Guru, Cinta dan Panggilan Jiwa

0 0
Read Time:2 Minute, 1 Second

Oleh Masyhari, Founder RumahBaca.id

Paul Suparno menulis bahwa ‘profesi’ guru adalah berdasar panggilan jiwa. Ini yang mendorong adanya rasa ikhlas dalam hati. Melakukan sesuatu tanpa pamrih, hanya ingin berbagi, memberi, tak harap kembali. Karena jiwanya terpanggil untuk bergerak dan merasa bertanggung jawab atas orang lain di sekitarnya.

Mustahil, seorang guru akan melakukan ‘tugas’ mulianya, bila tak ada panggilan jiwa, rasa tanggung jawab pribadinya, sebagai makhluk sosial. Menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. Itulah bagian dari tujuannya. Ia yakin bahwa “berbagi” kebaikan adalah bagian dari sifat insan terbaik. Berbagi menjadi kebutuhannya. Inilah pengabdian itu.

Tentunya, panggilan jiwa ini akan memperkuat rasa cintanya terhadap aktifitas kependidikan, cinta terhadap ilmu pengetahuan, cinta pada siswa, cinta pada sesama guru, cinta pada sarana pendidikan, cinta pada buku, dan lain sebagainya.

Bagi seorang siswa, cinta akan menumbuhkan semangat belajarnya. Cinta itu bisa ditumbuhkembangkan di antaranya dengan memberikan pengertian dan penyadaran urgensi ilmu yang akan dipelajarinya.

Bila ilmu diibaratkan sebagai makanan atau hidangan, maka belajar itu bisa diibaratkan dengan menyantap dan melahapnya (konsumsi). Bayangkan, bila seseorang dihidangkan makanan yang tidak disukainya, apa dia akan bergairah, bernafsu untuk menyantapnya? Alih-alih bisa masuk ke perut dan bergizi baginya, yang ada perutnya akan mulas dan kembali dimuntahkannya.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk menumbuhkan cinta belajar pada ilmu adalah sosok gurunya.

Betapa banyak, rasa cinta siswa terhadap ilmu atau bidang studi tertentu akan muncul dan redup, naik dan turun, seiring dengan guru yang mengampu bidang studi tersebut.

Karena itu, sebagai guru, langkah awal yang dilakukan adalah berupaya dan berusaha agar menjadi guru yang dicintai siswa, syukur-syukur menjadi guru favorit. Kehadiran kita di kelas senantiasa ditunggu siswa.

Kapan ya hari senin lagi, biar segera belajar Fisika (misalnya). Asyik tahu, belajar sama Bapak guru A.”
Menyenangkan bukan? Bila siswa kita begitu merindukan kehadiran kita.

Bila sebaliknya, kita tidak menyenangkan, tidak “menggairahkan” siswa, bahkan killer, enggan tersenyum dan apatis terhadap siswa kita, maka bukan hanya kita tidak dicintai siswa, tapi ilmu atau bidang studi pun menjadi korbannya. Dan, siapa lagi yang paling bertanggung jawab atas ini semua, kalau bukan kita.

Itu semua karena siswa adalah manusia. Dan, manusia itu ingin cinta dan mencintai, ingin dihargai dan diapresiasi. Bila sekecil pun karya dan kreatifitasnya diapresiasi, ia akan semakin bersemangat.

Sebab itu, kita harus menjadi manusia dan memahami karakter manusia. Meminjam istilah Munif Chatib, yaitu menjadi gurunya manusia. Sekian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam..

Dari sebuah bilik kecil di dekat Stadion Bima Cirebon, 9/06/2015

Bagikan tulisan ke: