KH Ahmad Yasin Asmuni, Kiai Penggerak Tradisi Literasi Dunia Pesantren

Oleh: Mukani* Saya pertama kali mengenal nama KH. Ahmad Yasin Asmuni sejak pertengahan tahun 1990-an. Tidak secara langsung, namun melalui k…

Oleh:

Mukani*

Saya pertama kali mengenal nama KH. Ahmad Yasin Asmuni sejak
pertengahan tahun 1990-an. Tidak secara langsung, namun melalui karya-karya
beliau. Ya, melalui kitab dan risalah yang membahas berbagai seluk beluk ajaran
Islam. Mulai akidah, fikih, tafsir, tasawuf dan lain sebagainya. Setiap
bulan Ramadhan, saya mengikuti pengajian kilatan di Pesantren Tebuireng. Meski
secara “struktural” saya santri Pondok Seblak. Namun lokasi yang hanya berjarak
200 meter dari Tebuireng, dengan mudah saya mengikuti pengajian kilatan di
Pesantren Tebuireng. Toh di zaman itu pengajian kilatan bulan
Ramadhan bisa diikuti oleh masyarakat umum. 

Di masa-masa itu, nama KH. M.
Ishaq Lathif dan KH. Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom) sangat populer. Ini karena
santri dan masyarakat umum yang mengikuti pengajian beliau berdua membeludak.
Bahkan ustadz-ustadz yang lain tidak akan mungkin “berani” membuka pengajian
yang waktunya bersamaan dengan kedua kiai tersebut. Ini karena dipastikan tidak
akan ada santri yang mengikuti.

Almarhum Kiai Ishaq biasanya
jadwal pengajiannya setelah shalat Tarawih. Letaknya di gedung paling depan.
Posisinya di selatan gerbang masuk area Pesantren Tebuireng. Sedangkan almarhum
Gus Ishom jadwal pengajiannya setelah shalat Dzuhur di serambi masjid Pesantren
Tebuireng.

Nah, kedua kiai ini sering
menggunakan kitab produksi Pondok Pethuk Semen Kediri dalam pengajiannya.
Terutama almarhum Kiai Ishaq. Sebagai santri baru, tentu saya penasaran dengan
pengarang kitab. Ini karena pembahasan kitabnya yang ringkas dengan bahasa
sederhana. Dari situlah saya mengenal nama KH. A. Yasin Asmuni.

Literasi Pesantren 

Tradisi literasi di dunia
pesantren memang masih perlu terus ditingkatkan lagi. Sebagai institusi
pendidikan tertua di Nusantara, pesantren masih belum banyak dalam menghasilkan
produk berupa publikasi ilmiah. Terutama dalam bentuk kitab kuning.

Ini bertolak belakang dengan
jumlah kitab kuning yang diajarkan di pesantren. Dapat dipastikan bahwa setiap
pesantren akan mengajarkan Islam dengan referensi dari kitab kuning. Bahkan
Zamakhsyari Dhofier (1979) menegaskan bahwa pembelajaran kitab kuning sebagai
salah satu unsur sebuah pesantren.

Nama Kiai Yasin, panggilan
akrab pengasuh Pesantren Hidayatut Thulab Petuk Kediri ini, ternyata berhasil
menyeimbangkan kedua gerakan tradisi literasi. Tidak hanya kuat dalam pembacaan
naskah-naskah kuno berupa kitab kuning. Namun juga menyusunnya kembali sesuai
bidang keilmuan yang dimiliki.

Kiai kelahiran 6 Agustus 1963
ini adalah putra pasangan Kiai Asmuni dengan Nyai Mutmainah. Sejak kecil,
kelebihan sebagai calon orang ‘alim sudah nampak. Pada usia 12
tahun
 mulai terlihat
kecerdasan dan kedewasaan jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya.
Bahkan selalu dijadikan pemimpin dan mampu mendamaikan teman-temannya jika
bertengkar. Kiai Yasin muda menimba ilmu di dua lembaga sekaligus pada
jenjang dasar. Pagi di SDN dan sore di MIN. Malamnya belajar langsung kepada
ayahnya sendiri. Ini berlaku hingga tahun 1975 saat melanjutkan jenjang MTs ke
Pondok Lirboyo. Saat itu, dia harus naik sepeda onthel sejauh 7 kilometer
setiap hari dari Petuk ke Lirboyo. Baru saat jenjang MA, dirinya bermukim di
Pondok Lirboyo hingga tamat tahun 1982.

Setamat MA, Kiai Yasin
diangkat menjadi guru bantu (munawwib) di jenjang ibtidaiyah. Baru pada
tahun 1984 diangkat menjadi guru tetap (mustahiq) kelas 4 ibtidaiyah.
Pada tahun 1989-1993, Kiai Yasin bahkan diangkat menjadi kepala madrasah (mudir).

Selain di Lirboyo, Kiai Yasin
muda juga rajin menimba ilmu ke beberapa pesantren. Terutama saat liburan bulan
Ramadhan dengan mengikuti pengajian kilatan. Di antaranya adalah Pondok Batokan
Kediri, Pondok Sumberkepoh Nganjuk, Pondok Suruh Nganjuk, Pondok Paculgowang
Jombang dan Pondok Ngunut Tulungagung. Setelah itu pada tahun 1993, Kiai Yasin
pulang kampung ke Petuk Kediri dengan mendirikan Pondok Pesantren Hidayatut
Thullab.

Penguasaan yang mendalam
terhadap kitab kuning menjadikan Kiai Yasin sekitar tahun 1984 ditunjuk menjadi
Pengurus Bahtsul Masail di Pesantren Lirboyo. Di Lembaga Bahtsul Masail PWNU
Jawa Timur, nama Kiai Yasin tercatat pernah menjadi ketua selama dua periode.
Bahkan di Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Kiai Yasin pernah menjadi wakil ketua.
Hingga wafat pada Senin (11/1), nama Kiai Yasin tercatat menjadi wakil rais
syuriah PWNU Jawa Timur.

Kiprah Kiai Yasin di dunia
literasi pesantren dimulai dari komitmennya dalam berdakwah melalui ilmu kepada
masyarakat. Dakwah, menurutnya, bisa melalui tiga hal. Memberikan contoh
perilaku yang baik (bil hal) kepada masyarakat. Melalui lisan dengan
mengajar, membaca kitab, ceramah, dialog dan seminar. Terakhir adalah melalui
karya tulis.

Pada tahun 1989 Kiai Yasin
mulai berpikir untuk mewujudkan dakwah melalui karya tulis. Karya perdananya
ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa. Isinya tanya jawab masalah agama yang
berisi 300 pertanyaan. Setahun kemudian menulis kitab dengan bahasa Arab.

Hingga wafat, tidak kurang
dari 200 judul karya ditulis Kiai Yasin. Mayoritas berbahasa Arab. Di antaranya
adalah 
Tafsir BismillahirrahmanirrahimTafsir Muawwidzatain, Tafsir
Al-Ikhlas
Tafsir Ayat KursiUdhiyyah Ahkamuha wa
Fadlailuha
 dan lain sebagainya. 
Berbagai karya ini tidak hanya dipelajari di Nusantara,
namun juga di Malaysia dan Timur Tengah, bahkan di Inggris. Tidak heran jika
tabloid Media Ummat menjuluki Kiai Yasin sebagai Sang Imam
Suyuthi dari Kediri.

Satu hal yang menjadi ciri
khas dari karya Kiai Yasin adalah istilah kitab makno Petuk.
Menurut Rijal Mumaziq, ini adalah keunikan yang tidak dimiliki para penyusun
kitab kuning lainnya. Bentuknya 
tebal maupun tipis, klasik maupun kontemporer,
yang sudah diberi makna gandul, sudah ada sah-sahan, penuh
terjemahan antar baris atau interlinear translation. Harga jualnya
lebih tinggi dibandingkan dengan kitab kosongan. Dan, sampai saat ini, di
beberapa koperasi pondok pesantren, biasanya juga menyediakan kitab
makno Petuk
 ini.

Warga NU,
khususnya dunia pesantren, tentu sangat kehilangan atas wafatnya Kiai Yasin.
Namun Allah Swt berkehendak lain untuk memanggil kekasih-Nya. Selamat jalan
Kiai Yasin. Semoga ke depan akan lahir kiai-kiai produktif seperti Panjenengan.
Aamin.

*Alumni Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Seblak, anggota Divisi Riset & Data LTN PWNU Jawa Timur, menulis
buku Inspirasi Penggerak Literasi (2020), dosen STAI Darussalam Krempyang
Nganjuk dan pegiat literasi di Griya Pustaka Kayangan (GPK) Jombang.

Enable GingerCannot connect to Ginger Check your internet connection
or reload the browser
Disable in this text fieldEditEdit in GingerEdit in Ginger×

https://www.halaqoh.net/2021/01/kh-ahmad-yasin-asmuni-kiai-penggerak.html