Ikhwal Keterbukaan Informasi dan Demokrasi di Desa

Oleh Nurani Soyomukti, Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek

Nurani Soyomukti

RumahBaca.id – Tak bisa disangkal lagi bahwa kemajuan manusia dan masyarakat sangat didukung oleh informasi. Penguasaan informasi bisa membawa dampak pada peningkatan kekuatan, pengaruh, dan kekuasaan. Monopoli informasi bisa menyebabkan dominasi dari penguasa informasi tersebut. Juga dapat menyebabkan orang lain yang tertutup dari akses informasi bisa dikendalikan, dikontrol, dan dibodohi.

Sedangkan demokrasi informasi membawa pengaruh baik bagi kehidupan demokrasi politik, situasi yang memungkinkan banyak pihak bisa mengakses sumber-sumber kekuasaan melalui proses komunikasi (penyampaian dan pertukaran informasi yang menyebabkan efek timbal-balik dalam hubungan banyak orang). Dibukanya akses informasi dan disebarkannya informasi pada banyak orang akan memungkinkan terjadinya tanggapan terhadap informasi tersebut.

Hak informasi menjadi hak asasi manusia yang ditegaskan dalam konstitusi kita. Satu bab tentang Hak Asasi Manusia juga sudah diturunkan dalam regulasi (undang-undang) yang mengatur hak asasi manusia, di antaranya adalah hak informasi. Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menegaskan bahwa hak informasi bisa berupa hak mencari atau mendapatkan informasi dan hak menyampaikan atau menyebarkan informasi.

Dalam Pasal 14 UU HAM ada dua ayat tentang komunikasi dan informasi. Ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya.” Berikutnya di Ayat (2) dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”

Manfaat informasi untuk kemajuan masyarakat merupakan idealisme dari dibuatnya konstitusi dan undang-undang. Penggunaan informasi diharapkan bisa membuat pribadi berkembang dan juga memajukan mengembangkan “lingkungan sosialnya”. Dengan mencari dan mendapatkan informasi (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) manusia diharapkan semakin punya keberdayaan dan mampu menghubungkan dirinya dengan orang lain melalui informasi yang dikuasainya serta kemampuannya menyampaikan informasi sebagai bentuk komunikasi.

Sementara dalam hubungan antara manusia sebagai warga negara dengan lembaga publik (pemerintah), termasuk pemerintah desa, juga ada upaya untuk menjadikan lembaga punya kemauan dan kemampuan untuk terbuka, tidak tertutup ketika warga ingin mengetahui informasi tentang apa yang dilakukannya yang menyangkut kebijakan terkait kepentingan publik (rakyat banyak).

Kemudian muncullah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Keterbukaan informasi publik juga diharapkan menjadi sarana untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Undang-undang tersebut juga memberi petunjuk teknis bagi lembaga publik untuk mengelola dan mendokumentasikan informasi publik.

Keterbukaan Informasi di Desa

Mencita-citakan desa sebagai arena demokrasi dengan menempatkan keterbukaan informasi publik tentunya berhadapan dengan tradisi sosial-budaya dan politik di desa yang sudah berjalan selama berpuluh-puluh tahun. Desa yang telah lama sekali menjadi apa yang disebut oleh oleh Hans Antlov (2003) sebagai “objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas”.

Itu dari sisi politis. Sedangkan dari sisi sosial-budaya, kehidupan di desa selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai lama itu berbeda dengan nilai-nilai yang ada pada sistem demokrasi. Karakter budaya masyarakat desa adalah tradisi paternalistik yang dicirikan dengan budaya bahwa pemimpin adalah panutan dan dianggap sumber kebenaran. Karenanya, pemimpin tidak boleh dikritik. Berbeda dengan nilai-nilai demokrasi yang mengajarkan kesetaraan antara warga, serta menempatkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat.

Dalam tradisi lama, rakyat membayar pajak pada kekuasaan pusat dan pemerintah lokal adalah kepanjangan tangan kekuasaan pusat yang bertugas salah satunya adalah menjadi penarik pajak dan upeti dari rakyat untuk diserahkan ke pihak istana. Pengabdian rakyat pada pemimpin dianggap sebagai bentuk pengabdian yang diikuti budaya kepatuhan. Sedangkan dalam tradisi demokratis, rakyat yang membayar pajak dan sebagian digunakan untuk menggaji pemerintah (termasuk pemerintah desa) harus diberikan pelayanan terbaik dari pemerintah sebagai pengabdi pada rakyat (publik). Pemerintah adalah pelayan publik (public server).

Salah satu upaya memperkuat demokrasi desa adalah membangun landasan hukum melalui disahkannya Undang-Undang Desa (UU Nomor 6 tahun 2014). Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa di antaranya berdasarkan asas Keterbukaan, Akuntabilitas, dan Partisipatif. Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan “partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.

Hak-hak informasi masyarakat terhadap Pemerintahan Desa dijamin dalam Undang-Undang Desa. Pada Pasal 68 Ayat (1) diuraikan hak-hak masyarakat desa terhadap pemerintahan. Di sana ditegaskan bagaimana masyarakat Desa berhak “meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Masyarakat juga berhak menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Tentunya harus dilakukan secara bertanggung jawab.

Peran Pemerintah Desa

Amanat untuk menyebarkan informasi, yang meluas dan membuat masyarakat kian bertambah pengetahuan dan wawasan terkait desanya, oleh negara juga dibebankan pada pemerintah desa yang dipimpin oleh Kepala Desa. Upaya-upaya untuk menutup-nutupi akses masyarakat terhadap informasi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah desa merupakan sebuah tindakan yang justru bertentangan dengan prinsip partisipasi dan keterbukaan.

Pada Pasal 26 Ayat (4), ada salah satu kewaiban yang harus dilakukan oleh Kepala Desa, yaitu “memberikan informasi kepada masyarakat desa.” Sedangkan terkait tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan desa, pada Pasal 27 ada satu kewajiban yang dibebankan pada Kepala Desa, yaitu “memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.”

Pada Pasal berikutnya dinyatakan bahwa Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 27 ini dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya negara melalui undang-undang ini menghendaki kepala desa untuk memajukan masyarakat melalui demokratisasi informasi.

Pada Pasal 29 UU Desa, dinyatakan bahwa Kepala Desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu. Juga terlarang bagi Kepala Desa untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu. Sikap anti-Diskriminasi ini tentu saja bermakna bahwa informasi-informasi harus diberikan pada semua masyarakat tanpa membeda-bedakan golongan.

Dalam UU Desa juga dinyatakan bahwa kepala Desa dilarang “melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa”. Kita tahu bahwa munculnya keresahan biasanya akibat penggunaan informasi yang tidak tepat. Informasi yang salah yang tersebar, informasi yang terdistorsi, atau penyembunyian informasi yang membuat pihak yang tertutupnya akses hanya mengembangkan perbincangan-perbincangan yang subjektif.

Tak jarang juga keresahan masyarakat terjadi akibat penggunaan informasi yang kontennya salah, tidak etis menurut pandangan publik, serta berdasarkan prasangka dan penuh subjektivitas yang bisa ditafsirkan sebagai hal yang buruk bagi publik. Kita tentu ingat kasus bagaimana seorang kepala desa di Kabupaten Trenggalek viral akibat pernyataannya di media sosial yang diangap “menyakiti hati” sebagian kalangan masyarakat, baik masyarakat di desanya maupun di luar desanya—bahkan viral se-Indonesia. Pernyataan meresahkan yang dibuatnya mengakibatkan ia dinon-aktifkan sementara waktu dan terpaksa membuatnya harus minta maaf di publik.

Apalagi untuk informasi yang terkait dengan kebijakan publik yang harus disampaikan dengan benar mulai dasar kebijakannya, juga alur kebijakannya, yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Jika pemerintah desa tidak memahami dulu petunjuk teknis yang dibuat oleh pemerintah, lalu apa yang disampaikannya juga tidak lengkap, masih ada hal yang “gelap” dan menyebabkan distorsi, hal itu juga akan menimbulkan keresahan masyarakat.

Misalnya kebijakan bantuan sosial yang merupakan kebijakan pemerintah yang sangat didamba oleh banyak warga desa, tanpa memahami alur kebijakan berdasarkan regulasi dan petunjuk teknis, biasanya akan menimbulkan kesalahpahaman di tingkat bawah. Yang terjadi adalah “noise” karena pemahaman di kalangan banyak orang di bawah tidak sama, akhirnya jadi “noise” dan mudah dimanfaatkan untuk pihak-pihak tertentu secara politik.

Saluran Informasi dan Ruang Demokrasi

Terkait dengan hal itu, juga tak bisa diabaikan peran penting sebuah lembaga demokrasi perwakilan yang ada di desa, yaitu Badan Permusyawaratan Desa. Lembaga ini adalah Pilar penting bagi kemajuan desa untuk membuka informasi agar tercipta kemanfaatan bagi demokrasi di desa. BPD adalah lembaga resmi yang keberadaannya menjadi representasi atau perwakilan dari rakyat di desa.

Pada pasal 63 dinyatakan bahwa badan ini punya kewajiban untuk “melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Lebih khusus terkait dengan informasi, badan ini juga punya kewajiban untuk “menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa”. Untuk menjaga marwah demokrasi, BPD juga diwajibkan untuk “mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan.”

Lembaga resmi lainnya adalah Lembaga-lembaga yang oleh regulasi disebut sebagai Lembaga Kemasyarakatan Desa, mulai dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karangtaruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Sebagai organisasi yang punya basis segmen masyarakat dan basis lokalitas masing-masing, Lembaga-lembaga tersebut juga harus dihidupkan sebagai sarana berkumpul, menyampaikan aspirasi, memberdayakan diri, juga persebaran informasi resmi tentang pembangunan desa.

Yang menjadi masalah kemudian adalah jika Lembaga-lembaga tersebut justru tidak “hidup”. Kondisi tidak berfungsinya ruang-ruang formal tersebut akan mengakibatkan informasi macet, terdistorsi, tertutup, dan tidak ada proses pencerahan di kalangan masyarakat. Informasi-informasi dari pemerintah tidak sampai ke warga di akar rumput. Aspirasi dari masyarakat bawah juga tidak sampai pada pemerintah desa.

Ada kemungkinan desa yang tidak demokratis berawal dari kesenjangan informasi, monopoli informasi, serta jauhnya akses warga dari informasi. Kondisi ini bisa menyebabkan pemerintahan yang cenderung koruptif, kurang pengawasan dan pemantauan warganya, serta yang tidak menjalankan pembangunan berdasarkan aspirasi dari warga. Tanpa kontrol masyarakat banyak, tentunya yang tercipta adalah penyelenggeraan kebijakan publik yang hanya menguntungkan sedikit orang saja.***