Gus Solah, Kiai dan Penulis

Oleh:  Mukani* ( Mengenang 100 Hari Wafatnya KH. Salahuddin Wahid) Secara pribadi, saya mengenal sosok almarhum KH. Salahuddin Wa…

(Mengenang 100 Hari Wafatnya KH. Salahuddin Wahid)
Secara pribadi, saya mengenal sosok almarhum KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebelum beliau menjadi pengasuh Pengasuh Pesantren Tebuireng. Tepatnya sekitar awal tahun 2006. Saya masih ingat saat itu hendak dikenalkan ke beliau oleh almarhum KH Luqman Hakim, kiai saya di Pesantren Seblak. Agendanya tunggal, menjajaki kemungkinan diterbitkannya hasil tesis saya diterbitkan menjadi buku.
Kiai saya tertarik karena tema tesis saya tentang pemikiran pendidikan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Dawuh beliau, ada sesuatu yang barus di tesis itu. Karena selama ini penelitian tentang konsep pendidikan menurut Kiai Hasyim hanya berdasar kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim yang dikarangnya. Namun di tesis saya itu merujuk 23 kitab dan risalah karya Kiai Hasyim.
Hari yang ditunggu tiba. Saya diminta membawa dua eksemplar hasil tesis. Siang hari, saat itu saya dibonceng naik Vespa jadul kiai saya sowan ke ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng. Lokasinya di utara masjid pondok Tebuireng. Kebetulan saat itu ada kunjungan Menteri Kehutanan MS Kab’an. 
Sambil menunggu kedatangan Menhut, di ruang tamu ndalem itu saya diperkenalkan ke KH. Yusuf Hasyim (Pak Ud), pengasuh Pesantren Tebuireng kala itu. Saat itu, memang di ruang tamu hanya kami bertiga. Setelah menyampaikan pengantar sekedarnya, saya diminta memaparkan garis besar dari isi tesis itu. Yang barunya di mana dari penelitian ini? 
Saya menyampaikan point-point penting hasil penelitian tesis ini hanya sekitar sepuluh menit. Pak Ud tertarik dengan isi tesis saya. Kemudian meminta bentuk cetak jadinya. Setelah membaca sekilas, oleh beliau kemudian diserahkan kepada dua orang yang ada di ruang tamu bagian utara. Dan, saya dan Kiai Luqman diminta Pak Ud untuk berdiskusi dengan kedua orang tersebut.
Terkejutnya saya ketika sampai di ruang tamu bagian belakang itu. Ternyata di situ sudah ada Prof. KH. Ali Musthofa Ya’qub, saat itu imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, dan Gus Solah. Kiai Ali Musthofa adalah teman akrab kiai saya saat masih menjadi santri Tebuireng. Sedangkan Gus Solah sama dengan Kiai Luqman juga masih sesama dzuriyah Pesantren Tebuireng. 
Kiai saya memulai pembahasan dengan lancar. Sedangkan saya hanya melongo mendengarkan dengan seksama pembicaraan beliau bertiga. Singkat cerita, saya kemudian ditanya tentang info-info awal terkait identitas hingga sampai kenal dengan Kiai Luqman. 
Pembahasan serius kemudian mendiskusikan isi tesis yang baru selesai saya ujikan tahun 2005 di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Masukan-masukan dari Kiai Ali Musthofa dan Gus Solah membuat saya kelabakan. Rasanya jauh lebih sulit saat ujian tesis ketika menghadapi tiga professor. Namun, banyak hal baru yang saya peroleh dari masukan dan kritikan dari beliau berdua.
Saat itu, Gus Solah menawarkan agar tesis saya diterbitkan menjadi buku melalui Penerbit Indonesia Satu di Jakarta yang dikelolanya. Urutannya nomer dua, setelah naskah biografi Pak Zamroni, tokoh pendiri PMII. Sedangkan Kiai Ali Musthofa membawa tesis itu keesokan harinya ke Jakarta. Dan, saya diminta menghubungi beliau via telpon. Saya menelpon beliau baru tanggal 25 April 2006 malam. Catatan-catatan masukan dan kritik dari beliau berdua hingga sekarang masih saya simpan dengan baik.
Pertemuan saya dengan dua tokoh nasional tersebut membuat saya seolah tidak percaya. Saya yang hanya santri Pesantren Seblak kemudian diberi nomor pribadi dari kedua tokoh itu dari kiai saya. Komunikasi melalui telpon pun akhirnya makin intens.
Dalam beberapa urusan, Kiai Luqman kadang menyuruh saya menghadap Gus Solah di Tebuireng, setelah beliau menjadi pengasuh. Secara pribadi, komunikasi saya dengan Gus Solah selanjutnya selalu terkait dengan tulisan dan tulisan. 
Karena lain suatu hal, tesis saya akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Kalimedia Yogyakarta. Ketika saya sowan ke Gus Solah, beliau meminta penjelasan panjang lebar tentang sampul buku itu. “Foto Kiai Hasyim Asy’ari yang dipampang kok tidak seperti biasanya,” ujar beliau memulai dialog.
Saya masih ingat, saat itu saya sowan jam 06.00 pagi. Pesan teman-teman, kalau sowan Gus Solah harus tepat waktu. Jika telat 5 menit saja, dipastikan beliau akan ada agenda lain. Benar saja, pukul 05.50 saya sudah berada di teras masjid pondok bagian utara. Tepat di depan pintu tamu ndalem kasepuhan. 
Persis jam 06.00, beliau membukakan pintu sendiri. Dan, langsung menyapa. “Mas Mukani ya?” sapa beliau. Diskusi itu pun saya gunakan untuk memaparkan asal usul foto, atau tepatnya sketsa, yang dibuat kolega saya dari Pesantren Salafiyah Kapurejo Kediri. Gus Solah pun akhirnya memahami cerita yang saya sampaikan.
Satu hal yang membuat saya bahagia adalah ketika dalam beberapa tulisannya, Gus Solah mengutip hasil penelitian saya. Suatu kehormatan sebagai santri seperti saya meskipun tesisnya tidak jadi diterbitkan di Penerbit Indonesia Satu. Bahkan, dalam tulisannya, Gus Solah menulis hasil tesis saya sebagai suatu laporan terkini yang menemukan banyak hal baru. 
Sebagai santri, saya merasa diapresiasi luar biasa oleh Gus Solah saat menjelang Muktamar NU ke-33 di Jombang. Oleh Gus Solah, Penerbit Pustaka Tebuireng ketika itu diperintahkan untuk menerbitkan puluhan buku baru. Cari naskah-naskah buku terkait NU dan Tebuireng. Dan, salah satunya minta kepada Mas Mukani di Seblak.
Ya, utusan yang menemui saya di sebuah warung kopi menjelaskan mengapa nama saya muncul di daftar calon penulis buku. Akhirnya disepakati bahwa hasil tesis saya dimodifikasi dengan tambahan baru. Isinya nasihat-nasihat dari Kiai Hasyim. Maka kemudian terbit buku baru saya ketika itu berjudul Biografi Singkat dan Nasihat-nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (2015).
Pada akhir tahun 2018, Pesantren Seblak memperingati 100 tahun pendiriannya. Oleh Gus Fardan dan Ning Emma dari Seblak, saya diajak sowan ke Gus Solah. Dalam kepengurusan Yayasan Khoiriyah Hasyim Seblak, Gus Solah adalah Ketua Dewan Pembina. Saat itu janjian dengan beliau jam 4 sore. Tempatnya di ndalem sebelah barat, persis di utara maqbaroh itu. 
Sesuai janji, jam 4 sore pertemuan pun digelar di ruang tamu. Saat itu, beliau ditemani Ibu Nyai Farida. Saya diajak Gus Fardan dan Ning Emma karena ditugasi menulis biografi pendiri Pesantren Seblak. Mauskan-masukan kritis yang disampaikan beliau saat itu masih saya ingat dengan betul hingga sekarang. Bahwa sebagai penulis yang baik, menurut nasihat beliau, akurasi data dan sumber mutlak diutamakan. Tidak sekedar mengutip. 
Keseimbangan dalam menulis ketika terdapat perbedaan pendapat, juga harus dimuat secara proporsional. Bahasa tulis yang digunakan, pesan beliau, juga harus yang segar dan komunikatif. Tidak terlalu kaku. Dan, ini yang paling penting, setiap tulisan harus ada yang baru. Intinya bisa menumbuhkan optimisme bagi para pembaca. Tidak sekedar menulis dan menyampaikan fakta.  
Kiai Produktif 
Satu hal yang membuat saya banyak belajar dari sosok Gus Solah adalah konsistensinya dalam menulis. Esai-esainya yang kritis dan segar, saya mengikutinya di harian JawaPos dan Kompas. Setiap kali saya membacanya, tidak lupa mesti saya japri dan mengirimkan kabar dimuatnya tulisan itu ke beliau. Dan, Gus Solah mengapresiasi pola komunikasi yang seperti itu.
Meski mengakui sempat 20 tulisannya ditolak media massa, Gus Solah merupakan sosok penulis yang mencerahkan. Ide-idenya yang baru dan kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Nah, dalam mengolah gaya selingkung, saya mengakui belum mampu menerka dari tulisan-tulisan beliau.
Memang tidak banyak agamawan di Indonesia yang masih produktif dalam berkaya di area publik melalui media massa. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dan, itu salah satunya adalah Gus Solah. Mampu bertahan hingga beliau menghembuskan nafas terakhir.  
Di tengah kesibukan yang sangat padat, Gus Solah sempat menulis dalam perjalanan satu tempat ke tempat lainnya. Semuanya ditulis sendiri. Tanpa adanya bantuan orang lain, apalagi ghost writer. Ini yang kadang kita sebagai generasi muda menyia-nyiakan waktu. Seolah waktu berlalu begitu saja. Tanpa menghasilkan karya tulis yang bermutu. 
Di usia senja di atas 75 tahun, saya aktif mengikuti tulisan-tulisan Gus Solah yang masih segar. Pernah suatu ketika beliau meminta saya sowan keesokan harinya di ndalem kasepuhan. Kami berbincang hanya empat mata. Banyak hal yang disampaikan beliau soal kepenulisan. Termasuk beberapa pesan pribadi beliau agar saya terus menempuh jalan tradisi literasi dengan menulis ini.
Sowan terakhir saya kepada beliau beberapa bulan sebelum beliau wafat. Intinya saat itu saya meminta izin kepada beliau untuk menterjemahkan dua karya KH. M Hasyim Asy’ari. Saat itu, saya menyodorkan surat resmi kepada beliau. Langsung saja, secara lisan beliau mengiyakan dan merasa senang jika ada anak muda yang terus melanjutkan dalam dunia kepenulisan.
Ketika mendengar kabar Gus Solah wafat di Jakarta lalu, sontak kesedihan dalam diri pribadi saya. Istri saya sendiri kaget ketika melihat saya menangis. Suatu hal yang sangat sangat jarang dia jumpai setelah kami berdua menikah. Dia baru sadar, bahwa ada sosok selain Kiai Luqman yang begitu dalam diri saya terkait pesantren. Dan, beliau bernama Gus Solah. 
Pagi hari tadi, saat senior memberitahu bahwa tahlil 100 hari wafatnya Gus Solah untuk internal Pesantren Tebuireng digelar jam 4 sore tadi. Saya langsung mengiyakan hadir. Teman saya mewanti-wanti, tidak hadir di Tebuireng tidak masalah, karena situasinya masih pandemi Covid-19. Saya hanya berujar: kalau untuk Gus Solah, saya pastikan datang.
Ya, kini tidak terasa sudah 100 hari Gus Solah meninggalkan kita semua. Secara pribadi, banyak nilai keteladanan yang saya pelajari dari beliau. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya, konsistensinya untuk tetap produktif menulis melalui esai yang bermutu. 
Selamat jalan Gus Solah. Saya yakin Panjenengan sudah berkumpul dengan orang-orang soleh dari dzuriyah Pesantren Tebuireng di alam barzah sana. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya doa yang tulus kami panjatkan. Karena Panjenengan adalah orang yang baik. Lahul Fatihah… 
*Penulis adalah pengurus LTN PWNU Jawa Timur dan pengelola Griya Pustaka Kayangan (GPK) Jombang

https://www.halaqoh.net/2020/05/gus-solah-kiai-dan-penulis.html