Hukum Perempuan Bekerja di Malam Hari

LADUNI.ID, Jakarta – Islam adalah agama Rahmat. Islam adalah agama yang universal dan memuliakan manusia. Untuk itu, Islam adalah agama yang melindungi hak-hak perempuan. Perlindungan Islam terhadap perempuan berupa memberikan hak pada perempuan untuk memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan. Termasuk juga bentuk penghargaan Islam terhadap perempuan adalah memperbolehkan perempuan untuk mengembangkan karir sesuai dengan kehendak dan keahliannya.

Perempuan pekerja mendapatkan dukungan penuh dalam Islam. Hal itu termasuk hak individu yang telah diakui dalam Islam. Islam senantiasa memberikan wewengan penuh pada perempuan untuk hidup secara mandiri, berupa mengatur keuangan dan harta kekayaanya, tanpa campur tangan orang lain. Harta hasil pencariannya, atau gajinya merupakan hak penuh miliknya, tak bisa diambil tanpa seizinya sekalipun suaminya sendiri. Itulah bentuk penghargaan Islam terhadap perempuan.

Stigma negatif juga disematkan pada perempuan yang bekerja pada malam hari. Stigma itu biasanya muncul dari masyarakat sekitar. Kasus perempuan bekerja di malam hari, ada kepercayaan yang sudah melekat, bahwa perempuan yang keluar malam bukanlah wanita baik-baik. Sekalipun keluar malam hanya untuk bekerja di pabrik, perusahaan, ataupun piket di rumah sakit.

Padahal faktanya bukanlah demikian. Dalam sejarah Islam, terdapat perempuan hebat yang sukses dalam karirnya. Bahkan dengan kesuksesannya bisa membantu dakwah Islam, dan menolong masyarakat sekitar yang membutuhkan.  Pendek kata, sejarah awal Islam, dipenuhi dengan peran perempuan sebagai wanita pekerja yang sukses.

Para Perempuan pekerja dan sukses ini ada dalam banyak bidang. Antara lain adalah menjadi pengusaha dengan berdagang, bertani, beternak, bercocok tanam, mengajarkan ilmu pengetahuan, arsitek, diplomat, ahli kesehatan, perawat yang bertugas dalam perang, dan masih banyak lagi peran perempuan dalam sejarah peradaban Islam.

Sejarah Islam mencatat, bahwa salah satu perempuan yang sukses dalam bisnis dan karirnya adalah Ummu Syarik. Beliau tergolong salah satu perempuan kaya raya dalam Islam. Kisah hidupnya terdokumentasikan dalam salah satu hadis  Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadis yang bersumber dari Fathimah bint Qais, menceritakan sosok Ummu Syarik yang merupakan wanita kaya raya dan dermawan.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

وَأُمُّ شَرِيكٍ امْرَأَةٌ غَنِيَّةٌ مِنَ الأَنْصَارِ عَظِيمَةُ النَّفَقَةِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ يَنْزِلُ عَلَيْهَا الضِّيفَانُ

 “Ummu Syarik adalah perempuan yang kaya raya dari kalangan Anshar. Sering membelanjakan hartanya di jalan Allah. Karena itu, banyak tamu yang berdatangan ke rumahnya.” (HR. Muslim).

Dalam hadis ini tergambar jelas tentang sosok Ummu Syarik, wanita karir nan dermawan. Bahkan dalam sejarah, rumahnya yang berada di Madinah sering didatangi orang-orang untuk bertamu. Bahkan tak jarang yang datang adalah mereka yang tunawisma, yang membutuhkan tempat tinggal.

Seperti pada zaman sekarang ini banyak sekali pekerjaan yang membuka lowongan pekerjaan di malam hari. Misalnya saja menjadi karyawan pabrik, yang notabennya ada shif (jadwal) terkadang masuk pagi, siang, dan malam. Begitu juga dengan perempuan yang berprofesi menjadi dokter dan perawat di rumah sakit. Tak jarang harus bekerja di malam hari untuk memastikan pasien mendapatkan pertolongan dan pelayanan.

Lantas bagaimana Islam memandang hal tersebut? Apakah diperbolehkan perempuan bekerja hingga larut malam? Sejatinya dalam persoalan tersebut, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja. Pasalnya, dalam hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  terdapat banyak sekali yang mengisahkan perempuan hebat yang sukses dan mendapatkan pujian dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab At-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, yang mengisahkan Rithah istri dari Abdullah bin Masud yang mengadu pada Nabi bahwa Beliau adalah seorang perempuan pekerja untuk mencukupi nafkah keluarga. Nabi lantas memujinya dan menyatakan ia akan mendapatkan pahala dari jerih payahnya tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

عن ريطة بنت عبد الله بن مسعود رضي الله عنهما أتت إلى النبي صلى الله وسلم. فقالت: يا رسول الله إني امرأة ذات صنعة أبيع منها وليس لي ولا لزوجي ولا لولي شيئ. وسألته عن النفقة عليهم فقال: لك في ذلك أجر ما أنفقت عليهم. أخرجه ابن سعد.

“Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud R.A. ia pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  dan bertutur, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun.” Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka,” kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”

Sementara itu dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari juga termasktub kisah seorang perempuan yang bernama Zainab bin Abdullah At-Tsaqafiyah. Perempuan ini adalah menjadi tulang punggung dalam keluarga. Ia mencari nafkah untuk menghidupi suami dan anak-anaknya. Lebih lagi, ia merawat anak-anak yatim yang menjadi tanggungannya.

Berangkat dari profesinya yang bekerja untuk menanggung keluarganya, Zainab pun bertanya kepada Rasulullah tentang statusnya sebagai wanita yang bekerja. Ia ingin mendapatkan jawaban, apakah ia boleh bekerja dan mendapatkan pahala dari profesinya?

Lewat sahabat Bilal, Zainab ajukan pertanyaan tersebut kepada Rasulullah, apakah ia mendapatkan pahala atau pekerjaanya diperkenankan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lantas menjawab;

قَالَ : نَعَمْ لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ ، وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

Artinya, “Ya, Zainab mendapatkan dua pahala; pertama pahala karena  menafkahi keluarga, kedua pahala sedekah pada anak yatim.”

Hukum mempekerjakan wanita pada malam hari di luar rumah, hukumnya adalah Haram.
kecuali:
Aman dari fitnah dan mendapat izin dari suami dan atau wali, maka hukumnya boleh.
Diduga terjadi fitnah, maka hukumnya haram dan dosa.
Takut terjadi fitnah, maka hukumnya makruh.

Keterangan, dari kitab:
1. ‘Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari [1]

.عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ الْخَطَّابِ عَنِ النَّبِيِّ

قَالَ: إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا مُطَابَقَتُهُ لِلتَّرْجَمَةِ ظَاهِرَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ بِالْقِيَاسِ عَلَيْهِ وَالشَّرْطُ فِيْ الْجَوَازِ فِيْهِمَا اْلأَمْنُ مِنَ الْفِتْنَةِ

Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar Al-Khaththab, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda: “Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin pergi ke mesjid, maka janganlah melarangnya.” (HR. Bukhari). Keserasian hadis ini dengan judul bab yang dibuat Imam Bukhari (Bab Permintaan Izin Istri kepada Suaminya untuk Pergi ke Masjid dan ke Selainnya), adalah wanita tersebut pergi ke masjid, dan  perginya ke selain masjid dengan diqiyaskan padanya. Persyaratan bagi kebolehan pergi mesjid dan luar mesjid bagi seorang wanita adalah aman dari fitnah. 

2. Is’ad Al-Rafiq Syarh Sulam Al-Taufiq [2]

قَالَ فِيْ الزَّوَاجِرِ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَتِ الْفِتْنَةُ أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ

Dalam kitab Al-Zawajir Ibn Hajar Al-Haitami berkata: “Sesuai dengan kejelasan hadis-hadis ini, maka (keluarnya wanita dari rumah) termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini sesuai dengan kaidah-kaidah kita (madzhab Syafi’i), maka harus dipahami dalam keadaan jika memang benar-benar akan terjadi fitnah. Sementara jika hanya sekedar terdapat kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar. 

3. Fath Al-Wahhab dan Futuhat Al-Wahhab [3]

وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ الْمَسْجِدَ فِيْ جَمَاعَةِ الرِّجَالِ إِنْ كَانَ مُشْتَهَاةً خَوْفَ الْفِتْنَةِ

(قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ)

 ….  أَيْ كَرَاهَةَ تَحْرِيْمٍ حَيْثُ لَمْ يَأْذَنْ الْحَلِيْلُ. اهـ. ح ل

إِلَى أَنْ قَالَ

وَيَحْرُمُ عَلَيْهِنَّ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيٍّ أَوْ حَلِيْلٍ أَوْ سَيِّدٍ أَوْ هُمَا فِيْ أَمَةٍ مُتَزَوَّجَةٍ وَمَعَ خَشْيَةِ فِتْنَةٍ مِنْهَا أَوْ عَلَيْهَا اِنْتَهَتْ (قَوْلُهُ أَيْضًا وَيُكْرَهُ حُضُوْرُهُنَّ الْمَسْجِدَ) أَيْ مَحَلَّ الْجَمَاعَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِ الرِّجَالِ فَذِكْرُ الْمَسْجِدِ وَالرِّجَالِ لِلْغَالِبِ

Dimakruhkan wanita datang ke mesjid berjamaah dengan laki-laki, jika wanita tersebut mempesona karena khawatir timbulnya fitnah. (Pernyataan Syekh Zakaria Al-Anshari: “Dimakruhkan wanita datang.”) maksudnya, makruh tahrim jika si suami tidak mengizinkan. Demikian menurut Al-Halabi … Haram bagi wanita tanpa izin wali, suami, tuan atau keduanya bagi budak wanita yang sudah bersuami, dan dalam keadaan khawatir timbulnya fitnah dari atau yang membahayakannya. (Pernyataan beliau: “Dimakruhkan wanita datang.”), maksudnya datang ke mesjid tempat berjamaah walaupun tidak ada laki-laki di sana. Penyebutan mesjid dan kaum laki-laki hanya berdasar kebiasaan saja. 

4. Fath Al-Mu’in dan I’anah Al-Thalibin [4]

وَمِنْهَا إِذَا خَرَجَتْ لاِكْتِسَابِ نَفَقَةٍ بِتِجَارَةٍ أَوْ سُؤَالٍ أَوْ كَسْبٍ إِذَا عَسُرَ الزَّوْجُ

  (قَوْلُهُ وَمِنْهَا)

أَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ  لأِجْلِهَا

وَقَوْلُهُ أَوْ سُؤَالٍ أَيْ سُؤَالِ نَفَقَةٍ أَيْ طَلَبِهَا عَلَى وَجْهِ الصَّدَقَةِ

Dan di antaranya, jika keluarnya itu untuk mencari nafkah dengan berdagang, meminta atau bekerja ketika suami melarat -tidak mampu memberi nafkah. (Pernyataan Syekh Zainuddin Al-Malibari: “Dan di antaranya.”) maksudnya adalah dari beberapa hal yang memperbolehkan wanita keluar rumah … (Dan  pernyataan beliau: “Atau meminta.”) maksudnya adalah meminta nafkah, maksudnya mencari nafkah dengan cara mencari sedekah. 

5. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam [5]

أَنَّ الظَّنَّ بِالْمَفْسَدَةِ وَالضَّرَرِ لَا يَقُومُ مَقَامَ الْقَصْدِ إِلَيْهِ فَالْأَصْلُ الْجَوَازُ مِنَ الْجَلْبِ أَوِ الدَّفْعِ وَقَطْعُ النَّظْرِ عَنِ اللَّوَازِمِ الْخَارِجِيَّةِ إِلَّا أَنَّهُ لَمَّا كَانَتِ الْمَصْلَحَةُ تُسَبِّبُ مَفْسَدَةً مِنْ بَابِ الْحِيَلِ أَوْ مِنْ بَابِ التَّعَاوُنِ مُنِعَ مِنْ هذِهِ الْجِهَةِ لَا مِنْ جِهَةِ الْأِصلِ

Sungguh zhan (dugaan kuat) tentang mafsadah dan bahaya tidak bisa diposisikan sebagai mafsadah dan bahaya tersebut. Sebab, hukum asal adalah diperbolehkan mengupayakan kebaikan dan menolek bahaya, serta tanpa memandang konsekuensi eksternal (kharijiyah). Kecuali ketika suatu maslahat menyebabkan mafsadah dari sisi hilah (rekayasa) atau dari sisi tolong-menolong, maka maslahat tersebut dicegah (tidak diperbolehkan) dari kedua sisi ini, bukan dari hukum asalnya. 

Referensi Lain :
Tuhfah Al-Muhtaj, Juz II, h. 252.
Nihayah Al-Muhtaj, Juz II, h. 140.
Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, Juz I, h. 203.
Footnote :
 [1] Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (Mesir: Al-Muniriyah, t. th.), Juz XX, h. 218.
[2] Muhammad Salim Bafadhal, Is’ad Al-Rafiq Syarh Sulam Al-Taufiq, (Surabaya: Al-Hidayah, t. th.), Juz VI, h. 125.
[3] Zakaria al-Anshari dan Sulaiman bin Manshur al-Jamal, Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab bi Taudhih Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid I, h. 416-417.
[4] Zainuddin Al-Malibari dan Muhammad Syaththa Al-Dimyathi, Fath Al-Mu’in dan I’anah Al-Thalibin, (Mesir: Al-Tijariyah Al-Kubra,  t.th.),  Jilid II, h. 73-74.
[1] Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam, (Kairo: Al-Madani,  t.th.),  Juz II, h. 265.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 403 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-29 Di Cipasung Tasikmalaya Pada Tanggal 1 Rajab 1415 H. / 4 Desember 1994 M. 
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Minggu, 9 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo

https://www.laduni.id/post/read/30531/hukum-perempuan-bekerja-di-malam-hari.html