Endhog–endhogan: Tradisi Perayaan Maulid Nabi Masyarakat Banyuwangi

Menuju hari kelahiran Nabi Muhammad saw, hampir di seluruh penjuru Kota Gandrung-Banyuwangi, berjejer berbagai macam kreasi endhog (baca: telur) yang dihias pada sebuah tempat, untuk ditancapkan pada debog pisang. Tak lupa dihias dengan berbagai kreasi yang epik. Meriahnya hari kelahiran Nabi Muhammad saw, tak hanya disambut dengan kelap kelip lampu langgar dan mushalla. Tapi juga dengan warna warni bunga hias, yang siap terpampang di seluruh sisi kota.

Masyarakat Banyuwangi mempunyai tradisi yang unik dibandingkan kota-kota lainnya. Mereka punya suatu ciri khas dalam suatu adatnya untuk merayakan perayaan Maulid Nabi dengan tradisi Endhog–endhogan. Dalam bahasa Jawa sendiri, endhog berarti telur. Apa hubungannya dengan perayaan Nabi Muhammad saw? Tentu, ulama’ dan juga kyai Belambangan tak sepele memilihkan suatu tradisi dan juga pepeling (baca: pengingat) untuk umat muslim pada saat itu.

Dahulu, Banyuwangi adalah salah satu daerah yang sangat terisolir dari sebuah peradaban yang maju. Mayoritas, masih sangat menganggap bahwa Tuhan tak berada dalam hatinya. Untuk menciptkan sikap dan wujud ilahiy harus melihat sesuatu yang bersifat materi atau berwujud dihadapannya. Untuk bisa merasakannya pun tak cukup. Maka, Tuhan dan kepercayaan yang hadir masih saja berwujud dinamisme, dan animisme; berwujud pada suatu benda yang menurutnya istimewa, baik pohon, batu, roh dan sebagainya.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Seni Bertawasul pada Nabi

Mereka semua tak menganggap bahwa ada Tuhan yang lebih besar dan agung dibandingkan dari apa yang mereka sembah saat ini. Untuk meyakinkan itu semua kepada masyarakat kaum agamis tapi tak tercerahkan sepenuhnya, para ulama Belambangan pun berfikir keras, agar dakwahnya dapat diterima oleh masyarakat. Berbagai cara dikerahkan, hingga pada akhirnya salah satu ulama kita, Kiai Kholil bertemu dengan KH. Abdullah Faqih yaitu salah satu ulama yang berada di daerah Songgon, Banyuwangi.

Beliau mengindetikkan dan mengenalkan kepada masyarakat saat itu, agar bisa tersentuh dan tercerahkan dengan cahaya Islam. Mengenalkan arti kata iman, islam dan ihsan. Apakah dengan semudah itu memperkenalkannya kepada segenap lapisan masyarakat? Tentu tidak. Ulama kita tentu menggunakan strategi dan juga unggah-ungguh yang sangat mulia agar bisa diterima kemudian ikut menuju dakwah Rasulullah. Maka, salah satu tradisi yang diperkenalkan kepada seluruh masyarakat saat itu adalah Endhog–endhogan.

Apa yang tersirat dari tradisi ini?

Telur adalah salah satu makanan pokok dan juga sumber tenaga bagi manusia. Dipilih simbol telur, karena memiliki 3 lapisan yang menjadi bagian penting di dalamnya; kulit, putih telur, kemudian kuning telur yang berada pada inti telur itu sendiri. Lalu, apa hubungan dari simbol keislaman yang ada? Maka, pada saat itu, ulama kita menghadirkan suatu representasi luar biasa agar dapat difahami oleh masyarakat saat itu. Beliau menafsirkan bahwa ‘kulit telur’ diartikan sebagai tanda ‘keimanan’, lalu ‘putih telur’ sebagai simbol ‘islam’, dan ‘kuning telur’ disimbolkan sebagai ‘ihsan’.

Lalu, bagaimanakah interpretasi selanjutnya agar masyarakat bisa lebih memaknai itu semua? ulama kita kembali menerangkan, bahwasanya ini semua adalah aspek dan juga identitas yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Karena pada dasarnya, segala sesuatu bermula pada sebuah kepercayaan, maka akan bermuara pada sebuah perilaku yang baik, sebagai wujud penghambaan pada sesuatu yang dipercayai.

Baca juga:  Bid’ah Indah Maulid Nabi: Kitab Puisi

Dengan ini dapat kembali ditafsirkan, bahwa seseorang tidak akan pernah bisa berbuat, berperilaku, bertingkah laku jika tidak mempercayainya. Maka setelah timbul suatu kepercayaan, diharapkan kepadanya untuk siap berserah diri, lalu taat dan patuh pada setiap perintah. Itulah interpretasi singkat dari sebuah analogi telur. Seseorang tidak akan pernah bisa mencapai pada taraf ihsan jika tak berada dalam hatinya sebuah iman. Begitu pula saat kita ingin memakan telur. Tak akan pernah bisa menikmati bagian yang istimewa yaitu kuning telur, jika kita tak membuka cangkang kulitnya, dan menikmati putih telurnya terlebih dahulu.

Lalu, hubungannya dengan debog pisang, ataupun bambu yang menusuknya, diibaratkan dengan jiwa dan raga seorang manusia. Bahwa, 3 aspek terpenting tadi harus selalu difahami, dimaknai, dimengerti lantas diaplikasikan dalam kehidupan manusia sehari harinya. Setelah ulama kita bisa masuk pada setiap relung hati masyarakat pada masa itu, tentu dengan mudah untuk mengenalkan dan melahirkan kecintaan pada Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah rahmatan li-l-aalamin.

Maka, sejak saat itu, telur menjadi sebuah identitas penting bagi seluruh masyarakat muslim Belambangan. Jika perayaan Maulid Nabi mulai mendekati tanggalnya, maka, seminggu bahkan sebulan sebelumnya, jodhang atau debog (baca: batang pisang) berjejer dimana-mana. Para pengrajin sunduk endhog–endhogan mulai kebanjiran order untuk pesanan langgar dan mushalla.

Baca juga:  Gaya Hidup Santri (1): Kemandirian dan Kesederhanaan

Semoga, kita tak hanya merayakan ataupun ikut melangsungkan tradisi ini tanpa memaknai arti sesungguhnya. Karena, rugi rasanya jika hanya merayakannya tanpa banyak mengerti apa yang dimaksudkan dengan dakwah yang seharusnya disampaikan kepada seluruh umat muslim. Dengan ini, semoga senantiasa menambah kecintaan kita kepada baginda Rasulullah saw, yang kelak akan memberikan syafaat-nya di hari akhir kelak. Allahumma amiin.

https://alif.id/read/nfm/endhog-endhogan-tradisi-perayaan-maulid-nabi-masyarakat-banyuwangi-b240378p/