Gembira Menyambut Ramadan: Momentum Membangun Keharmonisan Sosial

Sebentar lagi seluruh umat Islam di dunia akan memasuki bulan suci penuh berkah dan ampunan, yakni Ramadan. Juga pada bulan ini orang Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183, yaitu:

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Selain diwajibkan berpuasa, bulan Ramadan juga memiliki keistimewaan tersendiri yang melebihi bulan-bulan lain. Salah satunya adalah, ketika seseorang berpuasa di bulan ini maka dosa-dosa (kecil) yang pernah dilakukan pada masa lalu akan dihapuskan. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah SWT, maka diampuni dosa-dasanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, yang tak kalah menariknya adalah bahwa esensi penting dari bulan Ramadan; sebagai bulan pencegahan atau menahan diri dari pelbagai bentuk keburukan. Artinya, bulan ini menjadi latihan umat Islam untuk membersihkan diri dari keburukan dengan mencegah dan menahan diri. Bukan sekadar perkara yang dapat membatalkan puasa, melainkan juga perbuatan lain yang dapat memecah belah keharmonisan sosial; berbicara kotor, berbohong, memaki, ujaran kebencian, merusak termasuk melakukan aksi kekerasan dan teror.

Baca juga:  Isu PKI dan Rekonsiliasi Kultural ala NU

Tidak mengherankan, apabila bulan Ramadan juga dikenal sebagai bulan jihad. Maksudnya jihad melawan hawa nafsu yang suka merusak atau mengusik diri sendiri dan keamanan serta ketenteraman orang lain. Karena itulah, bulan Ramadan ini patut dijadikan sebagai momentum untuk membangun keharmonisan sosial guna melahirkan kesejahteraan, kedamaian dan keamanan. Bukan hanya bagi diri sendiri (bersifat parsial) melainkan juga untuk bangsa Indonesia (bersifat universal).

Artinya, bulan Ramadan bukan sekadar dimaknai sebagai bulan diwajibkannya berpuasa bagi seluruh umat Islam. Akan tetapi, lebih dari itu yakni, sebagai bulan perbaikan atau pendidikan sikap serta perilaku setiap individu muslim. Dari yang awalnya berperilaku sombong, intoleran, dan suka menghasut, menjadi toleran, santun, ramah, dan lain-lain guna mewujudkan keharmonisan sosial dan perdamaian secara universal.

Membangun Keharmonisan Sosial

Walau begitu, untuk mewujudkan keharmonisan sosial antar setiap individu pada bulan Ramadan ini bukanlah perkara mudah. Apalagi hanya sekadar konsep. Akan tetapi, memerlukan suatu upaya cukup besar dan sulit. Di antaranya adalah: Pertama, menjaga pandangan agar tidak terus-menerus melihat hal-hal yang dapat memalingkan hati dari berzikir kepada Allah dan melupakan manusia untuk mengingat akhirat.

Kedua, menjaga lisan dari ucapan-ucapan kotor, menjerumuskan, bohong, dan menggunjing serta memaksa diri sendiri agar diam (tidak melakukan hal-hal tersebut) dan tidak berbicara kecuali dalam kebaikan, zikir, dan membaca Al-Quran.

Baca juga:  Teologi Wabah: Laporan Ibnu Hajar al-Asqalani Terhadap Pandemi

Ketiga, menjaga anggota tubuh lainnya dari pelbagai perkara haram dan hal-hal buruk. Misalnya, menjaga tangan dari melakukan perbuatan yang dilarang (haram dan keji). Kemudian, menjaga telinga dari mendengarkan segala hal yang buruk baik di sisi manusia maupun di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Mengutip Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi (w. 1380 H/1961 M), seorang ulama terkemuka alumnus Al-Azhar, Mesir dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa upaya untuk membangun keharmonisan sosial antar setiap individu adalah dengan berpuasa. Sebab, menurut Al-Jurjawi, salah satu hikmah yang terkandung dalam puasa, yakni mengingatkan pelakunya pada kondisi orang-orang fakir sehingga turut memberikan simpati dan rasa kasih sayang terhadap mereka.

Sebaliknya, masih menurut Al-Jurjawi, seseorang yang tidak pernah merasakan kesulitan, tentu tidak akan pernah merasakan kesulitan yang dialami orang lain. Dan orang yang tidak pernah lapar pasti tidak kan pernah merasakan kelaparan yang diderita orang lain. Artinya, hanya orang yang pernah merasakan sakit yang dapat merasakan kesempitan dan kepedihan.

Dari sini, jelas bahwa semua hal yang disebutkan di atas apabila direalisasikan dalam laku hidup kita, niscaya kehidupan akan nyaman dan terwujudlah suatu persaudaraan, perdamaian, dan keharmonisan sosial antara setiap individu, terutama dalam sekala lebih luas, yakni berbangsa dan bernegara. Marhaban Ya Ramadhan. Wallahu A’lam

https://alif.id/read/saf/gembira-menyambut-ramadan-momentum-membangun-keharmonisan-sosial-b242576p/