Duduk Tasyahud Akhir, Tawaruk atau Iftirasy?

Mungkin kartun 2 orang dan teks yang menyatakan 'Posisi Duduk Tasyahud Awal Posisi Duduk Tasyahud Akhir'

Oleh Ustadz Abdullah Al-Jirani, Pengasuh Pengajian Fiqih Mazhab Syifi’i, Tinggal di Sukoharjo

RumahBaca.id – Dalam mazhab Syafi’i, duduk pada tasyahud akhir dengan cara tawaruk secara mutlak, baik di dalam shalat yang memiliki dua tasyahud (awal dan akhir) seperti shalat Isya’, Dzuhur, Ashar, dan Maghrib, ataupun yang hanya memiliki satu tasyahud (akhir) seperti shalat Subuh. Adapun duduk iftirasy, dilakukan pada tasyahud awal saja.

Duduk tawaruk adalah tata cara duduk di mana kaki kiri dimasukkan di bawah kaki kanan, sedangkan pantat menyentuh lantai, dan talapak kaki kanan ditegakkan. Adapun duduk iftirasy, kaki kiri diletakkan dibawah pantat (diduduki), lalu telapak kaki kanan ditegakkan.(lihat gambar terlampir)
Dalilnya, apa yang diriwayatkan oleh Abu Humaid As-Saidi ra beliau berkata:

وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

Artinya, “Dan jika beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya), menegakkan kaki kanannya, dan duduk di atas tempat duduknya (maksudnya ; di lantai).”(HR. Al-Bukhari: 828).

Adapun pada tasyahud awal, maka beliau duduk iftirasy. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan Abu Humadi As-Saidi ra:

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى

Artinya, “Apabila duduk pada rakaat kedua (maksudnya ; tasyahud awal), beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan.”
Hadits ini menunjukkan terjadinya perubahan tatacara duduk saat tasyahhud awal dan tasyahud akhir, sebagai pembeda antara rekaat terakhir dan yang sebelumnya. Penyebutan dua sifat duduk pada dua tempat yang berbeda, semakin menegaskan adanya maksud untuk menjelaskan perbedaan tersebut.

Al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852) rahimahullah berkata:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَةَ الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ مُغَايِرَةٌ لِهَيْئَةِ الْجُلُوسِ فِي الْأَخِيرِ

“Di dalam hadits ini terdapat hujjah/dalil yang sangat kuat bagi imam Syafi’i dan yang berpendapat dengan pendapatnya, sesungguhnya sifat duduk di dalam tasyahhud awal, berbeda dengan sifat duduk pada (tasyahhud akhir).” (Fathul Bari: 2/309).

Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang lain masih dari Abu Humaid As-Saidi radhiallahu ‘anhu beliau berkata:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ، أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ

Artinya, “Sehingga apabila sujud yang di dalamnya terdapat salam (maksudnya ; pada rekaat terakhir), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawwaruk di atas sisinya yang kiri.” (HR. Abu Dawud : 963).

Imam Nawawi (w.676 H) rahimahullah berkata:

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْلِسَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ مُفْتَرِشًا وَفِي الثَّانِي مُتَوَرِّكًا فَإِنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ جَلَسَ مُتَوَرِّكًا

“Pendapat kami (Syafi’iyyah) sesungguhnnya dianjurkan bagi seorang untuk duduk iftirasy pada tasyahud awal dan duduk tawaruk pada tasyahhud kedua. Dan jika shalat terdiri dari dua rekaat, maka duduk tawaruk.” (Al-Majmu Syarhu Al-Muhadzab: 3/450).

Adapun beberapa hadis yang sekilas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk iftirasy saat tasyahud di rekaat kedua, maksudnya adalah tasyahud awal, bukan tasyahud akhir. Karena hadis-hadis ini sifatnya mutlak (lepas)dan telah ditaqyid (diikat/dibatasi) dengan hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Selain itu, untuk jalan kompromi diantara keduanya.
Imam Syafi’i (w. 204 H) rahimahullah berkata:

فَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيحٌ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ وَبَاقِي الْأَحَادِيثِ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمْلُهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ الْجُلُوسَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَمَنْ رَوَى الِافْتِرَاشَ أَرَادَ الْأَوَّلَ وَهَذَا مُتَعَيَّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ لَا سِيَّمَا وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Hadis Abu Humaid dan para sahabatnya sangat jelas dalam menjelaskan perbedaan antara dua tasyahhud. Adapun hadis yang lain (Hadits Wail bin Hujr dan Aisyah) bersifat mutlak. Maka wajib untuk membawanya (hadits Wail dan Aisyah) kepada makna yang cocok dengannya (hadis Abu Humaid).

Maka barang siapa yang meriwayatkan dengan sifat tawaruk, maka dia menginginkan duduk pada tasyahud akhir. Dan barang siapa yang meriwayatkan dengan sifat iftirasy, maka dia menginginkan tasyahud awal. Ini sebuah keharusan dalam rangka untuk mengkompromikan antara hadits-hadits shahih. Terlebih, hadits Abu Humaid telah dicocoki oleh sepuluh sahabat nabi yang senior radhiallahu ta’ala anhum.” (via kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab : 3/451).

Wallahu a’lam bish shawab.