Fragmen Hubungan Baik Umar bin Khattab dengan Non Muslim

Umar bin Khattab merupakan pemimpin umat Islam (Amirul Mukminin) kedua setelah Abu Bakar Assidiq atau juga dikenal dengan Khulafaur Rasyidin yang kedua. Umar dilahirkan pada tahun ke 13 setelah kejadian penyerangan Raja Abrahah dengan pasukan Gajahnya. Nasab Umar bertemu dengan nasab Rasulullah pada Ka’ab bin Luay.

Umar dikenal dengan sosok pemimpin yang cerdas, tegas, toleran dan bijaksana. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang yang sangat dekat dengan para ahli baca dan penghafal al-Qur’an. Nabi sendiri pernah berkata bahwa Umar adalah seorang yang paling mungkin menjadi utusan Tuhan seandainya Nabi sendiri bukanlah Rasul Allah.

Sepertinya di antara pemimpin umat Islam lainnya, tidak ada yang sebegitu kreatif, inovatif dan seberani seperti Umar. Di mana Umar berani mengemukakan ide-ide dan melakukan tindakan yang sebelumnya Nabi tidak pernah melakukan atau mencontohkannya. Bahkan jika dilihat secara sepintas dan dipahami secara dangkal, seolah apa yang dilakukan oleh Umar, tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan perintah Nabi Muhammad. Beberapa di antaranya adalah ketika Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan al-Qur’an yang ketika itu al-Qur’an masih berupa catatan-catatan dan hafalan pribadi yang tersebar di banyak sahabat Nabi. Mula-mula Abu Bakar menolak karena hal ini tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi semasa hidupnya. Namun atas desakan Umar yang disertai dengan penjelasan dan alasan yang tepat, dan kemudian dimusyawarahkan dengan para sahabat, usulan Umar diterima dan dilaksanakan.

Baca juga:  Jemaah Haji Membeli Tiang Masjidil Haram

Selanjutnya adalah tindakan Umar yang tidak membagikan tanah-tanah pertanian di Syiria dan Irak yang telah dibebaskan oleh tentara/pasukan muslim melainkan Umar justru membagikannya kepada para petani kecil setempat, sekalipun ada diantara petani itu yang bukan beragama Islam. Hal ini mendapat penentangan dan penolakan yang kuat dari kalangan sahabat Nabi, terutama dari Bilal seorang Muazzin Rasul.

Bilal beranggapan bahwa tindakan Umar telah bertentangan dan menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan perintah Nabi. Di zaman Nabi kata Bilal, tanah pertanian yang dibebaskan oleh para tentara/pasukan muslim dibagikan kepada para tentara/pasukan muslim tersebut, bukan kepada yang lain sebagaimana dilakukan oleh Nabi di Khaibar. Namun lagi-lagi atas penjelasan dan alasan yang tepat dan kuat dari Umar saat musyawarah, Umar mendapat dukungan dari para sahabat.

Selain dikenal cerdas dan berani, Umar juga merupakan sosok pemimpin yang sangat toleran kepada umat beragama lain di luar Islam. Sehingga Umar sangat dihormati dan disegani oleh para pemuka agama lain seperti Yahudi dan Kristen. Pada masa kepemimpinannya, Umar membuat beberapa kesepakatan dan perjanjian dengan pemeluk agama lain terutama di daerah yang baru ditakhlukkan misalnya daerah Aeliya pada tahun 636 M.

Kesepakatan ini lebih dikenal dengan perjanjian Aeliya/al-Uhda al-Umariyyah antara Umar dan orang-orang Kristen di daerah Yerusalem. Dalam hal ini, Umar sebagai pihak yang menakhlukkan daerah tersebut mengedepankan sikap yang bijaksana dengan cara menghormati pemeluk agama Yahudi maupun Kristen tanpa ada kedzaliman maupun pembantaian sedikit pun kepada umat yang berbeda keyakinan.

Baca juga:  Wabah Menghancurkan Pasukan Paderi

Selain itu, Umar juga tidak melakukan pengusiran atau pengambilalihan serta tidak memaksa penduduk Yerusalem (Yahudi dan Kristen) agar memeluk Islam. Umar memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memilih apa yang mereka yakini tanpa adanya paksaan maupun intimidasi sehingga diharapkan dapat terwujud kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan di tengah perbedaan dan keberagaman. Atas dasar hal tersebut, Umar mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan baik dari Umat Islam, Yahudi, dan Kristen.

Tidak hanya sampai di situ, terdapat pula kisah yang tidak kalah penting dari sosok seorang Umar yang dapat kita jadikan pelajaran. Sebagaimana di kisahkan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Tarikhnya. Di mana saat Umar memasuki Baitul Maqdis, Ia mendatangi Gereja Qiyamah untuk bertemu pemuka agama Kristen yakni Patriarch Sophronious yang hendak mengadakan perjanjian damai serta menyerahkan kunci Yerusalem kepadanya. Saat tiba waktu salat, Umar bertanya kepada Patriarch tempat untuk salat. Dan Patriarch menunjukkan dan mempersilahkan kepada Umar untuk salat di dalam Gereja.

Umar menolak untuk melaksanakan salat di dalam Gereja dan lebih memilih salat di luar, tepatnya di bagian anak tangga pintu masuk Gereja. Penolakan Umar untuk tidak salat di dalam Gereja bukan karena Umar menganggap Gereja sebagai tempat yang hina, melainkan karena Umar khawatir apabila Ia salat di dalam Gereja, maka umat Islam akan menafsirkan bahwa Gereja Qiyamah boleh ditakhlukkan dan mengubah Gereja itu menjadi Masjid. Untuk menghormati toleransi yang dilakukan Umar, tempat salat Umar tersebut dibangun sebuah Masjid. Umar berpesan agar jamaah dan pengurus Masjid tersebut tetap saling menghargai dan menghormati antar umat beragama atau singkatnya tetap menjaga, merawat dan menerapkan sikap toleransi.

Baca juga:  Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah dan Kemerdekaan

REFERENSI

Nurcholish Madjid, “Khazanah Intelektual Islam” dalam buku Karya Lengkap       Nurcholish Madjid Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan Agustus 2020.

Moh Afif Sholeh, “Umar bin Khattab Mengajarkan Toleransi Kepada Umat Lain”             dalam Bulletin Islamina Vol.1 No.3 Agustus 2020.

Republika, “Meneladani Toleransi Umar bin Khattab” dalam          https://m.republika.co.id/amp/ogxqg68 terbit pada 20 November 2016.

https://alif.id/read/adri/fragmen-hubungan-baik-umar-bin-khattab-dengan-non-muslim-b242194p/