Al-Qur’an merupakan asas asal-muasal segala ilmu pengetahuan (An-Nahl: /89). Mukjizat agama Islam yang keasriannya dijamin oleh Allah dari tangan-tangan tak betanggung jawab (Al-Hijr: /09). Rujukan utama umat Islam dan paling kompleks dalam segala hal.
Al-Qur’an bersifat komprehensif dan multi dimensi penafsiran. Oleh karenanya, hanya orang-orang istimewa dan tertentu saja yang dapat memahami isi kandungan Al-Quran. Tidak semuanya dapat ditelan mentah-mentah dengan hanya berdasar teks yang tertera. Dibutuhkan pemahaman dan kajian mendalam terhadapnya sebelum tandang untuk menuliskan dengan tinta atau mengucapkan dengan kata dalam menafsirinya.
Sahabat Nabi yang notabene bertemu dan bersentuhan langsung dengan Nabi, melihat langsung Nur An-Nubuwwah (cahaya kenabian) saja terkadang bingung dan bersifat hati-hati dalam mengartikan suatu ayat. Nah, kita? Bertemu dengan Nabi saja tidak, masa mau berani menafsiri Al-Qur’an sesuka hati.
Sebagai contoh mari kita simak hadist berikut ini:
روى الشيخان وغيرهما عن ابن مسعود قال: لما نزلت هذه الاية ( الذين أمنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم ۸۲ – الانعام) شق ذلك على الناس, فقالوا يا رسول الله : وأينا لا يظلم نفسه؟ قال: انه ليس الذى تعنون, ألم تسمعوا ما قال العبد الصالح (ان الشرك لظلم عظيم ۱۳- لقمان)؟ انما هو الشرك
“Bukhari dan Muslim (dan yang lainnya) meriwayatkan dari dari Ibnu Abbas berkata: ketika turun Ayat ini (Orang-orang yang beriman dan tidak menyertai keimanan mereka dengan “Dzulmun”- Al-An’am: 82) membuat susah umat Islam. Mereka bertanya kepada Nabi Saw: Siapa yang tidak berbuat “Dzulmun/ aniaya” kepada diri sendiri?. Nabi menjawabnya: “itu tidak seperti yang kalian kehendaki, apakah kalian tidak pernah mendengat ucapan hamba yang shalih (Sungguh syirik merupakan “Dzulmun” yang agung- Luqman:13)? Maksud dari “Dzulmun” itu adalah syirik.”
Riwayat Bukhari dan Muslim “Syaikhoni” (dalam bidang hadist) dan yang lainnya di atas menyebutkan bahwa ketika turun ayat 82 surat Al-An’am (ayatnya di atas) membuat susah sebagian umat Islam. Hal itu dikarenakan mereka salah mengartikan kata “Dzulmun” sebagai aniaya yang harusnya diartikan dengan “syirik” (lewat penafsiran ayat lainnya yakni Luqman: /13).
Seperti halnya tradisi keilmuan yang lain, tidak pas kiranya jika kita tidak membahas asas yang mendasari fan Ilmu Ushul At-Tafsir.
Asas yang didendangkan oleh Al-Sabban dalam syairnya berikut ini:
ان مبادي كل فن عشرة * الحد والموضوع ثم الثمرة
وفضله ونسبة والواضع * والاسم الاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى * ومن درى الجميع حاز الشرف
Setiap fan ilmu musti memiliki 10 hal yang mendasarinya: Definisi, Objek Kajian, kemudian buah mempelajarinya
Keutamaan, nisbat, pencetus, nama, sumber, dan hukum syari’
Kemudian yang terakhir permasalahan yang dibahas di dalamnya. Mereka yang menguasai seluruhnya akan mendapatkan kemuliyaan
Mengutip dari penjelasan Syekh Alawi bin Abbas Al-Maliki dalam kitabnya Fayd Al-Khabir wa Khulasat At-Taqrir menyarahi kitab Nahj’ At-Tafsir ‘ala Ushul At-Tafsir karya Sayyid Muhsin bin Sayyid Ali Al-Musawa, 10 dasar tersebut ialah demikian.
Pertama, Ilmu Ushul At-Tafsir ialah ilmu yang membahas hal-ihwal Al-Qur’an dari segi turunnya, riwayatnya, lafadz-lafadz dan lain sebagainya yang termasuk dalam bagian Al-Qur’an.
Kedua, Objek kajian Ilmu Ushul At-Tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri mempertimbangkan pembahasan yang telah disebutkan.
Ketiga, Faidah mempelajari Ilmu Ushul At-Tafsir adalah menjadi perantara untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan setelah itu mengamalkannya dalam kehidupan.
Keempat, Buah mempelajari Ilmu Ushul At-Tafsir adalah “Tamassuk bi al-Urwat Al-Wustqa wa Al-Fauz bi Al-Saadat fi Ad-Darain” atau berpegangan dengan tali (pedoman) yang kukuh serta berharap memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kelima, Pelopor atau pencetusnya pada hakikatnya ialah Allah sendiri, karena termasuk “ilmun ilahiyyun nabawiyyun”. Namun ulama yang pertama kali menuliskannya dengan tinta adalah Syekh Jalal Ad-Din Al-Bulqini. Ulama yang bergelar Syaikh Al-Islam (guru besar Islam) dari daerah Bulqinah, sebuah desa di Mesir. Imam Al-Bulqini dengan apik menuliskan gagasannya dalam bidang Ushul At-Tafsir ke dalam kitab yang berjudul “ Mawaqi’ Al-Ulum min Mawaqi’ An-Nujum”. Al-Bulqini menjadikan penulisan dalam kitabnya itu sesuai dengan metode macam penulisan fan Ilmu Ushul Al-Hadist, (lihat Nahj At-Tafsir: hlm.26).
Keenam, Sumber hukum fan Ilmu Ushul At-Tafsir adalah Al-Quran itu sendiri, Sunnah Nabi Saw dan uslub atau dialektika bahasa Arab.
Ketujuh, Masalah yang dibahas di dalamnya ialah mengenai yang dapat di ambil dari Al-Qur’an seperti hukum, akidah, perumpamaan-perumpamaan dan lain sebagainya.
Kedelapan, Nisbat mempelajari fan Ilmu Ushul At-Tafsir adalah ilmu ini termasuk dalam jajaran ilmu yang mulia, karena berhubungan dengan kitab yang mulia.
Kesembilan, Keutamaan mempelajari fan Ilmu Ushul At-Tafsir tentunya termasuk sangat mulia. Karena suatu ilmu diukur kadar kemuliaan objek kajiannya. Dan kita tahu, objek kajian fan ilmu ini adalah Al-Qur’an, kitab yang paling mulia.
Kemudian yang terakhir hukum mempelajarinya adalah wajib ‘ain bagi mereka yang hendak mempelajari Ilmu Tafsir.
Sumber:
Syekh Alawi bin Abbas Al-Maliki, Fayd Al-Khabir wa Khulasat At-Taqrir, 2015, (Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah)
Syekh Manna’ Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, (Al-Haramain).