Kiai Abdul Wahab Ahmad: Bukan Bahasa Dakwah

Laduni.ID, Jakarta – Beberapa kalangan bertanya-tanya kenapa saya kadang memakai diksi yang kasar seperti kata “bodoh”, “sesat” dan sebagainya dan tidak memakai kata yang lebih halus? Sebagian lagi bertanya kenapa kadang meladeni komentar kasar keras kepala yang seharusnya saya abaikan? Jawabannya karena seringkali saya memang tidak dalam posisi untuk menggunakan bahasa dakwah. Dengan kata lain, saya tidak sedang “berdakwah”.

Dakwah berasal kata da’a yang artinya mengajak, yang namanya ajakan harus dilakukan dengan lembut, pelan dan simpatik. Kalau tidak, maka objek dakwah akan lari. Dalam bahasa dakwah, yang haram pun kadang tak bisa dikatakan haram secara vulgar tetapi diganti dengan “tidak baik untukmu”. Yang jelas sesat pun tidak boleh dibilang sesat tetapi orangnya didekati hingga akrab lalu pelan-pelan diajak ke jalan yang tidak sesat.

Ketika menghadapi pemabuk misalnya, seorang da’i tak bisa serta merta bilang haram lalu menceramahinya sebab itu takkan efektif bagi dakwah. Yang bisa adalah menyadarkan pelan-pelan dengan berbagai cara unik. Ini kegiatan para da’i yang turun ke lapangan untuk menyadarkan masyarakat agar menjadi lebih baik.

Namun, akun FB sayangnya ini tidak berfungsi untuk itu. Bahasa dakwah saya gunakan di alam nyata sedangkan di dunia maya untuk tujuan berbeda. Akun ini memang untuk menyerang dan bertahan. Menyerang secara ilmiah pihak-pihak yang selama ini melakukan manipulasi data, memotong dalil seenaknya, mengubah konteks keterangan para ulama dan menuduh yang bukan-bukan terhadap ajaran mayoritas ulama. Mayoritas ulama yang dimaksud adalah empat mazhab fikih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah) dalam bahasan fiqhiyah dan dua mazhab teologi (Asy’ariyah-Maturidiyah) dalam bahasan akidah.

Sebagai akun “petarung”, tentu fungsinya memang untuk “bertarung”. Perlu tegas mengatakan lawan kecerdasan sebagai kebodohan, lawan halal sebagai haram, lawan kelurusan sebagai kesesatan. Kadang perlu juga memaksa lawan yang berdiri pongah menertawakan kebenaran agar tertunduk malu dan kehilangan keberanian. Begitulah nature dari medan “pertarungan” yang keras.

Para tokoh yang lemah lembut dan penyayang dalam kondisi normal pun berubah beringas dan tegas di medan tempur karena tuntutan situasi. Ulama yang biasanya halus ketika menulis buku biasa akhirnya juga memakai diksi yang “kejam” ketika menulis buku dalam jenis radud (kritik balik). Gimana lagi, namanya juga tidak sedang ngajak tapi sedang maju ke gelanggang adu kritik. Prinsipnya, lo jual gue beli.

Yang tidak cocok tentu bisa memilih akun lain yang lebih sesuai selera. Terus terang saya tidak peduli soal follower atau image. Kesatria takkan memedulikan tangannya kotor atau wajahnya tak lagi mulus, yang penting segala serangan buruk dari lawan yang merongrong, mencela dan meremehkan mayoritas ulama ahlussunnah wal jamaah terpatahkan. Jadi bukannya saya tidak menghargai ketika beberapa kawan dengan berbaik hati telah mengingatkan agar saya menjaga wibawa dan memilih jalur halus dan aman, ternyata nasehat tulusnya tidak saya lakukan.

Wibawa dan simpati pengikut itu urusan nomor sekian puluh, cukup kawan-kawan yang memakai bahasa dakwah yang mendapatkan itu.  Bagaimana pun perlu ada yang “pegang golok” membabat ranting-ranting yang menghalangi jalan para pendakwah yang harus selalu halus dan lemah lembut itu. Saya pemegang golok itu dan sekaligus merangkap jadi produsen golok.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73315/kiai-abdul-wahab-ahmad-bukan-bahasa-dakwah.html