Institusi Pendidikan di Tengah Pandemi

Oleh: Ahmad Miftahul Haq., M.Pd. Gambar di atas merupakan ilustrasi yang menunjukkan pola interaksi yang mewakili sebuah konteks ru…

Ahmad Miftahul Haq., M.Pd.
Gambar di atas merupakan ilustrasi yang menunjukkan pola interaksi yang mewakili sebuah konteks ruang kelas, bahwa efektifitas proses pembelajaran dari sebuah institusi Pendidikan dimaknai sebagai “kemampuan institusi mengontrol, meminimalisir yang tidak relevan dan menguatkan yang relevan, pengaruh dari seluruh pihak yang terkait, yang tergambarkan dalam pola di atas, dalam upayanya mencapai visi-misi institusi”
Ketidakmampuan mengontrol pengaruh interaksi semakna dengan kegagalan institusi Pendidikan dalam pencapaian tujuan. 
Dan efektifitas Pendidikan sebuah institusi benar-benar teruji di tengah pandemi ini, karena setiap pola interaksi di atas berpotensi menjadi cluster tersendiri, dan setiap potensi cluster tersebut berinteraksi langsung dengan institusi Pendidikan. 
New Normal Pendidikan
Dari apa yang kita tahu sekarang, atau lebih tepatnya dari dawuh WHO, Covid-19 menyebar melalui kontak dengan dengan percikan dahak/droplet orang yang terinfeksi ketika batuk atau bersin. Dan virus ini dapat bertahan di benda kering selama 2-8 jam, dan 3-4 hari di permukaan basah. 
Dua hal ini: interaksi fisik dengan manusia dan benda, merupakan sesuatu yang setiap manusia hidup akan melakukannya, hal ini berlaku pula pada konteks Pendidikan. Dalam proses pembelajaran, interaksi fisik peserta didik dengan pendidik, penjaga kantin, dan benda-benda yang ada dalam lingkup sekolah adalah keniscayaan. Bagi peserta didik menengah pertama dan atas, masih sangat mungkin untuk meminimalisir interaksi fisik antara pendidik dan peserta didik. Bagi peserta didik di kelas kecil Pendidikan dasar? Taman kanak-kanak atau PAUD? Hampir-hampir mustahil.
Jika sebelum pandemi, pembeda signifikan antara institusi kesehatan dan Pendidikan adalah bahwa out put dan out come Pendidikan lebih bersifat long term, sedangkan kesehatan lebih bersifat short term, kalau tidak sembuh ya meninggal. Maka ketika di tengah pandemi ini, institusi Pendidikan harus memastikan bukan hanya pencapaian long term, semisal munculnya penerus bangsa yang cerdas akal dan mulia hati, namun juga pencapaian short term, yakni terjaganya institusi Pendidikan dari menjadi cluster penyebaran Covid-19. Pada titik awal inilah institusi Pendidikan menjalani new normalnya.
Pola Kerja New Normal
Kita sudah memahami bahwa kerja institusi Pendidikan tidak lagi hanya berfokus pada pencapaian tujuan yang lebih bersifat long term, tapi juga kemampuan meningkatkan akurasi prediksi keselamatan institusi dari menjadi sebuah cluster penyebaran baru. Ada fungsi penjagaan kesehatan disana, yang diwakili oleh protokol kesehatan dari pemerintah, yang jauh berbeda dengan sebelum pandemi. 
Pelaksanaan protokol kesehatan semisal selalu mencuci tangan dengan sabun, physical distancing yang langsung diterjemahkan dalam sarana-prasarana, cara berinteraksi antar individu menjadi sesuatu yang harus dilakukan di lingkungan institusi Pendidikan. Namun lebih dari itu, protokol kesehatan itu juga harus menjadi pengetahuan organisasi, menjadi sebuah cara hidup yang telah membudaya yang dilaksanakan oleh setiap manusia dalam institusi tanpa proses berpikir Panjang. 
Namun patut disadari bahwa dalam keadaan normal, sebagian besar institusi Pendidikan belum mampu menumbuhkan nilai-nilai yang termaktub dalam anggaran dasar institusi menjadi pengetahuan organisasi, menjadi sesuatu yang dipaham dan dilaksanakan oleh semua orang dalam institusi. 
Sebagian pendidik bahkan susah payah membakukan pola interaksi setiap kali masuk kelas. Setiap kali pendidik memasuki kelas dia harus mengingatkan kembali sistem nilai yang harus berlaku di kelasnya, dan ini selalu berulang. Beda pendidik, beda sistem nilai. Semakin banyak pendidik semakin banyak sistem nilai, yang berujung pada kebingungan peserta didik untuk menentukan sistem nilai yang harus ia pegang dan ikuti.
Sebagian besar ini dikarenakan standard nilai yang membudaya dalam institusi Pendidikan hanya mewujud di atas kertas, belum menjadi pengetahuan organisasi. Inilah pembeda paling jelas antara institusi Pendidikan yang bagus dan tidak.
Mengkomunikasikan sistem nilai organisasi hingga menjadi pengetahuan organisasi yang membudaya dalam internal institusi Pendidikan masih menjadi masalah yang tak terpecahkan, apalagi sampai pada eksternal institusi yang terwakili dalam pola interaksi gambar di atas. Dan sekarang ditambah lagi mengkomunikasikan kesadaran akan protokol kesehatan hingga menjadi pengetahuan organisasi. Namun karena pengaplikasian new normal institusi Pendidikan bermakna melakukan sesuatu yang sebelum pandemi dianggap abnormal, ya apapun itu meski berat dan berkesan mustahil tetap harus dieksekusi dan diwujudkan.
Pengaplikasian New Normal 
Dari perspektif di atas dapat dipahami bahwa ranah kerja institusi Pendidikan telah berubah dari sebelum pandemi. Hal pertama yang harus dilakukan oleh institusi Pendidikan sebelum berbicara tentang pencapaian visi-misi institusi adalah memastikan institusinya tidak menjadi cluster penyebaran baru. Institusi Pendidikan harus mampu mengukur potensi penyebaran dari setiap manusia yang berada pada pola interaksi dalam gambar di atas dan meminimalisirnya dengan cara apapun. 
Beberapa cara yang mengemuka yang sudah diuji-terapkan dalam penerimaan santri baru di beberapa pesantren adalah penetapan status Covid-19 dari setiap santri yang akan memasuki pesantren. Penetapan status Covid-19, tentunya dengan metode swab karena rapid test belum menunjukkan kepastian apapun, ini menjadi langkah awal yang memastikan pelaksanaan langkah selanjutnya. Tanpa kepastian status ini maka langkah selanjutnya akan menjadi lebih tak terbaca lagi. 
Rapid test bahkan swab mandiri memang mahal, tapi ada beberapa perusahaan yang memberikan CSRnya untuk pesantren dan dinas kesehatan yang membuka diri untuk melakukan test tersebut secara gratis. Tinggal bagaimana mengkomunikasikan serta kesiapan institusi Pendidikan menerima bantuan tersebut dan melakukan langkah-langkah selanjutnya dalam protokol kesehatan.
Pemahaman akan protokol kesehatan ini, sekali lagi, tidak hanya menjadi domain institusi Pendidikan namun juga semua elemen masyarakat yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran. Berpijak pada alur ini, maka keputusan untuk membuka atau tidak sebuah institusi Pendidikan bergantung pada pilihan peran yang diputuskan untuk dipilih; apakah akan berperan aktif, atau pasif. 
Ketika institusi Pendidikan memilih untuk berperan aktif, dalam artian mengambil langkah awal dalam proses edukasi pemahaman protokol kesehatan, maka institusi Pendidikan harus meminimalisir, dengan akurasi setinggi mungkin, setiap variable yang direpresentasikan dalam gambar di atas dalam bagiannya sebagai penyebar Covid-19. Apakah institusi tersebut memilih untuk mengedukasi orang tua peserta didik agar mereka memiliki kesadaran untuk meminimalisir interaksi setiap bagian dari keluarga mereka dengan dunia luar, atau malah mengisolir peserta didik dari dunia luar, bahkan dari orang tua.
Pilihan pertama sangatlah berat, bahkan mungkin mustahil. Sedang pilihan kedua dapat dilakukan oleh institusi Pendidikan semisal pesantren, atau institusi Pendidikan lainnya yang  menerapkan sistem boarding karena pembacaan pola interaksi dan kemungkinan penyebaran dari setiap variable yang direpresentasikan oleh gambar diatas hanya dilakukan sekali, ketika santri/peserta didik pertama kali masuk ke institusi Pendidikan. Selanjutnya, dengan rentang waktu minimal 14 hari, pola interaksi di dalam institusi Pendidikan tersebut bisa berjalan seperti biasa, dengan asumsi interaksi dengan dunia luar benar-benar dibatasi dan setiap yang masuk bisa diperkirakan, dengan akurasi yang tinggi, bebas Covid-19 .
Bagi institusi Pendidikan yang lebih memilih pasif, maka meratanya kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan akan menjadi prioritas institusi Pendidikan dalam memutuskan untuk membuka atau terus menutupnya. Hal ini berlaku utamanya bagi sekolah dan pesantren yang santrinya sekolah di luar pesantren. Ketika daerah tersebut kenaikan jumlah penderita Covid-19 masih tinggi, yang merepresentasikan rendahnya kesadaran akan protokol kesehatan, maka institusi Pendidikan tidak akan dibuka, begitu sebaliknya.
Apapun yang dipilih oleh institusi Pendidikan, tidak akan lagi ada langkah kembali. Selama anti-virus ini belum ditemukan maka kehidupan akan berjalan seperti saat ini. Tidak usah bermimpi bahwa hidup akan sama seperti sebelum pandemi, tidak. Ia akan berjalan terus maju dan merubah setiap tatanan dan, bahkan, setiap nilai yang kita pegang. Karena itu pendidik, dalam proses pembelajarannya, harus benar-benar meng-up grade dengan sangat cepat skill mengajarnya. Para pendidik ini harus benar-benar tahu betul bagaimana memaksimalkan media sosial, aplikasi webinar, dan penunjang proses pembelajaran yang mendukung pola physical distancing lainnya. Sedang para orang tua harus mampu menjadi teman belajar yang baik, jujur dan kompeten dalam proses pembelajaran mereka. Tanpa upgrading skill pendidik dan kerjasama yang baik dengan orang tua niscaya tidak akan ada proses pembelajaran yang efektif di era pandemi ini.
Tulisan ini merupakan sebuah usaha penulis untuk meletakkan keputusan membuka atau tetap menutup sebuah institusi Pendidikan pada pertimbangan yang semestinya dan berlepas diri dari stigmatisasi. Tulisan ini memang tidak memasukkan pertimbangan psikologis orang tua, peserta didik, bahkan para pendidik akan status Covid-19 yang nantinya akan disematkan pada mereka karena banyaknya kemungkinan variable pemicunya. Namun pertanyaan mendasar semisal ‘apakah harus membuka institusi Pendidikan atau tidak?’ dan ‘kita ini sebenarnya bebas Covid-19 atau tidak’ menjadi terjawab.
*Alumni Al-Falah Ploso Mojo Kediri, Koord. Kajian Komunitas Baca Rakyat (KOBAR) Surabaya, Koord. Dept. Literasi dan Kepustakaan PW LTNNU Jawa Timur, dan Konsultan Manajemen SD Bisma 2 Surabaya.

https://www.halaqoh.net/2020/06/institusi-pendidikan-di-tengah-pandemi.html