Keistimewaan Bulan Rajab

Oleh Syahirul Alim, Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

DALAM 12 bulan, tentu saja terdapat beberapa bulan yang dihormati dan diistimewakan. Hal ini terkait dengan berbagai adat dan tradisi masyarakat yang berbeda-beda, soal bulan mana saja yang dianggap memiliki keutamaan. Dalam tradisi bangsa Arab, terdapat beberapa bulan yang diistimewakan dan dihormati, sehingga di dalamnya terdapat berbagai hal yang dilarang dan sekaligus terdapat hal-hal yang menjadi kebiasaan yang disukai dalam tradisi mereka saat itu. Dalam Al-Quran, disebut empat bulan yang dihormati (asyhurul hurum), di antaranya adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Pada bulan-bulan ini dilakukan penghormatan sekaligus larangan untuk melakukan hal-hal buruk yang merugikan masing-masing pihak. Dalam tradisi jahiliyyah, bulan-bulan yang disebutkan ini “dihormati”, karena sepanjang bulan itu mereka berkumpul, mengorbankan hewan ternak mereka untuk dibagikan dan dimakan bersama, sekaligus larangan untuk berperang dan menyakiti pihak lainnya.

Al-Quran merekam secara jelas, apa yang dilakukan bangsa Arab ketika masuk bulan-bulan “haram”, bulan yang ditetapkan sejak Allah menciptakan langit dan bumi.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS At-Taubah: 36)

Dalam beberapa bulan yang sangat dihormati tersebut, tentu saja ada kalimat yang perlu digarisbawahi, yaitu “fa laa tadzlimuu fiihinna anfusakum” (janganlah kalian menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu). Menurut Ibnu Katsir, ayat itu mengandung pengertian agar pada setiap bulan haram, dilarang untuk bermaksiat kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah—termasuk berperang—dan dapat menahan diri terhadap segala urusan yang sekiranya akan dibenci dan mendatangkan siksaan. Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat di atas memaknainya sebagai bulan-bulan yang dikhususkan dan diagungkan, sehingga melakukan dosa kecil menjadi berakibat besar di bulan-bulan itu dan melakukan amal kebajikan akan diganjar dengan pahala yang lebih besar dibanding bulan-bulan yang lainnya.

Para ahli tafsir al-Quran, sepakat bahwa yang dimaksud dengan empat bulan yang dihormati itu adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Hal ini didasarkan atas sebuah riwayat yang berasal dari Shidqah bin Yasar dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ketika melaksanakan Haji Wada di Mina, pada pertengahan hari Tasyriq menyatakan:

يا أيها الناس, إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السماوات والأرض, وإن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرًا, منها أربعة حرم, أوّلهن رجبُ مُضَر بين جمادى وشعبان، وذو القعدة، وذو الحجة، والمحرم

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya zaman itu terus berputar sebagaimana ketetapan hari-hari sejak diciptakannya langit dan bumi oleh Allah. Dan di antara hitungan bulan-bulan menurut Allah, itu ada 12 bulan, di antaranya ada empat bulan yang dihormati dan diagungkan, yaitu Rajab—yang menjadi kebiasaan kabilah Mudhar, kabilah sebelum Quraisy—yang berada di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban, lalu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram”

Lalu, ketika bulan-bulan yang dihormati ini jelas berimplikasi pada setiap amal kebajikan yang dilipatgandakan pahalanya, maka kemudian melakukan puasa di bulan tersebut, juga sama merupakan bagian dari penghormatan kepadanya. Lalu, kenapa ada pengkhususan di bulan Rajab? Bahwa berpuasa di awal bulan ini, seakan-akan menjadi “kewajiban” yang terus menerus diviralkan dalam media sosial, padahal bulan-bulan haram tentu saja tidak hanya Rajab. Hal ini tentu saja menjadi wilayah perbedaan pendapat (ikhtilaf) para ulama antara mereka yang beranggapan, bahwa puasa di bulan Rajab memiliki keutamaan dan ada juga yang menganggapnya tidak.

Para ulama yang berpendapat bahwa puasa Rajab ini disunnahkan, tentu saja berpijak pada pendapat di mana perlu berpuasa dalam satu tahun di bulan-bulan tertentu—di luar puasa wajib bulan Ramadhan—yang didukung oleh banyak sekali dalil yang bersumber dari banyak hadis soal berpuasa ini. Secara umum, para ulama sepakat disunnahkan berpuasa pada bulan-bulan yang dihormati tersebut, dan secara khusus ada di antara mereka yang mengistimewakan bulan Rajab sebagai bulan yang disunnahkan berpuasa bagi umat muslim. Hal ini didasarkan atas sebuah riwayat Ahmad dan Abu Daud yang berasal dari Abi Mujibah Al-Bahili, dimana Rasulullah menyatakan:

صم من الحُـرُم واترك

“Berpuasalah pada bulan-bulan haram atau tinggalkan” (hadis ini diulang ucapannya oleh Rasulullah sebagaimana dalam redaksi Abu Daud)

Ada pula hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah hampir tak pernah terlihat berpuasa di bulan-bulan tertentu, kecuali hanya di bulan Sya’ban. Sebagaimana terekam dalam sebuah riwayat yang berasal dari Usamah bin Zaid, ketika dirinya penasaran lalu menanyakan kepada Rasulullah, “Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa di bulan-bulan tertentu, kecuali di bulan Sya’ban?” Lalu Rasulullah menjawab, “itulah bulan (Sya’ban) di mana seringkali melupakan manusia karena berada di antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan itulah disetorkan seluruh amal setiap orang ke hadapan Allah, dan saya sangat senang, di saat amalku dibawa kehadapan-Nya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa” (HR An-Nasa’i dan Ahmad)

Imam Asy-Syaukani dalam karyanya “Nailul Authar” menjelaskan secara detail hadis yang dimaksud di atas. Menurutnya, makna “dzahir” (tekstual) dari hadis yang berasal dari Usamah adalah yang dimaksud oleh kalimat, “sesungguhnya bulan Sya’ban merupakan bulan yang seringkali dilupakan orang di antara Rajab dan Ramadhan” merupakan makna atas disunnahkannya puasa di bulan Rajab. Keagungan bulan Sya’ban adalah karena Rasulullah melakukan puasa di dalamnya dan keagungan bulan Rajab adalah ketika orang-orang Arab mentradisikan penyembelihan di dalamnya, sehingga keduanya memiliki keagungan dan keistimewaan yang sama yang seringkali dilupakan manusia. Kalimat “an-Naas” yang dimaksud dalam hadis di atas adalah “para sahabat”, sehingga Allah bermaksud menghapus syariat/kebiasaan jahiliyyah masa lalu, digantikannya dengan kebiasaan berpuasa yang kemudian juga dijalankan para sahabat Nabi, sehingga sifatnya hanya “mubah” atau kebolehan berpuasa baik di bulan-bukan haram secara umum, atau Rajab secara khusus.

Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa secara umum, beberapa hadis yang menyebutkan soal keistimewaan berpuasa di bulan Rajab tidaklah dipandang sebagai ibadah khusus yang mengandung ketetapan sunnah Nabi secara mutlak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah pendapat yang berasal dari Ibnu as-Subki dari Muhammad bin Manshur as-Sam’ani soal hadis-hadis kekhususan puasa Rajab yang berasal dari riwayat Thabrani, Baihaqi, Abu Na’im, dan Ibnu ‘Asakir, dimana dirinya menyebutkan bahwa umumnya hadis-hadis tersebut membicarakan tentang keutamaan bulan Rajab versi kaum jahiliyyah, sehingga tak ada maksud bahwa berpuasa pada bulan itu disunnahkan, karena para ulama sama sekali tidak serius membahasnya.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat hadis yang berasal dari Zaid bin Aslam ketika dirinya menanyakan kepada Nabi soal keutamaan puasa di bulan Rajab. Nabi hanya menjawab, “Di mana kamu di saat bulan Sya’ban?” Hadis ini menurut Ibnu Umar adalah merujuk pada soal makruhnya berpuasa di bulan Rajab, walaupun jika kita mengkhususkan berpuasa pada bulan-bulan haram—tidak dikhususkan untuk Rajab saja—adalah hal yang dibolehkan dan tidak dilarang. Memang, ada hadis riwayat Ibnu Majah yang menyebutkan, bahwa Nabi melarang berpuasa pada bulan Rajab, namun hadis itu statusnya dhaif, karena ada perawi bernama Zaid bin Abdul Hamid dan Daud bin Atha’ yang dipandang tidak tsiqat (kurang dipercaya).

Al-‘Iz bin Abdussalam mengutip dari Ibnu Hajar al-Haytami dalam kitabnya “Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra”, bahwa di antara mazhab yang melarang berpuasa di bulan Rajab adalah Mazhab Hanbali. Hal ini selaras dengan pendapat Ibnu Qudamah dalam kitabnya “Al-Mughni” yang menyebut makruh berpuasa di bulan Rajab jika dikhususkan (puasa ifrad). Beberapa ulama lain juga sama memakruhkannya, seperti Al-Mawardi dalam kitabnya, “Al-Inshaf” dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahkan berpendapat “haram” mengkhususkan Rajab untuk berpuasa dalam dua hal, karena hadis yang berasal dari riwayat Ahman bin Hanbal atas kemakruhannya dan pemahaman pendapat para ulama yang tidak memakruhkan berpuasa di luar bulan Rajab. Namun demikian, beragam perbedaan pendapat ini tentu saja bukan menjadi hal yang harus dipertentangkan atau diperselisihkan, atau bahkan mencela satu pendapat dengan pendapat lainnya.

Dengan demikian, hampir mayoritas ulama mazhab tak ada pendapat yang mengkhususkan Rajab sebagai bulan disunnahkannya berpuasa, walaupun hal ini pula tak ada larangan secara tegas atas keharamannya. Dengan demikian, saya kira, boleh saja berpuasa dalam bulan Rajab, asal bukan bermaksud mengkhususkan bulan itu, tetapi melihat pada keistimewaan bulan-bulan haram sebagaimana yang ditetapkan Allah. Yang tidak diperbolehkan tentu saja melakukan shalat khusus pada bulan Rajab, karena ini jelas megada-ada dalam hal agama. Wallahu a’lam bisshawab.