Interaksi Nalar Balaghah dengan Ayat-ayat Hukum

Oleh Dr. KH. Afifudin Dimyathi, Pengasuh Ponpes Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, Katib Syuriyah PBNU

Nalar Balaghah adalah aktivitas berpikir yang berangkat dari pemahaman dan pertimbangan aspek balaghah dalam menangkap pesan, kesan, keindahan dan rahasia kata, kalimat dan teks kebahasaan yang bernilai sastra.

Obyek kajian nalar balaghah dalam berinteraksi dengan teks Al-Qur’an adalah diksi kata, pilihan frasa dan kalimat, susunan persandingan kata, taqdim wa ta’khir (tata urut peletakan kata) dan keserasian fashilah (kalimat penutup), dll.

Dan dalam kaitannya dengan ayat-ayat hukum, nalar balaghah turut berperan dalam menyimpulkan beberapa hukum syar’i dari rahasia-rahasia ungkapan Al Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh pendekatan balaghah dalam menggali hukum dalam Al Qur’an berdasarkan beberapa fann balaghah.

1- Al Muhtamil ad Dhiddain (mengandung dua makna yang berlawanan)

Contoh: QS. Al Baqoroh 228

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.”

Kata “qur’u” dalam ilmu balaghah bisa dimasukkan katagori “al muhtamil ad dhiddain” karena menunjuk pada dua makna yang berlawanan artinya, yaitu:
Makna pertama: haid, ini adalah makna yang dipilih oleh Imam Abu hanifah, sehingga mereka berpendapat bahwa iddah wanita yang diceraikan adalah tiga kali haid.

Makna kedua: suci, dan ini adalah makna yang dipilih oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i, sehingga mereka berpendapat bahwa Iddah wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci.

Perbedaan penafsiran kata ini menghiasi berbagai kitab tafsir khususnya tafsir ayat ahkam.

2- At Tankit (mengandung faidah atau rahasia ungkapan)

Contoh: QS Al Baqoroh: 229

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”

Penyebutan kata “marratani” mengandung sebuah faidah yang dalam ilmu balaghah bisa dimasukkan katagori “at tankiit”, faidah itu adalah tholaq yang dikeluarkan ini harus terjadi dalam waktu yang berbeda dan tidak boleh sekaligus, setidaknya inilah yang dipahami oleh fuqoha’ madhab Hanafi ketika memahami ayat ini, dan ini bisa dilihat dalam Ahkamul Qur’an karya Imam al Jassas.

3- Majaz Aqli

Contoh: QS Al A’raf: 27

كَمَآ أَخۡرَجَ أَبَوَيۡكُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ

“sebagaimana ia (setan) telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga.”

Pada hakikatnya yang mengeluarkan nabi Adam dan Ibu Hawa dari surga adalah Allah, penisbatan kata kerja “akhraja” (mengeluarkan) kepada setan merupakan sebuah majaz aqli karena setan menjadi sebab dikeluarkannya mereka dari surga. Imam al Jasshas penganut madhab Hanafi berhujjah dengan ayat ini bahwa barang siapa yang bersumpah untuk tidak menjahit bajunya atau bersumpah untuk tidak memukul budaknya, lalu ia menyuruh orang lain memukulnya maka ia dianggap melanggar sumpah, begitu juga seumpama ia bersumpah tidak membangun rumahnya lalu ia menyuruh orang lain membangunnya, maka ia dianggap melanggar sumpahnya. Dalam hal ini ia berdalil dengan majaz aqly dalam ayat di atas.

4- Taqdim wa Ta’khir

Contoh: al Hajj: 27

وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta yang kurus…”

Tata urut penyebutan pejalan kaki sebelum penunggang hewan menegaskan bahwa pahala haji pejalan kaki lebih besar dibanding naik kendaraan karena tingkat kesulitan yang lebih berat, hal ini ditegaskan oleh Imam Ibnu al Arabi dalam Ahkamul Qur’an, lalu beliau menambahkan: “Hanya saja nabi Muhammad haji dengan menunggang unta bukan dengan berjalan, karena beliau (adalah panutan) jika ditiru oleh pengikutnya, maka mereka tidak akan mampu, dan jika mereka tidak mampu maka mereka merasa sedih dan merugi, sedangkan beliau sangat berbelas kasihan kepada kaum beriman”.

5- Iijaz bilhadzf (meringkas ungkapan dengan pola elipsis)

Contoh: Al Baqoroh: 184

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan …, maka … sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain.”

Dalam ungkapan singkat di atas telah terjadi proses elipsis dengan menghapus kalimat “lalu ia berbuka” dan kalimat “maka wajib baginya berpuasa”, Imam Baidhowi dalam tafsirnya mengatakan penghapusan beberapa kalimat ini karena itu maknanya sudah diketahui. Dan jika dibaca فَعِدَّةً (dengan fathah) maka yang dihapus adalah kalimat “maka hendaklah ia berpuasa” – sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain.

6- Penggunaan Isim Nakirah

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Alkiya Al Harasi juga menangkap isyarat hukum dalam penggunaan isim nakirah pada kata أَيَّامٍ, Beliau mengatakan penggunaan isim nakirah menunjukkan bahwa mengqadha puasa bisa dikerjakan secara runtut atau secara terpisah.

Demikianlah beberapa contoh hasil interaksi nalar balaghah dengan ayat-ayat Al Qur’an dalam pengambilan kesimpulan hukum.

Jombang, 30 September 2021