Guru Rasa Teman bagi Anak Didik

Oleh Ati Latifah, Mahasiswi Prodi HKI IAI Cirebon, Pegiat UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

RumahBaca.id – Sebagai guru, kadang kita merasa seperti ada sekat dengan siswa. Guru merasa lebih unggul daripada siswanya. Ini berimbas kurang baik bagi siswa. Ia menjadi sosok yang kehadirannya tidak diharapkan oleh siswa. Alhasil, sering kali kita melihat ekspresi siswa yang senang dan riang gembira ketika guru kelasnya tidak bisa masuk. Hal tersebut menandakan bahwa ada ketidaknyamanan dari siswa pada gurunya.

Tidak sedikit pula guru yang dilabeli galak oleh siswanya. Guru marah-marah ketika ada siswanya yang terlampau aktif ketika di kelas, berbuat gaduh, berkelahi, atau bercanda, membuat jengkel gurunya. Kejengkelan guru membuat siswa melabeli gurunya dengan sebutan guru galak. Semua itu membuat siswa tidak nyaman ketika berada di kelas, membuat siswa tidak semangat untuk belajar di sekolah.

Label guru galak tidak hanya ada di sekolah tingkat atas, bahkan di pendidikan anak usia dini pun masih ada guru galak. Padahal orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai guru di pendidikan anak usia dini seharusnya tahu bahwa usia dini adalah masa yang sangat rentan. Ya, rentan dalam segala hal. Rentan dalam sisi emosionalnya, pembentukan karakternya, juga kematangan daya berpikirnya.

Jangankan untuk digalaki, disuguhkan dengan satu kalimat panjang pun mereka akan mengalami kesulitan untuk berpikir cepat layaknya anak SD. Melihat orang terdekatku mengalami pendidikan anak usia dini yang sangat ekstrim, membuat dia merasa malas untuk berangkat ke sekolah. Bagaimana tidak ekstrim, usia dini sudah diberikan materi hafalan yang sangat banyak, tidak hanya banyak tapi juga kalimatnya yang panjang. Bagaimana jika ada anak yang masih belum bisa membaca? Bagaimana jika ada anak yang masih mengalami dalam berbicara? Tentunya hal itu sangat tidak dianjurkan untuk diterapkan pada pendidikan anak usia dini.

Hal itu baru dari aspek materi hafalan, belum lagi dari aspek materi pelajaran sehari-hari di kelasnya. Menurut hemat penulis, pelajaran itu harusnya untuk anak SD. Yup, pelajaran matematika dalam jumlah angka puluhan, kemudian bersusun tambah. Belum lagi pelajaran menulis yang jumlah kalimat dan paragrafnya memenuhi papan tulis berwarna putih penuh dengan tulisan bertinta hitam. Amazing bukan?!

Semua itu membuat anak tertekan, malas berangkat ke sekolah dan tidak ada lagi semangat untuk belajar. Padahal, masa usia dini merupakan masa semangat belajar, bertemu dengan banyak teman di sekolah, bermain, menemukan hal baru dalam hidupnya dan membentuk pribadi dan karakter yang baik.

Pengalamanku dalam beberapa tahun berada di lingkungan pendidikan anak usia dini, membuka pikiranku bahwa pendidikan anak usia dini sangat berbeda dengan pendidikan SD, SMP, dan SMA.

Sedikit aku ingin ceritakan pengalamanku itu dalam kesempatan kali ini. Dimulai ketika baru sampai di sekolah, belasan pasang kaki ramai-ramai menghampiriku, menggapai tangan dan mencium punggung tangan kananku. Sementara tangan kiriku sudah ada yang menarik, menuntunku untuk segera masuk ke dalam kelas.

Sampai di dalam kelas, terdengar suara jeritan dari sudut ruang kelas. Tampak pemandangan siswa yang sedang berselisih karena berebut tempat duduk. Belum sempat kuatur tempat duduk kedua anak yang berebut itu, terdengar suara merdu tangisan seorang gadis cilik. Dia menangis ketika pintu kelas mulai ditutup dan bundanya menitipkan sepenuhnya gadis cilik tersebut padaku, kemudian pulang. Ya, dia anak yang pemalu, belum terasah mental dan keberaniannya ketika harus berada di tengah-tengah keramaian tanpa sang bunda yang mendampingi.

Berhasil aku menenangkan tangisan gadis cilik itu, disusul dengan perkelahian duo lanang yang terkenal dengan nyali dan keberaniannya yang di atas rata-rata. Ya, mereka berkelahi memperebutkan mainan yang mereka bawa dari rumah. Aku melerai dulu duo ‘jago’ ini, dan mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing dengan membawa mainannya.

Ketika berhasil menentramkan kelas yang cukup membuatku berlolah vocal pada waktu yang masih pagi, kumulai serangkaian kegiatan belajar mengajar di kelas, membaca doa, mengulang pembiasaan sebelum belajar dimulai, kemudian aku buka buku tema yang penuh dengan gambar-gambar unik yang sengaja dibuat oleh pengarang bukunya untuk menarik perhatian anak-anak.

Dari awal hingga akhir aku bercerita dan jelaskan isi buku tersebut, ada satu pemandangan yang menarik perhatianku. Seorang gadis kecil hitam manis yang sangat luwes menirukan segala gerak-gerikku, caraku dalam menyampaikan materi, sampai gayanya berlenggak lenggok demi meniru body language-ku. Masyaallah! Mau marah, tapi tak ada alasan yang tepat bagiku untuk memarahinya. Mau tertawa, tapi khawatir dia merasa malu padaku dan juga teman-teman sekelasnya.

Akhirnya, kuputuskan untuk menyelesaikan pembicaraanku dalam penyampaian materi pada hari itu karena sudah dirasa cukup dan anak-anak sudah bisa memahami apa yang aku sampaikan. Setelah itu anak-anak mulai dengan kegiatannya masing-masing sesuai penjelasan dan instruksi dariku. Lantas, kulangkahkan kakiku ke seluruh ruangan kelas untuk mengontrol dan memastikan bahwa anak-anak aman dan terkendali.

Kuhentikan langkah kakiku pada gadis kecil si hitam manis yang telah selesai memperagakan caraku dalam menyampaikan materi di kelas. Kuberanikan untuk bertanya padanya, semoga dia tidak merasa malu dan takut karena aku menghampirinya. Kutanyakan pelan-pelan, apa yang sedang dia kerjakan, dan apa motivasinya sampai dia menirukan dan memperagakan persis sepertiku. Jawabannya, “Aku mau kayak ibu guru.”

Sempat kaget setelah mendengar jawabannya. Namun aku salut pada gadis kecil ini, salut dengan kejujurannya dan semangat belajarnya yang selalu memperhatikan penjelasan guru, sampai bisa memperagakan semuanya.
Di kelas, aku berusaha memposisikan diriku sama dengan mereka. Tempat dudukku pun tidak lebih tinggi dari mereka, melainkan sama. Sama-sama duduk di bawah, dengan menggunakan meja panjang namun tidak tinggi dan memakai bangku dengan ukuran yang sama dengan anak-anak. Sebisa mungkin aku masuk ke dunia mereka, dengan ikut bermain bersama saat mereka telah selesai mengerjakan tugasnya, mengajak mereka bercerita kegiatan sehari-harinya di rumah, sambil melatih bahasa dan kosakata yang mereka pahami, mengajaknya bermain di kelas juga di luar kelas, sambil melatih motorik halus dan kasarnya.

Semua kegiatan dan pendekatan ringan itu sebenarnya tidak ada di dalam rencana pembelajaran harian ataupun mingguan, namun murni ide dan kreativitasku untuk bisa menciptakan kelas yang membuat siswa nyaman dan tidak membosankan selama belajar.

Menjadi teman bagi mereka. Aku rasa itu hal yang menarik dan menjadi jurus yang cukup ampuh untuk membuat siswa nyaman dan bahagia selama di kelas. Bukan sebaliknya, siswa bosan dan tertekan ketika ada di kelas dan bahagia ketika gurunya tidak bisa masuk ke kelas.

Menjadi guru bahagia. Mendidik dengan cinta dan kasih sayang, demi anak-anak, penerus bangsa.[]