Dokter Kok Mau Konsultasi Gratisan?

Oleh Dr. Handrawan Nadesul, Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer, Poet

Sudah lebih satu kali teman-teman bertanya seperti itu. Kok mau memberi kosultasi gratisan, baik lewat media sosial WAG, WA japri, email, FB, yang saya meresponsnya setiap menjelang bangun tidur subuh, atau yang langsung datang ke rumah, saya tidak menarik bayaran lagi, sekalipun dipaksa untuk menerima oleh tetangga atau teman yang datang berobat. Mengapa?

Karena saya sudah komit pada diri sendiri setelah pensiun lebih 15 tahun lalu saya ingin berbagi kepada banyak orang lewat ilmu yang saya kuasai. Meniscayai dengan berbagi tidak membuat saya tambah miskin, justru malah ilmu saya bertambah.

Dokter belajar sepanjang hayat, dan buat profesi dokter, pasien adalah buku teks paling lengkap. Ilmu saya bertambah kaya dari bertemu semakin banyak pasien, yang berkonsultasi, karena belum tentu semua yang ditanyakan pasien bisa dicari di buku teks kedokteran. Itu juga yang dikatakan Prof Priguna Sidharta, dosen Penyakit Neurologi saya dulu.

May be an image of text that says "SISTEMATIKA IKHLAS pemberi harapan =hasil jika kamu memberi satu dan mengharapkan 2, maka hasilnya kamu akan mendapat setengah 1=0,5 1-1 ㅎ= jika kamu memberi satu dan mengharapkan satu, maka hasilnya juga akan dapat salu jika kamu memberi satu dan tidak mengharapkan apapun, maka kamu akan dapat hasil yang tak terhingga"

Pertanyaan teman-teman lanjutan, “Kan lumayan kalau dokter tidak gratisan?” Saya merespons begini. Bukan saya tidak butuh uang kalau saya memberi konsultasi gratisan. Secara kelumrahan profesi, dokter berhak untuk penghargaan terhadap jasa profesi yang diberikannya berupa honorarium, dan itu bukanlah upah.

Bahwa jasa dokter itu penghargaan atau honorarium. Sekadar memberikan konsultasi saja dokter berhak menerima honorarium. Di Singapura misalnya, honorarium konsultasi dokter hanya bertanya saja sekitar Rp 400 ribuan, dianggap wajar sebagai jasa layanan profesi.

Saya sendiri komit meniadakan hak profesi saya menerima honorarium. Atas komitmen saya ingin berbagi tanpa perlu membayar. Sekarang misalnya, sebuah WAG yang angotanya mengirimkan konsultasi medis, dalam 4 bulan sudah lebih 100 kali bundel konsultasi dalam sekali berisi 3-4 orang yang bertanya. Dulu saya mengasuh rubrik kesehatan di koran dan majalah, terakhir tahun 2000-an masih menerima honorarium Rp 500 ribuan saya terima untuk beberapa pertanyaan tanpa memberi resep.

Lalu pertanyaannya kemudian, berapa saya peroleh kalau saya menarik bayaran itu, dari WAG, dari konsultasi lepas di email, japri di WA, di FB, sejak awal lebih 15 tahun lalu, mungkin sudah mencapai ratusan juta Rupiah saya peroleh. Namun saya tetap mendalih, uang seberapa pun banyaknya yang berhak saya terima itu, dan saya meniadakannya, tidak bisa membeli rasa kepuasan saya dalam memberi. Benar, saya terima honorarium dari jasa menyampaikan seminar yang diundang oleh perusahaan, karena saya tahu ada dana untuk itu. Juga untuk undangan departemen, instansi, atau pihak yang saya tahu tersedia dana untuk itu, saya merasa layak menerimanya.

Saya meyakini kemudian bahwa di balik kepuasan dalam memberi itu ada limpahan berkat yang telah saya terima. Ini juga anugerah, bonus indah buat hidup saya.

Saya menikmati semua yang sudah saya kerjakan, menjadi berkat bagi semakin banyak orang, dan itu tidak membuat saya lebih miskin, atau bukannya tidak membuat saya bertambah kaya.

Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL