Fatwa – Fatwa Penting Tentang Poligami

LADUNI.ID, Jakarta – Islam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap umatmanusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang berlaku sebagai ajaran norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain; keduanya harus diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan“ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai “kitab-kitab yang berisi firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab dan sampai kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak putus atau (tawatur) .

Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim pastinya menyadari bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki tujuan dasar untuk menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan agama itu sendiri Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrahmah guna menghasilkan keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang lain, ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh agama sebagai keyakinan trasendental kedua mempelai. Hal ini dipertegas dalam Surah An-Nisa Ayat 19.

Yang mulia Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya: “Apakah nikah itu pada asalnya dengan poligami atau monogami?”
Jawaban: Dasar mengenai hal itu ialah disyari’atkannya poligami bagi siapa yang mampu melakukannya dan tidak khawatir berbuat zhalim. Karena poligami mengandung banyak kemaslahatan, yaitu memelihara kemaluannya, memelihara kehormatan para wanita yang dinikahinya, berbuat baik kepada mereka, memperbanyak keturunan yang dengannya umat menjadi banyak, dan banyak pula manusia yang mengabdi kepada Allah semata.
Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

                                                                وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [ An-Nisaa’/4: 3].

Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah lebih dari seorang wanita. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” 
[Al-Ahzaab/: 21].

Tatkala para Sahabat mengatakan, “Adapun aku, maka aku tidak akan makan daging.” Yang lain mengatakan, “Adapun aku, maka aku akan shalat dan tidak tidur.” Yang lainnya mengatakan, “Adapun aku, maka aku akan berpuasa dan tidak berbuka.” Yang lainnya lagi mengatakan, “Adapun aku, maka aku tidak akan menikahi wanita.” Maka ketika hal itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkhutbah kepada para Sahabat. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian mengatakan, “Telah sampai kepadaku demikian dan demikian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, makan daging, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan golonganku.” Lafazh agung dari beliau ini mencakup monogami dan poligami.  Wallaahu Waliyyut taufiiq.[1]

Yang mulia Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin –حفظه الله– ditanya: “Jika suamiku ingin menikah dengan wanita lain dan dia mengabarkan hal itu kepadaku, tetapi aku menolaknya. Alasan penolakanku, bahwa dia tidak berhajat kepada isteri tersebut, karena aku telah melahirkan beberapa anak untuknya dan melaksanakan segala hak-haknya. Namun dia tetap menikah, maka aku katakan kepadanya, ‘Kalau begitu, ceraikan aku!’ Apakah aku berada di atas kebenaran? Berilah aku fatwa mengenai hal ini!”

Jawaban: Anda tidak berhak menolaknya, meskipun telah berbuat yang terbaik untuknya. Mungkin dia menginginkan banyak anak, memelihara kesucian wanita, atau dia melihat bahwa satu isteri tidak dapat memelihara dirinya. Namun yang pasti, isterinya tidak berhak melarangnya untuk menikah dengan selainnya. Tetapi jika ia khawatir suaminya akan menzhaliminya dan tidak mampu bertahan hidup dengan penganiayaan ini, maka ia boleh meminta cerai untuk suatu hajat, dan dia tidak boleh meminta cerai untuk selain keperluan yang mendesak.

Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin –حفظه الله– ditanya: “Aku mempunyai dua isteri. Isteri yang pertama aku nikahi, dan dia bersamaku selama dua tahun. Yang kedua, dia bersamaku selama setahun. Ketika aku menikahi isteri yang pertama, aku membelikan untuknya segala permintaannya berupa emas. Yakni, aku menyerahkan sejumlah uang lalu keluarganya membawakan untuknya sesuai permintaannya. Kedua, setelah itu aku membawa untuknya emas yang dimintanya, yaitu kalung, liontin dan cincin. Ketika aku membawa emas untuk-nya, maka sempurnalah pesta pernikahan ini. Lalu aku mengambil hati isteriku yang pertama supaya senang terhadap apa yang mereka katakan, yaitu emas. Sementara isteriku yang terakhir mengatakan, ‘Kalung ini kecil. Juallah, dan bawakan untukku yang lebih besar darinya.’ Aku pun mengambil dan menjualnya, tetapi belum membelikan sesuatu untuknya hingga sekarang. Apakah aku harus, -ketika aku membelinya- untuk membelikan kalung untuk isteriku yang pertama ataukah tidak? Mengingat -pada mulanya-, bahwa isteriku yang kedua tidak memintanya dariku, tapi aku membelikan untuknya akan permintaannya yang pertama ketika menikah. Apakah aku harus membelikan untuknya kalung ini seperti yang dimiliki isteriku yang terakhir ataukah tidak? Mengingat bahwa kalung ini adalah hak isteri yang terakhir dan aku telah menjual-nya darinya. Lagi pula aku tidak memiliki uang, tetapi aku ingin mencari pinjaman. Oleh karenanya, beritahukanlah kepada kami -semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan- mengenai berlaku adil di antara kedua isteri. Apakah dia mempunyai hak seperti yang aku berikan kepada isteriku akan kalung ini ataukah tidak? Demikianlah, semoga Allah memberi taufiq kepada Anda sekalian kepada perkara yang berisi kebaikan dan kesejahteraan.”

Jawaban: Karena pernikahan telah sempurna dari kedua isteri itu dan Anda telah memberikan kepada masing-masing dari keduanya apa yang dimintanya ketika itu serta telah puas, maka Anda tidak berkewajiban membelikan untuk keduanya di lain waktu. Kecuali kalung yang Anda jual yang dimiliki oleh isteri yang kedua, maka Anda harus menggantikannya. Tidak boleh menjual emas dengan dirham yang cacat, bahkan harus ada kesepakatan sebelum berpisah, kecuali jika Anda membeli emas dengan selain dirham. Setelah itu Anda wajib berbuat adil dan seimbang di antara kedua isteri dalam hal nafkah sesuai kebutuhan. Demikian pula berkenaan dengan jatah di antara keduanya, baik bermalam maupun selainnya. Wallaahu a’lam.[2]

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ditanya: “Apa hukum masuk ke rumah isteri kedua pada malam giliran yang lainnya (untuk bercampur)?”

Jawaban: Adapun diharamkannya masuk ke rumah selain isteri yang menjadi gilirannya pada suatu malam, kecuali karena darurat pada malam hari itu, atau karena kebutuhan pada siang hari, maka yang benar mengenai hal ini adalah kembali kepada kebiasaan waktu dan kebiasaan manusia. Jika suami memasuki rumah isteri yang bukan gilirannya pada malam hari atau siang hari dan oleh kebanyakan orang tidak dianggap sebagai kezhaliman (maka tidak mengapa), karena mengembalikan (permasalahan). Kembali kepada kebiasaan adalah prinsip besar dalam banyak perkara, terutama dalam masalah-masalah yang tidak ada dalilnya. Dan ini termasuk ke dalam bab ini.[3]
_______
Footnote :
[1]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 86) kepada al-Fataawaa al-Ijtimaa’iyyah.
[2]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 88, 89) kepada Fataawaa al-Kanzits Tsamiin.
[3]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 90) kepada al-Fataawaa as-Sa’diyyah.

Sumber : Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq.
 

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 01 April  2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan

https://www.laduni.id/post/read/50941/fatwa-fatwa-penting-tentang-poligami.html