Gus Zaki dan Menjaga Tradisi Literasi Pesantren

  Oleh:  Mukani* Dunia pesantren dan PWNU Jawa Timur kembali kehilangan sosok kiai muda panutan. Dialah KH. Ahmad Zaki Hadziq, a…

 
Dunia pesantren dan PWNU Jawa
Timur kembali kehilangan sosok kiai muda panutan. Dialah KH. Ahmad Zaki Hadziq,
akrab disapa Gus Zaki, wafat Rabu (1/7) karena terkena demam berdarah. Gus Zaki
tidak hanya menjadi ketua Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jawa Timur. Namun
juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Masruriyah Tebuireng.
Dari jalur ibu, Gus Zaki adalah
cucu pendiri NU Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Nyai Chadijah, ibu
kandungnya, adalah putri ketiga Hadratussyaikh dari istri Nyai Masruroh binti
KH. Hasan Muchyi, dari Pondok Salafiyah Kapurejo Pagu Kediri.
Dari jalur bapak, Gus Zaki
adalah putra ketiga KH. Muhammad Hadziq Mahbub asal
daerah Ketanggungan Brebes Jawa Tengah. Kiai Hadziq adalah
alumni Pondok Gontor Ponorogo yang melanjutkan ke Pondok Lirboyo Kediri dan berlanjut
tabarrukan ke Pondok Tebuireng
Jombang. Dari pernikahan dengan Nyai Chodijah, Kiai Hadziq memperoleh amanah
tiga putra, yaitu KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq (Gus Ishom, almarhum tahun
2003), KH. Fahmi Amrullah Hadziq (Gus Fahmi, pengasuh Pondok Tebuireng Putri)
dan Gus Zaki.
Egaliter-Humoris
Saya pertama kali mengenal
sosok almarhum Gus Zaki pada pertengahan tahun 2004 silam. Tepatnya saat saya
hendak menyusun tesis tentang konsep pendidikan menurut Hadratussyaikh, kakek
beliau. Saya sowan untuk memperoleh semua referensi kitab dan risalah yang
ditulis Hadratussyaikh.
Saat itu, pada sowan pertama,
saya diberi banyak kitab dan risalah karya Hadratussyaikh. Bentuknya masih
terpisah, belum dijadikan satu jilid besar dalam Irsyadus Sari seperti sekarang. Dan, semuanya diberikan secara
gratis.
 
Pada pertemuan berikutnya, saya
memang sering sowan ke beliau. Ini karena beberapa kitab dan risalah karya Hadratussyaikh
perlu saya konfirmasi validitasnya. Terlebih Gus Ishom, sang editor kitab dan
risalah karya Hadratussyaikh, sudah wafat satu tahun sebelumnya. Dalam berbagai obrolan, Gus
Zaki menyebut dirinya “hanya meneruskan” usaha kakaknya (Gus Ishom) itu.
Terutama dalam menerbitkan ulang beberapa kitab dan risalah karya Hadratussyaikh.
Dan, di kemudian hari, maka terbitlah kumpulan kitab Hadratussyaikh yang
berjudul Irsyadus Sari itu. Bahkan di
bagian belakang, Gus Zaki menambahkan catatan tentang biografi sang editor, Gus
Ishom. 
Setelah tesis saya diujikan di
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, saya sowan lagi ke Gus Zaki. Tujuannya
untuk mengucapkan terima kasih dan memberikan satu jilid tesis asli saya ke Gus
Zaki. Saat itu, beliau menyanggupi untuk menerbitkan tesis saya itu menjadi
sebuah buku. Bahkan siap memintakan kata pengantar kepada KH. Salahuddin Wahid
(Gus Solah), pengasuh Pesantren Tebuireng saat itu. Namun karena beberapa hal,
akhirnya tesis saya diterbitkan oleh Penerbit Kalimedia, Yogyakarta.
Beberapa kali sowan itu saya
menyadari bahwa Gus Zaki adalah sosok egaliter. Mudah bergaul dengan siapa
saja. Obrolan yang dibahas juga langsung mengena inti pokok persoalan. Tidak
berbelit muter-muter kesana kemari.
Di sela obrolan itu, sering
diselipkan guyonan khas dunia pesantren. Tentu, siapa pun yang diajak ngobrol
pasti akan tertawa terkekeh. Ya, obrolan itu tidak sekedar guyon untuk
menyegarkan suasana. Namun pasti ada nilai yang hendak disampaikan dari guyonan
itu.
Ahmad Zainuddin (Gok Dien),
pengelola PKBM Ya Lathif Jombang, adalah salah satu teman akrab almarhum Gus
Zaki. Pria yang juga ketua PC LazisNU Jombang ini makin akrab dengan almarhum
saat Gus Zaki menjabat wakil ketua 7 PCNU Jombang. Tugas utamanya adalah
mengkoordinasikan antar banom dan lembaga.
Gus Zaki, lanjutnya, diakui
sering bertandang ke rumahnya. Terlebih saat istrinya memasak sayur rebung
(bambu muda). Yang dibahas biasanya adalah hal-hal ringan. Meski kadang juga
serius. Mulai amalan hizb, guyonan santri hingga pengembangan lembaga
pendidikan.
Sosok Gus Zaki diakui sebagai
kiai muda yang mudah menerima masukan dari orang lain. Terutama bagi
pengembangan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Baik bagi pondok pesantren
ataupun sekolah/madrasah yang baru dirintisnya.
Di lingkup NU, Gus Zaki
dikisahkan sebagai sosok pengurus yang siap berjuang bersama. Sesuai tugas yang
diamanahkan kepadanya. Tidak hanya perjuangan lewat pemikiran, waktu dan
tenaga. Bahkan, biaya yang dibutuhkan sering ditanggung atas nama pribadi. 
Ya, sosok almarhum Gus Zaki
adalah tipe kiai muda yang merakyat. Terlebih dengan para kader NU yang usianya
terhitung masih di bawahnya. Ini membuktikan bahwa Gus Zaki tipe kader yang tidak
elitis. Tidak mengherankan jika kemudian beliau menjadi ketua RMI PWNU Jawa
Timur.
Pustaka
Warisan
Pada akhir tahun 2019 kemarin,
saya kembali terlibat intens dengan sosok almarhum Gus Zaki. Ini karena saya
sedang menulis biografi singkat sosok Gus Ishom. Dari beberapa kali wawancara
dengan beliau, saya mendapatkan gambaran bagaimana Gus Ishom mengumpulkan
kembali naskah yang ditulis Hadratussyaikh. Setelah itu, naskah diterbitkan
lagi. Bendera yang digunakan adalah Maktabah al-Turats al-Islami. Penerbitan
yang setelah Gus Ishom meninggal dunia, diteruskan pengelolaannya oleh Gus
Zaki.
Tidak itu saja. Gus Zaki juga
dengan runtut dan detail mampu menceritakan “beberapa keistimewaan” yang
dimiliki almarhum Gus Ishom. Karena berbagai kejadian itu hanya beliau berdua
yang menjumpai. Banyak informasi yang saya peroleh dari beberapa kali wawancara
kepada Gus Zaki.
Keinginan Gus Zaki untuk
meneruskan usaha Gus Ishom dalam menerbitkan ulang karya-karya Hadratussyaikh perlu
diapresiasi. Tidak banyak sosok yang mau dan mampu bergelut dalam tradisi
literasi. Terlebih di dunia pesantren yang notabene juga menjadi sebuah lembaga
pendidikan Islam.
Pengelolaan dalam publikasi
berbagai karya ulama Nusantara memang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Ini
sudah dibuktikan oleh Gus Zaki terhadap berbagai karya sang kakek. Meski belum
sempurna, hal itu setidaknya sudah dirintis Gus Ishom. Dan, kemudian
dilanjutkan oleh sang adik, Gus Zaki.
Kini, Gus Zaki sudah menyusul
sang ayah dan sang kakak. Dunia literasi di Tebuireng, umumnya di kalangan
pesantren, harus tetap berdiri dan berkembang. Ini harus menjadi perhatian
semua stakeholders pesantren. Agar
pesantren tidak hanya sebagai institusi pendidikan asli Indonesia. Tapi juga
berkontribusi nyata dalam menggerakkan tradisi literasi. 
Selamat jalan Gus Zaki.
Perjuanganmu untuk menjaga eksistensi dan mengembangkan tradisi literasi semoga
dicatat sebagai amal sholih Panjenengan. Saya yakin Panjenengan sudah berkumpul
dengan orang-orang soleh dari dzuriyah Pesantren Tebuireng di alam barzah sana.
Kami berdoa, semoga Gusti Allah Swt memberikan yang terbaik bagi Panjenengan.
Amin.
*Penulis adalah pengurus Divisi Riset dan Data LTN
PWNU Jawa Timur dan dosen STAI Darussalam Krempyang Nganjuk.

https://www.halaqoh.net/2020/07/gus-zaki-dan-menjaga-tradisi-literasi.html