Khutbah Jumat: Bersikap Hemat dalam Islam

KHUTBAH 1

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam serta nikmat sehat. Nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya. Semoga kita selalu berada dalam keadaan Iman dan Islam hingga akhir hayat kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi panutan kita dan tiap sunnahnya selalu kita teladani.

Mengawali khutbah ini khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi, dan kepada para jama’ah shalat Jum’at, marilah kita senantiasa berupaya meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban atas perintah-perintah-Nya dengan segenap keteguhan hati dan kemantapan jiwa, dan menjauhkan diri dari segala apa yang menjadi larangan-larangan-Nya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يُؤْتَى بِمِسْكِينٍ يَأْكُلُ مَعَهُ فَأَدْخَلْتُ رَجُلاً يَأْكُلُ مَعَهُ فَأَكَلَ كَثِيرًا فَقَالَ يَا نَافِعُ لاَ تُدْخِلْ هَذَا عَلَيَّ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ (رواه البخاري ومسلم والترمذي وابن ماجه)

Artinya: Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a. tidak akan makan sehingga didatangkan padanya seorang miskin untuk ikut makan bersamanya. (suatu hari) aku menyuruh seseorang untuk makan bersamanya. Orang itu makannya banyak. Maka Ibnu Umar r.a. berkata, “Wahai Nafi’, kamu jangan menyuruhnya (lagi) masuk ke rumahku, (karena) aku telah mendengar Nabi s.a.w. bersabda, “Seorang mukmin makan dalam satu usus, sedangan seorang kafir makan dalam tujuh usus.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 4974, Muslim: 3839, al-Tirmidzi: 1740, Ibnu Majah: 3248. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)       

1. Kandungan Hadis

Kisah di atas mengajak kita untuk menengok pada perilaku muslim generasi pertama, yaitu para sahabat. Mereka tampak konsisten dengan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.. Tidak hanya dalam ibadah mahdhah saja, dalam bidang sosial pun mereka senantiasa mencontoh perilaku Rasulullah SAW.

Seruan dan anjuran beliau selalu dijadikan pedoman bagi mereka. Sehingga wajar, apabila beliau diposisikan sebagai orang yang paling berpengaruh karena kiprahnya yang luar biasa dalam merubah tatanan peradaban dunia Arab saat itu ke arah yang lebih baik.

Salah seorang dari kalangan sahabat yang konsern untuk meniru perilaku beliau adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-Adwi al-Qurasyi atau lebih dikenal dengan Ibnu Umar r.a. (w. 73 H). Dalam sebuah riwayat, Ibnu Umar r.a. selalu mencontoh tata kehidupan (sunnah) Rasulullah s.a.w., termasuk dalam hal berpakaian, berjalan, makan, dan etika-etika lainnya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Oleh karenanya, dalam sejarah hukum Islam, sahabat dari Madinah ini termasuk ulama ahli hadis yang tekstualis. Keistimewaan inilah yang menjadikan Ibnu Umar r.a. sebagai sosok sahabat yang sangat disegani oleh para sahabat lainnya. Bahkan setelah Rasulullah s.a.w. wafat, jika ada yang ingin mengetahui sunnah Rasulullah, mereka langsung mengarahkannya untuk melihat perilaku Ibnu Umar r.a.

Dalam hadis di atas, Ibnu Umar r.a. mempraktikkan kebiasaan Nabi s.a.w. yang senantiasa mengajak orang miskin untuk ikut makan bersama. Tetapi ketika diketahui bahwa orang yang diajaknya itu adalah seorang yang rakus, ia pun lantas mengusirnya. Ia merujuk pada hadis Nabi s.a.w. “bahwa seorang mukmin makan dengan kapasitas satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan kapasitas tujuh usus”.

Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Barri bi Syarh Shahih al-Bukhari melansir bahwa orang yang diajak makan oleh Ibnu Umar r.a. ketika itu bernama Abu Nuhaik. Menurutnya, dari kasus itu, Ibnu Umar r.a. telah memahami hadis Nabi SAW. secara tekstual. Ia memandang bahwa orang miskin yang ikut makan bersamanya itu memiliki sifat seperti orang kafir, karena makannya sangat rakus. Oleh sebab itu, ia pun menyuruh orang itu agar tidak ikut makan bersamanya lagi.

Pemahaman hadis tersebut, menurut Imam al-Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, tidak harus dipahami secara tekstual. Hadis di atas memiliki latar belakang yang khusus. Ketika itu, ada seorang kafir bernama Tsamamah bin Atsal datang kepada Nabi SAW, Ia melahap tujuh gelas perahan air susu kambing. Keesokan harinya, ia masuk Islam. Ketika disuguhi air minum, ia hanya meminum segelas air saja. Maka Nabi s.a.w. bersabda demikian seperti yang disebutkan dalam hadis di atas.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Ada yang berpendapat bahwa maksud hadis tersebut adalah “seorang mukmin itu selalu ekonomis dalam hal makanan, tidak rakus dan tidak boros”. Pendapat lain mengatakan “bahwa perilaku ekonomis seorang mukmin tersebut tidak lepas dari kebiasaannya mengucapkan basmalah sebelum makan atau minum.

Sebab, ketika itu, setan terbelenggu dan tidak kuasa ikut bergabung makan. Sedangkan kebiasaan orang kafir yang tidak mengucapkan basmalah, tentunya akan disertai setan, karenanya pantas jika ia makannya banyak”. Hal ini dikuatkan dalam riwayat Imam Muslim, bahwa setan akan ikut nimbrung makan kecuali makanan itu dibacakan nama Allah.

Dalam ilmu kedokteran dijelaskan bahwa setiap manusia memiliki tujuh usus. Satu usus untuk tempat makanan, kemudian tiga usus lembut dan tiga usus kasar yang masing-masing bersambung dengan usus yang pertama.

Seorang kafir karena tidak membaca basmalah sebelum makan, ia akan memenuhi usus-ususnya yang tujuh itu. Sedangkan seorang mukmin karena membaca basmalah sebelum makan,  ia akan berpola hemat dan ekonomis dalam menyantap makanannya. Dengan memenuhi salah satu usus-ususnya, seorang mukmin sudah merasa kenyang.

Ada juga yang memahami tujuh usus tersebut dengan tujuh sifat yang buruk; yaitu rakus, boros, panjang angan-angan, mengharap pemberian, jelek tabiat, hasud, dan banyak makan. Dikatakan pula bahwa kata “mukmin” dalam hadis tersebut maksudnya adalah seorang mukmin yang sempurna, yaitu orang yang menjauhi syahwat yang menjerumuskannya pada kelalaian.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Menurut al-Nawawi sendiri, mukmin di atas tidak bersifat umum, melainkan khusus. Hal itu berdasarkan faktor kebiasaan. Biasanya orang kafir makannya banyak dan orang mukmin hemat. Karenanya, tidak bisa dihukumi bahwa setiap orang yang irit itu sebagai seorang mukmin, atau sebaliknya, setiap orang yang banyak makan dihukumi sebagai seorang kafir.

Oleh karena itu, para ulama lebih cenderung memahami hadis di atas dengan makna metaforis, bahwa seorang mukmin adalah orang yang menerapkan pola hemat dan ekonomis dalam masalah duniawi. Ia bersikap zuhud (asketis) dalam mengarungi dunia dengan selalu menerima penuh rasa syukur apapun yang diberikan Allah s.w.t. (qanaah).

Menyedikitkan makan termasuk akhlak yang mulia, kebalikannya adalah memperbanyak makanan termasuk akhlak yang jelek. Adapun Ibnu Umar r.a. yang tidak suka terhadap orang miskin sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas, hal itu dikarenakan orang miskin tersebut perilakunya mirip dengan orang-orang kafir.

Ibnu Umar r.a. sendiri tidak mau bergaul kecuali terpaksa  dengan tipe orang-orang seperti itu. Orang miskin itu telah makan melebihi kadar biasanya. Ia telah melahap seukuran porsi orang banyak.

2. Berlebihan adalah Tercela

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a, Rasulullah s.a.w. bersabda,

كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ (رواه النسائي وابن ماجه وأحمد)

Artinya:“Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah, dengan tidak berlebihan dan tidak angkuh.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa’i: 2512, Ibnu Majah: 3595, dan Ahmad: 6408. teks hadis di atas riwayat al-Nasa’i)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Hadis di atas memiliki nilai normatif yang sangat tinggi. Rasulullah s.a.w. sebagai pemimpin umat manusia telah mencanangkan hidup hemat dan bersahaja. Dalam kesehariannya, beliau tampak sederhana, tidak glamor, tidak boros, dan tidak berlebihan dalam menggunakan fasilitas-fasilitas yang dimilikinya. Bahkan dalam masalah air sekalipun, beliau selalu mengingatkan para sahabatnya untuk menghemat semaksimal mungkin.

Dikisahkan dari Abdullah bin Amr r.a, suatu ketika Rasulullah s.a.w. melewati Sa’d yang sedang berwudhu. Beliau pun menegur Sa’d karena dipandang telah melakukan pemborosan. “Apakah dalam wudhu juga ada larangan boros?” tanya Sa’d. “Ya,” jawab beliau, “(kamu harus menghemat air) meskipun sedang berada di sungai yang mengalir.” (Hadis Shahih, Riwayat Ibnu Majah: 419 dan Ahmad: 6768. teks hadis riwayat Ibnu Majah)                                            

3. Hemat Bukan Berarti Kikir

Hemat adalah sikap hidup yang mampu mengatur harta benda yang dimilikinya agar berguna sesuai kebutuhan. Dikarenakan kebutuhan manusia tidak kenal pangkal ujungnya, maka pola hidup hemat harus mengedepankan skala prioritas sebagai pijakannya agar dapat terarah dan terencana.

Sebagai contoh, seorang yang membeli sendal sebanyak sepuluh pasang untuk dirinya sendiri dianggap telah melakukan pemborosan. Sebab, sepasang sendal saja sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dua kakinya. Begitu pula seorang direktur yang menyediakan mobil dinas untuk setiap pegawainya dianggap sebagai orang yang boros, jika hal itu mengakibatkan perusahaannya goncang disebabkan banyak hutang.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Ada sebagian orang yang memahami hidup hemat dengan kekikiran. Ia merasa berat mengeluarkan hartanya untuk mendukung kegiatan ibadah, membantu fakir miskin, menyantuni yatim piatu, dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Ia berkeyakinan bahwa hartanya akan bertambah banyak jika dikelola dan dikumpulkan, tanpa sepeser pun diberikan kepada orang lain. Ia menganggap hal itu sebagai bentuk penghematan, padahal kenyataannya adalah kekikiran.

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا (٢٩)

Artinya:“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra,17: 29)

Ayat tersebut dengan tegas melarang umat manusia untuk hidup kikir dan boros. Kekikiran dan keborosan pada akhirnya akan mengantarkan mereka ke jurang penyesalan yang sangat memilukan. Manusia yang kikir biasanya akan dijauhi oleh manusia lainnya.

Meskipun hartanya berlimpah, ia susah sekali mendapatkan ketenangan dan keberkahan dalam hidupnya. Allah telah menjauhkan rahmat darinya.  Maka dalam usahanya, ia akan terus merasa kurang, tanpa mengenal cukup dan puas dengan karunia-Nya, sehingga ia diperbudak oleh hawa nafsu dunia dan menjadi antek-antek setan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Adapun manusia yang boros, glamor, dan berlebihan dalam menggunakan fasilitas yang dimilikinya, ia suatu saat akan mendapatkan masa krisis yang berkepanjangan. Setelah semua hartanya habis tanpa tersisa, maka ia pun menyesali semuanya dan hidup merana. Oleh karena itu, konsep Islam jelas yaitu menerapkan pola hidup hemat, sederhana, tidak terlalu kikir, dan tidak terlalu boros.

Dalam Islam, semua harta yang dimiliki manusia adalah titipan (amanah) dari Allah s.w.t. yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Ditunaikan di sini artinya dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat urgen, bernilai manfaat dan kebaikan. Bahkan di antara harta tersebut terdapat hak fakir miskin, anak yatim, dan kerabat-kerabat yang membutuhkan. Hak-hak mereka itu harus diberikan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dengan demikian, hidup sejahtera tidak menjadi monopoli orang-orang kaya, melainkan juga rakyat jelata.

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّه وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا (٢٦)  اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا (٢٧)

Artinya:“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra,17: 26–27)

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

KHUTBAH 2

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

  أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

________________
Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

 

https://www.laduni.id/post/read/517263/khutbah-jumat-bersikap-hemat-dalam-islam.html