Khutbah dan Kisah

Pada suatu masa, Lebaran atau Idulfitri menghasilkan teks-teks khutbah. Para tokoh di mimbar memberikan cerita, nasihat, dan penjelasan. Mereka berpenampilan rapi dan memiliki kekuatan saat berucap. Ratusan atau ribuan orang bakal memberi perhatian bila khutbah itu menggetarkan atau menggerakkan, tak sekadar deretan kata diucapkan di muka mikrofon.

Teks-teks itu kadang terselamatkan saat dimuat di majalah-majalah. Khutbah di masjid atau tanah lapang memang peristiwa mengandung sakral. Peristiwa dalam kebersamaan mempertimbangkan tempat, suasana, suara, pakaian, dan waktu. Pada saat teks-teks khutbah “berpindah” ke halaman-halaman majalah, cara menikmati bahasa dan makna menjadi berbeda.

Di majalah Penjuluh Agama, No 4, Tahun VI, 1958, kita membaca teks khutbah disampaikan Hamka di Masjid Kebayoran Baru. Pada masa 1950-an, Hamka sudah moncer sebagai pengarang dan ulama. Ia mahir berbahasa dan menggarap cerita. Ia memiliki penampilan dan suara sering membuat orang-orang takjub. Peran Hamka sebagai khatib itu kehormatan. Di hadapan jamaah, Hamka menjadi pusat.

Pada saat khotbah, Hamka mengingatkan situasi Indonesia. Khotbah pun mengandung kritik, tak mutlak nasihat. Hamka mengatakan: “Didalam negeri kita sendiri belum djuga tertjapai apa jang ditjita, obat djauh penjakit hampir! Dibeberapa tempat ada orang jang telah mati karena kelaparan, ada orang jang telah sampai hati mendjual anaknja untuk membeli seliter beras! Dan terdjadi huru-hara diantara kita sama kita, tjemburu memenuhi hati, dendam kita mendalam, kusut belum djuga selesai, keruh belum djuga djernih!” Nada kalimat-kalima itu keras mengartikan gugatan atas lakon Indonesia masa 1950-an. Kita pun mengerti kemahiran Hamka dalam olah kata.

Baca juga:  Ulama Banjar (93): KH. Abdul Syukur

Kita terpanggil ingin mengetahui babak-babak Hamka mahir berpidato dan tekun dalam olah bahasa. Di buku berjudul Kenang-Kenangan Hidup (1951), kita mendapat cerita pengembaraan Hamka ke Jawa, 1924. Ia datang ke Jogjakarta. Di sana, Hamka dalam usia remaja (16 tahun) turut dalam kursus-kursus menghadirkan pembicara ampuh: HOS Tjokroaminoto, Ki Bagoes Hadikoesoemo,  Soerjopranoto, Fachroeddin, dan lain-lain. Jogjakarta sedang bergerak dengan Sarekat Islam dan Muhammadiyah. “Jogja dalam tahun 1924 adalah zaman mulai timbulnja  semangat kesadaran Islam,” ingat Hamka.

Pada 1925, Hamka bergerak ke Pekalongan. Ia dapat gemblengan selama 6 bulan oleh St Mansur. Hamka serius dan tekun belajar agama: mendengar segala perkataan dan membaca. Ia lekas terpengaruh. Hamka mengenang diri: “Mulailah timbul dalam djiwa pemuda kita itu suatu pendirian hidup jang akan menentukan arah nasibnja di kemudian hari.” Selama di Jawa, ia mengerti agama dan politik. pengertian-pengertian dibawa pulang ke Padang Panjang.

Hamka berubah menjadi “pemberani”. Di buku, kita membaca babak perubahan besar ketika kembali ke Padang Panjang: “Dia sudah membawa pemandangan baru. Dia sudah pandai berpidato dalam pertemuan-pertemuan ramai dengan tidak merasa gentar. Pidatonja mulai berisi.” Hamka tak cuma pandai berkata di muka umum. Ia malah serius dalam menulis teks-teks pidato. Hamka mengarang teks pidato. Kesanggupan itu dianggap titik mula sebagai pengarang. Hamka mengungkapkan: “Djadi di tahun 1925, dia telah mulai mengarang, dalam usia 17 tahun dengan tidak ada latihan sekolah lebih dahulu.” Pada masa berbeda, ia sering berpidato dalam pelbagai acara saat orang-orang mengenali sebagai pengarang dan ulama. Kita diajak mengenang Hamka sebagai mula-mula teks pidato, bukan cerita pendek, novel, esai, atau puisi.

Baca juga:  Ulama Banjar (190): KH. Ahmad Fahmi Zamzam, MA

Di babak awal, Hamka berani berpidato mendapat sindiran dan kritik. Cemooh dari teman-teman: “Hanja pandai pidato, tetapi tidak alim. Dia tidak pandai nahu saraf.” Bapak pun memberi peringatan: “Perlu apa pandai berpidato sadja kalau pengetahuannja tidak tjukup. Apalah perlunja kalau tjuma pandai menghafal-hafal sjair, bertjerita tentang sedjarah, sebagai burung beo.” Hamka mendengar tapi tak pernah mundur untuk terus berpidato.

Kita berlanjut mengingat Pekalongan, tempat pernah membentuk biografi Hamka. Kita berganti tokoh berbeda. Kita mengenang Pekalongan pada masa 1950-an dan 1960-an, bukan 1920-an. Kenangan bereferensi puisi. Pada 1961, Taufiq Ismail menggubah puisi berjudul “Pekalongan Lima Sore”. Puisi merekam situasi kota: Kleneng bel betja/ Debu aspal panggang/ Sangar djalan pelabuhan/ Terik kota pesisir/ Tik-tik persneling Raleigh/ Bungkus sarung palekat/ Sungai kuning tjoklat/ Njanji rumah jatim/ Pedjadja es lilin/ Riuh Kampung Arab/ Djembatan lodji karatan/ Genteng rumah pegadaian/ Keringat pasar sepi. Pada suatu masa, Taufiq Ismail dan keluarga tinggal di Pekalongan.

Orang-orang di Pekalongan belum terlalu mengenal Taufiq Ismail. Mereka menghormati dan kagum sosok bernama Abdul Gaffar Ismail. Beliau itu bapak. Taufiq Ismail itu anak. Abdul Gaffar Ismail lahir di Bukittinggi, 1911. Pada masa remaja ia menempuhi jalan dakwah, kagum dengan dua sosok pandai berpidato: Mochtar Luthfi dan Soekarno. Ia berdakwah sering berpindah kota dengan mengamati gejolak pemikiran agama dan politik.

Baca juga:  Djamaluddin Malik di Tengah Gejolak Pertentangan Kebudayaan

Pada masa 1960-an, Abdul Gaffar Ismail sudah moncer sebagai sosok mahir berpidato. Ia tinggal di Pekalongan. Ia telah lama bergerak ke pelbagai kota dengan berpidato dan berperan dalam pergerakan politik-agama. Di Pekalongan, ia berdakwah sambil mengikuti perkembangan politik, terutama di Jakarta. Di majalah Gatra, 4 November 1995, kita mendapat keterangan: “Aku mengikuti terus perkembangan situasi di Tanah Air. Lewat puisi-puisi Taufiq Ismail, aku menangkap suasana kacau, penuh ketegangan, keharuan, dan kekaguman atas perlawanan kaum muda melawan komunis.”

Puisi-puisi itu dikirimkan Taufiq Ismail melalui kantor pos. Taufiq Ismail kadang membawa puisi saat pulang ke Pekalongan. Puisi untuk dibaca dan acuan diskusi bapak-anak. Abdul Gaffar Ismail insaf: “Namun, Taufiq tak mewarisi keahlian berpidato dariku karena suaranya tidak lantang.” Konon, Taufiq Ismail memang tak berlanjut menjadi ulama tapi orang-orang kagum saat ia membacakan puisi.

Di majalah Pesat, 12 Juli 1951, kita menemukan dokumentasi teks buatan Abdul Gaffar Ismail. Kalimat-kalimat tenang dan mengajak renungan, berbeda dari teks buatan Hamka. Kita mengutip: “Dizaman baru ini, djarak hati dengan hati bertambah djauh, tjinta-kasih dan persaudaraan bertambah dangkal, tolong-menolong dan bantu-membantu hanja berlaku seada-adanja sadja. Radio, auto, kapal udara dan televisi hanja dapat memperdekat badan orang dengan badan orang, adapun hati dan rasa tjinta sajang tiada dapat rupanja ditjampuri oleh kemadjuan alat-alat tersebut.” Bukti kemahiran berpidato dengan olah bahasa berharap dimengerti dan direnungkan ribuan orang. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/khutbah-dan-kisah-b247630p/