai Nashir Abdul Fattah dan Rokoknya

Sering kali, jika bercerita, Gus Dur menganggap pendengarnya mengerti semua. Misalnya, saat bercerita Kiai Abdul Fattah, Gus Dur tidak menjelaskan siapa Kiai Abdul Fattah ini. Gus Dur hanya kasih keterangan nama pesantrennya: Tambakberas. Namun, Karena kisahnya menarik, orang tidak bertanya-tanya lebih jauh. Pendengar atau jamaah, termasuk saya, fokus menikmati isi ceritanya. Eh, apa kisah Gus Dur tentang beliau?

Populer sekali, yaitu tentang santri yang nakalnya setengah mati. Gus Dur dan para pengurus pesantren lain, merekomendasikan santri bernama Fulan ini dikeluarkan dari pondok. Sebab, kenakalannya tidak bisa ditoleransi, bahaya untuk santri lain, bisa menular, bahaya jika masyarakat tanu, bisa menyebar kabar buruknya, dan mencoreng nama baik pesantren.

Namun, setelah mendengar penjelasan pengurus pesantren, Kiai Abdul Fattah memutuskan tidak mengeluarkan santri Fulan ini. Malah beliau sampaikan kepada pengurus begini:

“Jika kalian tidak sanggup lagi, biar saya yang urus, biar dia tinggal sama saya di rumah. Tidak mungkin dikeluarkan, orangtuanya sudah mempercayakan Fulan kepada kita. Masa kita juga menyerah?”

***

Akhir tahun 2015 atau awal 2016, saya sowan Kiai Nashir Abdul Fattah di Tambakberas-Jombang, untuk keperluan wawancara film dokumenter pesantren. Yang merekomendasikan saya ke sana adalah Gus Rozin (belakangan saya baru tahu, Gus Rozin adalah ponakan Kiai Nashir).

Baca juga:  Seabad Usmar Ismail (2): Terikat dan Tertinggal

Saya diterima dengan baik, pasti karena menyebut nama Gus Rozin. Mula-mula bertemu dengan putranya, Gus Rifan Nashir. Baru setelah itu bertemu dengan Kiai Nashir langsung.

Setelah menjelaskan sana sini, Kiai Nashir mengizinkan kami ambil gambar di pesantrennya; masjid bersejarah, asrama, hingga pembelajaran di Muallimin. Namun, beliau sendiri tidak berkenan diwawancarai. Beliau meminta Gus X atau Gus Y saja. Alasannya, yang muda-muda saja, dan masih ganteng-ganteng.

“Saya ini sudah tua, sudah gak punya gigi,” kira2 begitu beliau menolak halus dengan candaan.

Namun, karena saya “ngotot”, kasih alasan dan penjelasan, beliau berkenan diwawancarai. Apakah urusan sudah selesai?

Belum sama sekali. Saat diwawancarai, beliau tidak mau lepas dari rokoknya. Persiapan dimulai, lampu, sound, kamera, dan rokoknya Kiai Nashir mulai dinyalakan. Sebelumnya, saya membisiki para kru Yuda Kurniawan, dkk. Isinya, tidak masalah sambil merokok dulu, nanti setelah beliau nyaman, baru kita info lagi bahwa wawancara ini minus rokok.

Alhamdulillah semua lancar. Obrolan berlangsung. Memang, menit-menit awal kikuk, karena rokoknya banter dan beliau lebih banyak menggunakan bahasa Jawa halus, yang saya tidak 100% paham. Setelah obrolan berjalan 15an menit. Saya menyela, “Maaf Kiai, jika rokoknya dimatikan dulu pripun?”

“Lah pripun?” Jawabnya.

Baca juga:  Sajian Khusus: Mewarisi Perjuangan Global Gus Dur

“Nganu Kiai, asapnya bikin kamera tidak bagus dan nanti video ini ditonton juga sama anak kecil.”

“Oh gitu ya.. nggih monggo bismillah tanpa rokok,” jawabnya sambil ketawa.

Gus Rifan yang duduk tidak jauh dari kami, mungkin mbatin, “Ini abahku dikerjain gak jelas.”

Singkat kata, wawancara selesai, berjalan lancar. Beliau bercerita tentang bagaimana pesantren mendidik santrinya, dan mendidik anak-anak muda, tetatangga pesantren yang tidak mau nyantri.

***
Beberapa bulan kemudian, saya datang lagi, untuk memutar film tersebut. Namun, beliau sedang gerah. Hanya Gus Rifan yang menemui kami dan memutar film di depan para santri.

Sekitar awal 2017, saya ke Tambakberas lagi bersama Elik Ragil , untuk memotret masjid Tambakberas yang terkenal itu. “Semoga bisa sowan Kiai Nashir,” batinku.

Alhamdulillah, Kiai Nashir bisa disowani, juga bersama Gus Rif’an (juga sowan Gus Mahfud, menantunya Kiai Hasib). Kondisi tubuhnya sudah berubah, tampak sudah lemah, padahal hitungannya belum lama kami sowan, dan waktu itu masih bugar. Umurnya belum terlalu sepuh, tapi memang karena kurus sekali, jadi tampak sepuh sekali. Tapi seperti biasa, beliau menerima kami dengan hangat dan senyuman, juga rokoknya.

Kali ini, selain minta izin memotret masjid, saya punya satu pertanyaan khusus, yaitu tentang nama belakan Kiai Nashir: Abdul Fattah.

Baca juga:  Kalimah Takziyah dari Para Tokoh untuk Djohan Effendi

“Kiai, maaf, Abdul Fattah di belakang nama panjenengan sinten njih?

“Nama abah saya..”

“Apakah Kiai Abdul Fattah yang sering diceritakan Gus Dur itu?”

“Iya, betul..”

Mak nyes mendengar jawaban beliau. Saya bahagia, bertemu putra dari kiai yang kearifannya sundul langit itu. Dan persowanan yang cuma 2 kali itu, menggambarkan bahwa Kiai Nashir juga penuh kearifan, seperti ayahandanya.

***

Kiai Nashir wafat, kemarin, 28 Agustus, malam Ahad, pukul 6.20. Saya mendengar kabar ini dari Gus Rozin. Dan dikebumikan hari itu juga, di kompleks pemakaman pesantren Tambakberas. Usianya 70 tahun. Beliau lahir 1952.

Semoga amal perjuangannya menjadi jariyah dan semangatnya dalam melestarikan tradisi pesantren, tradisi kitab kuning, bisa dilanjutkan generasi berikutnya. Amin. Alfatihah.

https://alif.id/read/hamzah-sahal/kiai-nashir-abdul-fattah-dan-rokoknya-b245151p/