Hernowo: Penggerak Literasi Bangsa

Oleh Dr. Zaprulkhan

“Menulis, secara sederhana, saya artikan sebagai merumuskan hal-hal yang kita simpan ‘di dalam’ untuk kemudian dapat dipahami ‘di luar’. Syarat menulis yang dapat menghasilkan rumusan yang baik adalah adanya kongruensi. Ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang ada ‘didalami’ (yang kita pikir dan rasakan) harus sama persis dengan segala sesuatu yang ada ’di luar’ (yang kita tulis dan lakukan).

Seseorang tidak akan mampu menulis secara baik apabila dia tidak mengenali dan berusaha keras menggali materi-materi yang ada di dalam dirinya. Seseorang tidak akan mampu mengeluarkan apa-apa yang ‘di dalam’ lewat sebuah tulisan, apabila apa-apa yang ingin dikeluarkannya itu tidak pernah dialaminya secara konkret. Menulis, dalam konteks yang paling sublim, adalah sebuah aktivitas untuk mengekspresikan diri kita secara total”.

Hernowo dalam Mengikat Makna

Kutipan bernas itu saya ambil di penghujung karya pertama Hernowo yang sangat mencerahkan: Mengikat Makna. Definisi tentang menulis yang digulirkan Hernowo sangat menarik dan unik. Bagi Hernowo, menulis adalah proses menuangkan sekaligus membagikan kekayaan hidup kita secara keseluruhan, baik secara intelektual dan emosional, maupun secara mental dan spiritual. Kalau kita mampu melakukan proses penulisan seperti itu, kata Hernowo: “Insya Allah akan mampu meledakkan potensi diri menjadi sebuah cara terefektif untuk menunjukkan kemampuan diri”.

Dalam buku Mengikat Makna Update, Hernowo bahkan mengeksplorasi pengertian menulis dengan menggunakan sepuluh kata kerja kunci secara eksploratif yang meliputi: mengikat, mengonstruksi, menata, memproduksi, menampakkan, menggali, membuang, menjabarkan, mengeluarkan, dan membagikan. Semua kata kerja inti tersebut dieksplorasi secara impresif dengan bahasa yang sangat personal khas seorang Hernowo.

Sebagai contoh, menulis adalah mengonstruksi atau menyusun dan membangun, (mengonstruksi diletakkan sebagai definisi kedua). Kata Hernowo: Saya ingin menggunakan pandangan John Dewey dalam hal ini. Menurut Dewey, sepenggal ilmu akan masuk dan bercampur dengan diri saya ketika saya berhasil mengonstruksi ilmu itu. Apabila saya hanya menerima atau mewadahi, sesungguhnya itu ilmu tidak menjadi bagian dari diri saya. Saya harus mengolah ilmu itu dan menyusunnya menjadi sesuatu yang khas diri saya. Dalam bahasa lain, ilmu adalah pengalaman baru; sementara di dalam diri saya sudah tersimpan pengalaman lama. Saya akan menjadi manusia baru jika pengalaman lama saya terkait atau dapat saya kaitkan dengan pengalaman baru tersebut. Dan untuk mengait-ngaitkan atau—merujuk ke Dewey—mengonstruksi (menyusun dan membangun)-nya, saya memerlukan bantuan kegiatan menulis.

Tentu saja berbagai pengertian tentang menulis yang dirumuskan oleh Hernowo tidak berdiri sendiri. Pengertian tentang menulis itu ditimbanya dari para pakar kaliber dunia, seperti James Pennebaker, Stephen Krashen, Bobbi Deporter, Gabriele Lusser Rico, Peter Elbow, Natalie Goldberg ataupun John Dewey. Namun yang bagi saya sangat menarik, Hernowo mampu dengan begitu fasih merumuskan kembali dengan bahasanya sendiri yang hidup, penuh gairah, ekspresif, sekaligus inspiratif. Dalam kegiatan menulis adalah mengonstruksi misalnya, Hernowo dengan terus terang memungut pandangan Dewey. Tapi yang menarik, Dewey sendiri tidak menghubungkan dengan kegiatan menulis ketika berbicara tentang konstruksi ilmu. Hanya kreativitas seorang Hernowo-lah yang mempu mengaitkannya secara demonstratif dengan kegiatan menulis.

Sebagai contoh lain adalah ketika Hernowo menguraikan tentang orang yang memiliki visi dalam menulis (bervisi) dengan pijakan awal merujuk pada pandangan Muhammad Iqbal tentang visi. Lalu beliau memperluas bahasanya secara ekspresif-inspiratif. “Kalau berpijak pada pandangan Iqbal”, tulis Hernowo, “orang yang bervisi adalah—dalam rumusan saya—orang yang memiliki kemampuan menyatukan atau merajut masa lalu yang jauh dengan kekinian dan kedisinian yang sedang dilakoninya untuk kemudian ‘menengok’, secara amat menukik, pelbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan”.

Dalam satu aspek ini saja, kita harus mengakui kreativitas seorang Hernowo. Karena itu bukan tanpa makna ketika Hernowo mengenalkan beragam konsep membaca dan menulis, seperti Mengikat Makna, Self-Digesting, Menulis-Dinamis dan Menulis-Sinergis, Quantum Reading, Quantum Writing, hingga Free Writing ke tengah-tengah khalayak masyarakat Indonesia. Semua konsep tersebut begitu sarat dengan makna. Dan dengan sentuhan kreativitas seorang Hernowo, seluruh konsep tersebut benar-benar menjadi hidup, fungsional, inspiratif sekaligus transformatif yakni menggerakkan kita untuk membaca dan menulis.

Sehingga, dengan membaca buku-buku Hernowo, kita yang tadinya belum begitu paham dengan dunia baca-tulis tiba-tiba menjadi jelas semuanya. Kita yang sebelumnya tidak suka membaca dan menulis, tiba-tiba menjadi orang yang rakus membaca dan berani menulis. Kita yang sebelumnya tidak pernah bermimpi menjadi seorang penulis, tiba-tiba memiliki gairah untuk menjadi seorang penulis dan benar-benar menghasilkan beberapa karya buku secara individual. Dia bukan hanya mampu meniupkan spirit tentang gairah dunia baca-tulis, tapi juga mampu menggerakkan kita menjelma seorang pembaca dan penulis profesional dalam bidang kita masing-masing. Dalam konteks ini, sesungguhnya Hernowo bukan hanya seorang inspirator, tapi juga seorang transformator (dalam arti orang yang mengubah sesuatu, bukan dalam arti alat) dalam dunia literasi kita; Seorang transformator dalam dunia membaca dan menulis.
* * *
Saya mengenal Hernowo melalui karya pertamanya Mengikat Makna, yang saya nikmati pada tahun 2002. Saat itu, saya sudah sangat menikmati kagiatan membaca. Tiada hari yang saya lewatkan tanpa kegiatan membaca. Bahkan terkadang dalam sehari semalam saya bisa membaca antara delapan sampai duabelas jam. Tapi sayangnya, saya belum terbiasa menulis. Waktu itu, saya belum bisa menikmati kegiatan menulis. Saya hanya menulis tugas makalah dari dosen di IAIN Raden Fatah Palembang. Terus terang, melaksanakan tugas menulis makalah saat itu bagi saya masih terasa sebagai beban yang agak berat. Artinya, saya tidak menikmati kegiatan menulis makalah, walaupun saya selalu berusaha menulis makalah-makalah saya dengan serius.

Tapi ketika saya merampungkan buku Mengikat Makna, mindset saya tentang menulis menjadi berubah. Salah satu hal yang paling mempengaruhi saya dan masih menorehkan jejak tak terlupakan dalam benak saya adalah penekanan Hernowo agar saya membiasakan menulis setiap hari sebagai hasil refleksi dan renungan dari bacaan saya terhadap apapun, terutama buku-buku yang saya baca, dalam sebuah buku agenda, dalam sebuah buku catatan, dalam sebuah diary. Saat itu juga, saya langsung membeli buku diary dan memaksakan diri menulis setiap hari sebagai hasil refleksi dari apapun yang saya baca dan saya alami setiap hari. Ternyata, saya sangat menikmati kegiatan mengikat makna itu.

Setelah itu, saya langsung memburu karya-karya Hernowo lainnya, seperti Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, Spirit Iqro’, Quantung Reading, Quantum Writing, Main-Main Dengan Teks, Self-Digesting, Vitamin T, Mengikat Makna Sehari-hari, Aku Ingin Bunuh Harry Potter, Membacalah Agar Dirimu Mulia, Mengikat Makna Update, Flow di Era Socmed sampai karya terakhirnya, Free Writing.

Nyaris di sebagian besar karya-karya yang saya baca itu, Hernowo berulang kali menganjurkan agar membiasakan diri saya untuk menulis setiap hari dalam sebuah buku diary. Ternyata efeknya dahsyat: saya bukan hanya menjadi terbiasa menulis setiap hari, bahkan saya sangat menikmati kegiatan menulis di buku diary setiap hari; Sehingga sewaktu masih kuliah Strata Satu, saya sudah bisa mengumpulkan catatan harian saya sebagai refleksi dari buku-buku yang saya baca dan berbagai kegiatan yang saya alami dalam bentuk tiga buku catatan harian secara utuh.

Ketika sudah menikmati kebiasaan menulis di samping membaca, saya menemukan sesuatu yang berharga: ternyata kenikmatan dalam kebiasaan membaca dan menulis itu mempunyai konsekuensi psikologis yang positif. Dulu, ketika saya sudah menikmati kebiasaan membaca, lalu saya tidak membaca sehari atau dua hari saja, konsekuensinya saya akan merasa gelisah. Sekarang, setelah saya juga menikmati kebiasaan menulis dan tidak menulis sehari atau dua hari saja, saya juga akan merasakan kegelisahan yang sama.

Saya merasakan seakan-akan, there is something lost within me, ada sesuatu yang hilang dalam diri saya. Jadi kegiatan membaca dan menulis itu ada level-level konsekuensi psikologisnya. Tapi konsekuensi yang indah, karena membuat kita semakin kreatif dan produktif dalam membaca dan menulis. Di sini harus saya akui dengan jujur, Hernowo telah mempengaruhi saya dalam menulis. Baik pengaruh itu dalam bentuk psikologis yang bersifat memotivasi saya untuk selalu menulis, maupun pengaruh metodologis yang berupa konsep-konsep praktis dalam menulis. Keduanya telah menyatu dalam diri saya.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya bulan Mei 2011, saya bertemu langsung dengan sosok Hernowo dalam sebuah acara Workshop Quantum Reading dan Quantum Writing yang saya adakan di STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. Saya melihat presentasi yang dibawakan oleh Hernowo amat menarik, enerjik, sekaligus inspiratif. Sebagaimana buku-bukunya yang sangat menggairahkan perasaan dan mencerahkan nalar, presentasinya juga sangat menggairahkan dan mencerahkan saya, para dosen dan para mahasiswa yang menyimaknya.

Setelah itu, dua tahun kemudian, saya mengundang Hernowo kembali dalam acara bedah buku Remy Sylado, yang bertajuk: Jadi Penulis? Siapa Takut! Dalam acara bedah buku itu pun, saya merasakan sekali sosok Hernowo yang sangat enerjik, inspiratif, sekaligus impresif dalam mengurai konsep-konsep menulis yang ada dalam buku Jadi Penulis?Siapa Takut? tersebut. Saya melihat, dunia buku, dunia yang berhubungan dengan membaca dan menulis memang sudah benar-benar menyatu dalam diri seorang Hernowo. Saya melihat, dunia literasi sudah menjadi nafas kehidupannya.

Tapi dua bulan lalu, tepatnya tanggal 24 Mei malam, sosok Sang Inspirasi Pengikat Makna ini meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Tatkala mendengar berita wafatnya Pak Hernowo, melalui grup WhatsApp, saya kaget bukan kepalang. Sebab dua hari sebelumnya, saya masih sempat menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan kagiatan literasi dan hanya dalam waktu 30 menit beliau masih menjawab pertanyaan yang saya kirim via WA. Saya tidak tahu kalau saat itu beliau tengah sakit. Ketika berita wafatnya beliau sampai ke saya, saat itu saya masih berada di Aussie. Saya mengetahuinya melalui grup WA pada saat setelah sahur. Pada saat itu, saya hanya tercenung bisu seorang diri dalam kamar apartemen kampus Western Sydney University yang amat dingin itu.

Tiba-tiba saya teringat pengalaman saya bergumul dengan buku-buku Hernowo yang amat mencerahkan dan membuka perspektif saya dalam aspek membaca dan menulis. Saya teringat bagaimana buku-buku Hernowo telah menggerakkan saya untuk selalu menulis dan menjadi orang yang menikmati kegiatan menulis. Saya teringat sosok Hernowo yang sangat enerjik dan murah hati dalam berbagi apapun miliknya. Saya juga teringat figur Hernowo yang begitu tulus ikhlas dalam memberikan konsep-konsep kunci literasinya kepada saya.

Kapanpun saya membutuhkan jawaban-jawaban tentang dunia literasi, beliau selalu menyediakan waktunya untuk memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan dahaga saya. Kini, saya telah kehilangan salah seorang figur teladan indah dalam dunia literasi. Saya amat berduka. Saat itu juga, saya hanya bisa berdoa semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Pak Hernowo dengan balasan terbaik-Nya, dan menempatkan di tempat terbaik-Nya, amin.

  • * *
    Untuk mengenang figur Hernowo, dalam kesempatan terbatas ini, izinkan saya berbagi sekilas konsep literasi dari figur Sang Pengikat Makna ini mengenai konsep besarnya, yaitu konsep Mengikat Makna.

Secara sederhana, mengikat makna merupakan kegiatan yang memadukan antara aktivitas membaca dan menulis. Ketika kita telah membaca sebuah teks atau buku, kemudian kita menuliskan kembali kesan atau makna yang kita dapat dari teks dan buku tersebut secara personal dengan menggunakan bahasa kita sendiri. Menurut Hernowo, membaca sudah pasti merupakan kegiatan yang akan mengajak seseorang untuk berpikir. Memikirkan sesuatu ketika membaca tentu bukanlah memikirkan sesuatu secara sembarangan atau tidak memiliki wujud yang jelas.

Ketika seseorang membaca dan berpikir, cara berpikirnya pastilah sistematis sesuai dengan materi-materi yang dia baca. Dan membaca yang benar adalah membaca yang disertai kegiatan mencerna dan memahami. Inilah berpikir yang benar-benar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi si pelaku membaca. “Saya biasa melanjutkan,” tulis Hernowo, “kegiatan membaca dengan menulis, yaitu menuliskan apa yang saya baca, cerna, dan pahami. Setiap kali selesai membaca, saya harus mendapatkan sesuatu yang penting dan berharga bagi diri saya pribadi. Itulah makna”.

Dalam karya briliannya, Mengikat Makna Update, Hernowo merumuskan tiga pilar utama bagi kegiatan mengikat makna. Pilar pertama, membangun ruang privat. Bagi Hernowo, agar kegiatan mengikat makna benar-benar dapat kita jalankan secara mendekati sempurna, kita harus membangun “ruang privat” sebagai tempat menjalankan kegiatan membaca dan menulis secara terpadu dan saling mendukung. “Ruang privat” adalah sebuah tempat yang di tempat itu hanya ada diri kita—yang lain, tidak ada sama sekali.

Di “ruang privat” milik kita tersebut, kita menjadi pengendali-mutlak seluruh kegiatan kita. Kitalah yang menentukan buku apa yang ingin kita baca. Ketika kita bersiap-siap untuk memulai menulis, kita jugalah yang menentukan mau menulis apa, memulai dari mana, dan menggunakan apa, serta berakhir seperti apa. Jadi, dalam ruang privat ini, kita memiliki kebebasan mutlak dalam membaca dan menulis. Kita memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan buku bacaan yang bisa membangkitkan minat baca kita. Begitu juga, kita mempunyai kebebasan mutlak dalam menulis tanpa terikat kepada konsep, teknik, dan aturan apapun yang diciptakan oleh orang lain.

Kendati demikian, kita tetap tidak dapat membangun ruang privat secara sembarangan. Paling tidak ada dua pijakan utama dalam membungun ruang privat agar aktivitas mengikat makna yang telah kita lakukan benar-benar bermakna yaitu selfish dan AMBAK. Selfish di sini dalam arti mementingkan diri sendiri secara positif, bukan negatif. Dengan bersandar pada definisi Thomas J. Leonard, Hernowo membawa kata selfish untuk mengaktualisasikan potensi menulis kita dalam ruang privat. Ketika belajar mengikat makna dalam ruang privat, kita menerapkan kredo: Menulis Untuk Diri Sendiri (MUDS). “Untuk dapat menerapkan konsep ‘Menulis Untuk Diri Sendiri’, Anda harus mempersepsi bahwa Anda sendirian di muka bumi ini dan Anda harus menghargai bahwa Anda memiliki potensi” tegas Hernowo.

Jadi selfish bukan mengarahkan kita untuk egoistik atau hanya mementingkan diri kita sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Selfish yang kita praktikkan ketika kita menulis untuk keperluan menyingkap dan menjelajah diri kita masih berada di ‘ruang privat’ (MUDS), bukan berada di ‘ruang publik’ (menulis untuk orang lain). Ketika menyingkap dan menjelajah diri kita, lewat kegiatan menulis, kita seakan-akan sendirian di muka bumi. Kita hanya berhadapan dengan diri sendiri. Kita benar-benar hanya mempedulikan diri kita sendiri. Kita pun benar-benar jujur dan terbuka terhadap diri kita sendiri.

“Anda perlu selfish,” tegas Hernowo, “karena Anda ingin benar-benar tahu potensi dan kapasitas diri Anda sebelum Anda berhubungan dengan orang lain atau menulis di ‘ruang publik’. Anda perlu selfish karena Anda tidak boleh menutup-nutupi diri Anda. Dan, ini yang paling penting, Anda perlu selfish karena Anda perlu menggali orisinalitas atau keunikan diri Anda. Hanya dengan selfish-lah Anda dapat melalui langkah ketiga dengan hasil yang sangat memuaskan, yaitu mengungkapkan diri Anda yang orisinal, diri Anda yang unik, diri Anda yang tidak sama dengan diri-diri lain yang ada di sekitar Anda”.

Pijakan selanjutnya adalah AMBAK. AMBAK merupakan akronim dari “Apa Manfaatnya Bagiku?”, yang digali oleh Hernowo dari buku fenomenal, Quantum Learning. Menurut Hernowo, manfaat yang harus kita cari ketika menggunakan AMBAK adalah manfaat untuk diri pribadi kita. Kita harus benar-benar dapat merasakan manfaat yang menurut kita memang akan, sedang, dan (ini yang penting) sudah kita dapatkan ketika kita melakukan sesuatu. Tujuan AMBAK, pada akhirnya, memang ke arah yang lebih bersifat mendorong, yaitu bagaimana manfaat tersebut mampu menggugah diri kita untuk melakukan sesuatu hingga menjadi sebuah kebiasaan baik (good habit).

AMBAK juga kemudian dikaitkan dengan menciptakan minat, yakni cara yang sangat baik untuk memberikan motivasi pada diri kita demi mencapai tujuan kita. Ketika menggunakan AMBAK, kita sesungguhnya sedang mencari jenis motivator-ampuh dan mempertanyakan minat kita akan sesuatu yang akan, sedang, dan telah kita kerjakan. AMBAK memang tidak dapat dilepaskan dengan motivasi. Ketika kita ingin melakukan kegiatan membaca dan menulis, kita butuh motivasi. Tanpa motivasi yang kuat, kita akan merasakan kebosanan dan keletihan ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Motivasi yang dimunculkan oleh penggunaan AMBAK terkait dengan seberapa besar manfaat yang akan kita peroleh ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis.

Pilar kedua, menyelenggarakan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan. Bagi Hernowo, membaca bukan sekadar membuat diri kita kaya akan pengetahuan. Membaca juga bukan sekadar meluaskan wawasan kita. Bahkan membaca tidak harus berhenti hanya untuk keperluan studi, misalnya, membuat skripsi atau karya tulis ilmiah yang lain. Membaca lebih dari itu. Membaca, seperti kata Iqbal, menjadikan diri kita sebagai “tenaga kreatif, ruh yang membumbung tinggi, yang dalam bergerak maju, bangkit dari satu keadaan menuju keadaan yang lain”. Atau membaca akan membuat diri kita, sebagai manusia, dapat ”menyelidiki kebenaran”.

Mengapa membaca dapat membuat diri kita mengalami proses pertumbuhan yang kian baik dan kreatif? Sebab kata Bapak Filsuf Modern Barat, Rene Descartes, “Membaca buku yang baik itu bagaikan mengadakan percakapan dengan para cendekiawan yang paling cemerlang dari masa lampau”. Sedangkan kata Jordan E. Ayan, ketika kita dapat mengalami sebuah kegiatan membaca yang dapat dikatakan sebagai pengalaman membaca yang terbaik, pada hakikatnya adalah sebuah siklus hidup mengalirnya ide seorang pengarang ke dalam diri kita. Kemudian setelah itu, ide kita mengalir balik ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda yang kita hasilkan, pekerjaan yang kita lakukan, dan orang-orang yang terkait dengan kita.

Akan tetapi yang amat menakjubkan, bagi Hernowo kegiatan membaca juga merupakan sebentuk kasih sayang Tuhan yang paling awal sekali diberikan kepada Rasulullah Saw, dan tentu saja, kepada kita semua sebagai hamba-Nya dan pengikut Rasulullah Saw. Tanpa membaca, ada kemungkinan kita tidak akan mampu melebarkan diri kita ke arah yang lebih luas. Tanpa membaca, diri kita juga berhenti bergerak, tidak dapat ke mana-mana. Memang tubuh kita dapat bergerak, menjelajah bumi dan langit. Namun, sejatinya, jiwa kita diam tanpa kita mau dan mampu membaca. Membaca akan menggerakkan tubuh dan juga jiwa kita. Membaca membantu totalitas diri kita melewati lapis demi lapis peristiwa. Dan sepertinya, hanya dengan membacalah diri kita dapat meraih “al-akram” sebagaimana dijanjikan Tuhan dalam ayat ketiga surah Al-‘Alaq, “Iqra’ wa rabbukal akram”.

Meskipun demikian, kegiatan membaca harus disinergikan dengan kegiatan menulis. Mengapa kita harus memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan? Dalam karya cemerlangnya, Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, Hernowo mengilustrasikan bahwa kegiatan membaca dan menulis itu bagaikan sepasang suami-istri yang, dalam kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer. Membaca akan menjadi kegiatan yang efektif apabila disertai menuliskan hal-hal yang terbaca. Begitupun sebaliknya, menulis akan menjadi kegiatan yang efektif apabila didampingi oleh membaca. Dua aktivitas intelektual ini, yakni membaca dan menulis, memang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Namun, menggabungkan kedua aktivitas tersebut secara bersamaan dan saling mendukung belum tentu dapat dilakukan oleh setiap orang.

Sampai di sini kita harus berhenti sejenak. Ada sesuatu yang menarik di sini. Kita juga biasanya mengaitkan kegiatan membaca dan menulis. Tapi lazimnya kita hanya menekankan satu aspek: kegiatan menulis harus dibarengi dengan kegiatan membaca agar kita mendapatkan ide dan gagasan yang segar dan baru, serta agar tulisan kita mampu menyuguhkan perspektif yang kaya. Kita jarang menekankan bahwa kegiatan membaca harus pula dibarengi dengan kegiatan menulis.

Disinilah menariknya konsep mengikat makna Hernowo: membaca dan menulis tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Ketika membaca, membaca apa saja khususnya buku, maka kita harus menulis (mengikat makna) apapun saja yang telah kita dapatkan dari buku tersebut dalam bahasa kita sendiri secara personal. Begitu pun sebaliknya, kegiatan menulis kita harus diiringi dengan kegiatan membaca supaya kita mudah mengembangkan gagasan dan materi yang ingin kita tulis. Bahasa tulis kita semakin berkualitas, serta kian mudah bagi kita dalam mengeluarkan ide-ide yang konstruktif.

Pilar ketiga, berusaha sekuat daya untuk meraih makna ketika melakukan kegiatan membaca dan menulis. Upaya meraih makna ini mencakup aspek yang sangat luas, baik mengenai diri sendiri dengan segala aktivitas yang mengiringinya, buku-buku yang kita baca, maupun fenomena kehidupan itu sendiri.

Dalam meraih makna tentang diri sendiri, kita bisa menjelajahi potensi unik diri kita masing-masing. Dengan kegiatan mengikat makna, lambat laun kita dapat ‘meledakkan’ diri potensial kita; Kita akan semakin dekat dengan diri sejati kita; Dengan diri autentik kita masing-masing. Kita mungkin merasa tidak memiliki keunikan diri potensial yang layak kita singkap dan promosikan. Tapi merujuk kepada Howard Gardner, setiap kita pasti mempunyai keunikan diri potensial atau diri yang cerdas yang patut kita jelajahi.

Jadi upaya meraih makna tentang diri sendiri dapat kita gunakan untuk memunculkan keunikan dan kehebatan kita yang berbeda dengan orang lain. Dengan upaya meraih makna diri sendiri, kita akan menjadi percaya terhadap diri sendiri, bahwa apa yang kita miliki memang amat pantas untuk kita tampilkan; Karena kita sedang menulis skenario kehidupan kita yang unik dan berbeda dengan siapapun.
Meminjam kata-kata Viki King: “Anda sedang menulis skenario yang tidak mungkin ditulis oleh orang lain. Sebuah cerita yang berkobar dalam diri Anda adalah skenario yang ‘komersial’. Anda tidak menjadi penulis kelas dua di bawah siapa pun. Anda menjadi yang terbaik bagi diri Anda sendiri. Anda memiliki satu hal yang layak jual sebagai seorang penulis yakni sudut pandang Anda. Sudut pandang Anda adalah sebuah cara unik untuk melihat dunia berdasarkan seluruh pengalaman Anda dan bagaimana Anda merasakan dunia seputar Anda.”

Itulah sekilas contoh bagaimana kita bisa menggali makna diri kita sendiri. Sedangkan meraih makna dari buku-buku yang kita baca, maka kita harus membaca buku-buku yang benar-benar menyenangkan minat kita dan mampu menggerakkan pikiran kita. Menemukan buku-buku yang menyenangkan minat kita dan mampu menggerakkan pikiran kita, menjadi sangat penting agar kegiatan meraih makna melalui kegiatan menulis menjadi ringan bagi kita. Sebaliknya, ketika kita memaksakan diri membaca buku-buku yang tidak menarik minat kita dan tidak menggerakkan pikiran kita, niscaya pembacaan kita bukan hanya membuat kita tidak bergairah, tapi juga tidak mendorong kita untuk mengikat maknanya; Kita tidak mendapatkan makna dari buku-buku tersebut.

Dengan alasan inilah, Hernowo menyarankan agar ketika kita ingin mengawali menekuni kegiatan mengikat makna yang berkelanjutan dan memberdayakan diri kita, maka menemukan buku-buku yang menarik minat kita menjadi syarat mutlak. Mengapa demikian? Karena manfaat langsung dari membaca buku-buku yang menyenangkan adalah sel-sel otak (neuron) kita akan bergerak aktif dan berhubungan satu sama lain, sehingga pikiran kita akan menyala. Bukan hanya itu, manfaat selanjutnya adalah kita akan termotivasi dan terinspirasi secara langsung untuk menuliskan hasil-hasil renungan yang kita baca. Saat itulah, secara tidak langsung kita sudah mendapatkan makna dengan membaca buku-buku yang menyenangkan dan menggerakkan pikiran kita.

Selanjutnya menggapai makna dari semesta pengalaman hidup yang kita rasakan. Manakah yang lebih luas antara khazanah diri kita, buku, dan panorama kehidupan? Dalam tilikan Hernowo, buku dapat menyimpan kekayaan diri dan kehidupan. Selayaknya buku lebih luas daripada diri dan kehidupan. Namun, buku sifatnya statis sementara diri dan kehidupan terus berkembang. Benar, sebuah buku kadang dapat memperkaya dan mengembangkan pikiran. Hanya diri dan kehidupan yang nyatalah yang dapat membuat seseorang dapat belajar dari pengalaman. Akan tetapi, diri dan kehidupan adalah juga “buku” yang terbuka yang menyediakan bahan-bahan utama untuk sebuah buku.

Kendati demikian, hubungan antara diri, buku, dan kehidupan sesungguhnya bersifat resiprokal yakni saling mewarnai satu sama lain yang berpusat pada diri kita sendiri. Bila kita mampu melakukan proses mengikat makna yang benar-benar baik, subtil, dan autentik terhadap pustaka kehidupan, niscaya kita akan menjalani jenis kehidupan yang amat kaya; Kita dapat merasakan jenis kehidupan seperti apapun yang kita dambakan, sebagaimana dituliskan dengan begitu manis oleh Hayakawa: “Dalam makna yang sungguh-sungguh, sebenarnya orang yang membaca kepustakaan yang baik, telah hidup lebih daripada orang-orang yang tak mau dan tak mampu membaca. Adalah tidak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika kita bisa membaca, kita bisa menjalani berapapun banyak dan jenis kehidupan seperti yang kita inginkan”. Kalau itu mampu kita lakukan, kita telah menggenggam salah satu makna kehidupan yang hakiki.

Lalu apa hasil puncak ketika kita telah mengamalkan mengikat makna dengan ketiga pilarnya itu? Bagi seorang yang telah menjadi sang pengikat makna, telah menjadi seorang penulis, maka hasil puncak itu adalah kualitas produktivitas karya yang tak pernah berkesudahan. Hernowo membuka rahasianya ke hadapan kita semua:

“Sahabat, saya ingin buka rahasia saya di sini bahwa hampir semua buku yang saya tulis merupakan hasil konkret dari kegiatan saya menerapkan konsep “mengikat makna”. Buku-buku saya adalah buah dari kegiatan membaca yang kemudian hasil-hasil dari membaca itu saya tuliskan. Saya akan mengalami kesulitan menulis jika saya tidak mengawalinya dengan menuliskan materi-materi buku yang saya baca. Dalam bahasa lain, saya akan lebih mudah menulis apabila sebelum menulis saya mengawalinya dengan membaca. Saya juga mengalami sebuah kehampaan atau menjalani kegiatan yang sia-sia apabila usai membaca, saya kemudian tidak mencoba memaksakan diri saya untuk menuliskan hasil-hasil kegiatan membaca saya. Ketika membaca, saya memang mendapatkan pengetahuan baru, wawasan baru, dan sesuatu yang sama sekali belum pernah saya ketahui. Namun, hal-hal baru yang saya peroleh ketika membaca itu akan musnah ditelan waktu jika tidak saya tuliskan atau ikat”.

Dari paparan tentang konsep Mengikat makna di atas, saya menemukan keunikan Hernowo yang lain yakni kepiawaiannya dalam menggabungkan antara pendekatan metodologis dengan pendekatan psikologis dalam menggulirkan konsep mambaca dan menulisnya. Hernowo begitu fasih merangkai kedua pendekatan tersebut dalam satu tarikan nafas spirit literasi; Antara pendekatan metodologis dengan pendekatan psikologis tak terpisahkan satu dengan yang lain. Tatkala Hernowo menguraikan konsep-konsep literasi yang bersifat metodologis, di dalamnya kita juga merasakan sentuhan yang bersifat psikologis: menyuntikan dorongan semangat, motivasi, dan gairah kepada kita tentang menulis. Dan ketika memaparkan konsep-konsep yang bersifat psikologis, di tengah-tengahnya kita juga menemukan hal-hal yang bersifat teknis-metodologis: menayangkan secara langsung contoh-contoh praktis kepada kita mengenai konsep-konsep menulis.
Lagi-lagi dalam hal ini, kita mesti mengakui keistimewaan konsep-konsep literasi yang disuguhkan oleh Hernowo.

Setelah melihat konsep-konsep literasi yang digulirkan Hernowo, mari kita menengok kembali sekilas tentang sosok Hernowo itu sendiri. Izinkan saya memotret figur Hernowo berdasarkan pembacaan dan pengalaman saya sendiri yang sangat personal dan subjektif. Dalam pandangan saya, Hernowo adalah orang yang sangat murah hati, ikhlas dalam menyampaikan ilmu literasi, sekaligus benar-benar menjadi role model atau living example, yakni benar-benar menjadi teladan hidup dari semua yang diucapkan dan dituliskannya.

Pengalaman pertama, pada tahun 2013 saya membaca buku Remy Sylado yang berjudul Jadi Penulis? Siapa Takut! Saya terinspirasi dengan bahasanya yang renyah dan sangat mengalir, sehingga mudah sekali dipahami. Saya ingin mengadakan bedah buku Remy Sylado itu. Tiba-tiba saya teringat Pak Hernowo, tapi budget-nya sangat tipis. Saya memberanikan diri untuk sms dengan terus terang:
“Pak Her, saya mau mengadakan bedah buku, Jadi Penulis?Siapa Takut! karya Remy Sylado untuk mahasiswa. Saya ingin mengundang Pak Her untuk menguraikan isi buku tersebut kepada mahasiswa secara inspiratif dan transformatif. Tapi, mohon maaf sebelumnya Pak Her, walaupun semua transportasi dan akomodasi bisa saya tanggung, tapi untuk honor Pak Her amat terbatas; maaf honornya tidak memenuhi standard, Pak Her”

Apa jawab beliau?
“Wah, saya senang sekali diberi kesempatan berbagi lagi dengan mahasiswa STAIN Bangka. Tidak usah memikirkan honor Pak Zap; Diberi kesempatan untuk berbagai sedikit wawasan kepada mahasiswa saja sudah membuat saya bahagia; sudah membuat saya puas. Tentukan jadwalnya kapan, biar saya bisa menyesuaikan jadwal saya. Terima kasih”.

Membaca jawaban itu, saya terharu. Ada keikhlasan dan kerendahan hati dalam jawaban itu. Akhirnya bedah buku pun jadi dilaksanakan dengan sangat hidup dan menarik oleh Hernowo sebagai pembedah utama.

Pengalaman kedua, setelah menyimak berbagai tulisan Hernowo tentang menulis secara bebas dan mengalir dari buku Natalie Goldberg, Alirkan Jati Dirimu, Peter Elbow, Writing Without Teachers, dan James Pennebaker, Ketika Diam Bukan Emas, yang sudah diterjemahkan oleh penerbit MCL, Indonesia Publishing, dan Mizan, saya memburu ketiga buku tersebut ke berbagai toko buku. Tapi saya tidak mendapatkan juga. Saya memberanikan diri lagi menghubungi Pak Hernowo. Saya bilang kepada beliau bahwa saya sudah mencari ketiga buku tersebut ke berbagai toko buku, sampai beberapa toko buku wilayah Jogja tapi tidak mendapatkannya juga. Lalu saya meminta kepada beliau lewat sms: ”Maaf sebelumnya Pak Her, bisakah saya minta dikirimkan fotokopi-nya kalau ada. Nanti saya ganti semua ongkos fotokopi dan ongkos kirimnya”.

“Baik, Pak Zap. Nanti saya fotokopi-kan dan dalam waktu beberapa hari ke depan, insya’Allah saya kirim segera bukunya. Gak usah diganti fotokopi dan ongkirnya. Biar saya tanggung semuanya. Saya sangat senang mendengar Pak Zap mau membaca buku Goldberg, Peter Elbow, dan Pennebaker itu”, Jawab sms beliau.

Dan benar, beberapa hari kemudian tiga buku itu sampai ke tangan saya. Lagi-lagi saya amat terharu dengan kemurahan hatinya. Beliau sudah menjadi orang hebat dan besar, tapi masih begitu peduli dengan saya yang bukan siapa-siapa.

Pengalaman ketiga, kalau tidak salah ingat, pada awal tahun 2016 Pak Hernowo diundang memotivasi tentang kegiatan literasi kepada para siswa/I pada salah satu SMAN di Pangkalpinang, Bangka. Sehari sebelum tiba di Pangkalpinang, beliau menghubungi saya lewat WhatsApp:
“Pak Zap, besok saya akan memberi materi tentang menulis di SMAN 1 Pangkalpinang Bangka. Esok harinya, saya pulang ke Bandung sore hari jam 15.00 WIB. Bisakah paginya saya berbagi dengan sebagian mahasiswa Pak Zap? Jangan memikirkan honor, pokoknya semuanya gratis. Saya sangat bahagia ketika bisa membagikan sedikit ilmu yang saya miliki. Kan sayang Pak Zap, kalau pagi sampai siang itu kosong kegiatan saya”.

Saya tersentak kaget dengan isi WA itu! Saya berpikir bagaimana caranya supaya bisa mengumpulkan sedikit mahasiswa, entah cuma 100 atau 50 orang. Tapi karena berbagai kegiatan dan waktunya agak mepet, saya tidak bisa mengumpulkan mahasiswa saya. Dengan berat hati, saya balas WA beliau dengan memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak memungkinkan kondisinya untuk mengadakan seminar dengan mahasiswa saya.

“Wah, sayang sekali ya Pak Zap? Padahal saya nganggur. Ya udah, semoga lain waktu kita bisa bertemu dan saling berbagi lagi. Terima kasih, salam untuk kawan-kawan semua”, respons beliau.

Lagi-lagi saya tersentak dan terharu menyimak jawaban tersebut. Bayangkan, ketika ada waktu kosong, beliau bukan menggunakannya untuk jalan-jalan ke beberapa pantai yang amat indah di Bangka misalnya. Tapi beliau justru memikirkan bagaimana caranya agar dapat membagikan ilmunya kepada orang lain, walaupun tanpa honor sekalipun; walaupun tanpa dibayar sedikitpun. Saya terharu dengan semangat berbagi konsep literasi dan keikhlasannya.

Selanjutnya, saya melihat sosok Hernowo sebagai living example, teladan yang benar-benar hidup dari semua konsep literasi yang diajarkannya, baik melalui ucapan maupun tulisan-tulisannya yang begitu indah di berbagai karyanya. Ketika beliau mengajarkan agar kita mencintai ilmu pengetahuan, beliau menjadi orang pertama yang menjadi contoh sebagai orang yang begitu mencintai ilmu pengetahuan. Sewaktu beliau menuturkan kepada kita agar rajin membaca, beliaulah orang pertama yang amat rakus membaca berbagai macam genre buku, baik agama, psikologi, sosial-politik, budaya, motivasi, pengembangan diri, pemikiran, tafsir, maupun buku-buku yang berhubungan dengan literasi itu sendiri.

Ketika mengajarkan tentang berbagai konsep-konsep menulis dari para penulis kondang dunia, beliau menampilkan diri secara langsung dengan menulis setiap hari dan menghasilkan puluhan buku-buku inspiratif-transformatif. Dan tatkala menyarankan kita semua untuk rajin belajar, beliaulah orang yang tidak pernah melewati hari-harinya tanpa belajar; tanpa membaca dan menulis; tanpa mengikat makna. Bahkan diujung penghabisan nafasnya, beliau masih tetap belajar. Sungguh beliau adalah seorang pembelajar abadi.

Mungkin itu yang menjelaskan mengapa materi-materi literasi yang beliau ucapkan dan tuliskan sampai dan diterima oleh masyarakat luas. Meminjam konsep Syekh Amin Al-Kurdi dalam karya sufistiknya, Tanwirul Qulub: ‘al-kalam idza khoroja minal qolbi waqooa fil qolbi; waidza khoroja minal lisan kaana hadduhul aadzan”, “Kalimat atau konsep apabila keluar dari lubuk hati, maka ia akan sampai ke dalam hati orang-orang yang menyimaknya; Tapi bila konsep itu hanya keluar dari lisan semata, maka ia hanya akan sampai pada telinga orang-orang yang menyimaknya, tidak bisa memberi pengaruh dan pembawa perubahan”. Sebab beliau berbicara berdasarkan pengalamannya langsung dan mengalir dari ruang kalbunya. Sebab, Hernowo telah mewakafkan dirinya dalam dunia literasi untuk masyarakat Indonesia.

Rahasia tersebut juga dapat menjelaskan judul tulisan yang saya buat ini yakni, Hernowo: Penggerak Literasi Bangsa. Setelah melakukan pengamatan secara umum, saya menemukan jejak pengaruh seorang Hernowo ternyata cukup luas dan besar bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh Hernowo dalam dunia literasi bukan cuma dalam konteks wilayah pulau Jawa, tapi juga sampai ke wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan mungkin sampai ke Irian Jaya.

Saya melihat jejak pengaruh inspiratif Hernowo dalam dunia membaca dan tulis-menulis bukan hanya mewarnai masyarakat umum, tapi juga mampu menginspirasi para cerdik cendekia, para guru, dan dosen. Hernowo bukan saja menggerakkan para akademisi level sarjana (Strata Satu) dan Magister dalam dunia literasi, tapi juga meniupkan inspirasi bagi para Doktor bahkan sebagian profesor. Dan seluruh konsep-konsep Hernowo yang berhubungan dengan konsep literasi tidak hanya menyentuh sebagian cendekiawan yang berada di Perguruan-perguruan Tinggi Umum dan Swasta, tapi juga menyentuh sebagian kalangan intelektual yang berada di Perguruan-perguruan Tinggi Islam dan Negeri, seperti UIN, IAIN, dan STAIN.

Dalam tataran tertentu, Hernowo telah memberi kontribusi bagi munculnya penulis-penulis prolifik dalam berbagai genre; baik fiksi seperti novel dan cerpen misalnya, maupun non-fiksi, yakni dalam bidang keagamaan, pemikiran, sosial, budaya, politik, pendidikan atau ranah literasi itu sendiri. Bahkan dengan spirit literasi yang diinisiasi oleh Hernowo, ternyata mampu menginspirasi cukup banyak bermunculan gerakan literasi yang dimotori oleh anak-anak muda yang kreatif dalam menulis baik dari kalangan masyarakat umum, maupun kalangan kaum terpelajar, baik yang digerakkan oleh para guru di sekolah-sekolah mereka, maupun oleh kaum cendekiawan, intelektual, dan dosen di kampus-kampus yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena itulah, tidak berlebihan jika tulisan ini bertajuk, Hernowo: Penggerak Literasi Bangsa; Penggerak Literasi Masyarakat Indonesia.

Akhirnya, selamat jalan Pak Her. Insya Allah namamu abadi, karena engkau telah menyemaikan, menorehkan, dan menyalakan aksara kehidupan ke dalam jiwa-jiwa kami. Semoga Tuhan menyambut dirimu dengan “senyum kebanggaan”, sebab salah satu masterpiece-Nya telah benar-benar mampu mengaktualisasikan potensi yang telah Dia titipkan dalam sebuah ranah paling mulia dan agung, yang menjadi titah sakral pertama-Nya kepada umat Islam dan seluruh umat manusia yakni perintah Iqro’, Amin.