Dialog Terbuka: Respon atas Kritik Muhammad Nuruddin terhadap Mun’im Sirry

Oleh Dr. Zaprulkhan, M.Si

DIALOG TERBUKA

Beberapa hari ini, kita disuguhi sebuah polemik yang sedang viral antara Mas Muhammad Nuruddin dengan Prof. Mun’im Sirry. Dalam perspektif Mas Nuruddin, ada kelemahan dan kekeliruan dalam konstruksi pemikiran Prof. Mun’im selama ini. Mas Nuruddin sudah melontarkan sejumlah kritik terhadap wacana yang digulirkan Prof. Mun’im. Bahkan dia sudah mendaftar sejumlah gagasan yang dia anggap sebagai kesemerawutan pemikiran Mun’im.

Namun sampai saat ini, Prof. Mun’im belum merespons berbagai kritikan yang dilontarkan oleh Mas Nuruddin. Menurut saya, Prof. Mun’in perlu merespons kritikan-kritikan yang dilemparkan Mas Nuruddin. Sebab Mas Nuruddin sudah menggulirkan pelbagai kritik tersebut secara terbuka di ruang publik media sosial dan ia juga sudah menyatakan akan terus mengkritik Prof. Mun’im. Walaupun mungkin pelbagai kritikan yang dilontarkan Mas Nuruddin terkesan ada nada emosional, Prof. Mun’im tidak perlu terpancing menjadi emosi juga.

Menurut saya justru Prof. Mun’im perlu menjawab berbagai kritik dari Mas Nuruddin secara jernih, argumentatif-rasional, profesional dan dengan kepala dingin. Saya percaya, Prof. Mun’im mempunyai segudang jawaban untuk mengcounter kritik-kritik dari Mas Nuruddin. Prof. Mun’im bisa menjelaskan bahwa pendekatan yang ia gunakan dalam kajiannya bersifat ilmiah dan historis-sosiologis, namun biarkan juga Mas Nuruddin mempertanyakan pendekatan tersebut secara ilmiah, sosiologis ataupun secara teologis. Setelah itu, biarkan masyarakat luas yang menilainya.

Ada beberapa alasan mengapa Prof Mun’im perlu merespons atau berdialog dengan Mas Nuruddin:

Pertama, kritik Mas Nuruddin sudah bergulir di medsos dan viral diketahui begitu banyak netizen. Diamnya Prof. Mun’im selama ini, dinilai oleh banyak netizen bahwa Prof. Mun’im tidak mampu menyanggah kritik Mas Nuruddin. Oleh karena itu, Prof. Mun’im perlu menanggapi beragam kritik Mas Nuruddin. Sebab kritik berulang-ulang yang bersifat satu arah tidak menyehatkan. Facebook menyediakan ruang yang sangat luas untuk menarasikan gagasan-gagasan secara luas.

Kedua, kalau enggan berdiskusi dalam space facebook secara tertulis, saya pikir bisa diadakan diskusi secara terbuka melalui zoom. Harus ada yang menjadi fasilisator. Mungkin pihak Forum Esoterika bisa memfasilitasi diskusi lewat zoom ini. Diskusi secara langsung dan terbuka melalui zoom ini tentu akan lebih menarik daripada hanya narasi tulisan di facebook.

Ketiga, buku-buku Prof. Mun’im sendiri secara internal memang bersifat polemik sekaligus mengundang polemik. Terutama empat buku berikut ini: Polemik Kitab Suci, Kontroversi Islam Awal, Islam Revisionis, dan yang terbaru Rekonstruksi Islam Historis. Secara umum, dalam empat buku tersebut beliau menyuguhkan pandangan-pandangan kaum revisionis yang mempertanyakan sebagian konsep-konsep lama dan menawarkan konsep-konsep baru. Siapa pun yang membaca empat buku tersebut dengan serius, tentu akan merasakan nada polemik di dalamnya. Karena itu, wajar bila buku-buku beliau mengundang respons kritis dari sebagian pembacanya yang kritis. Mas Nuruddin merupakan salah satu pembaca kritis itu. Maka sudah sewajarnya juga, bila Prof. Mun’im harus siap menerima berbagai kritik dari para pembacanya yang kritis.

Keempat, dialog antara Prof. Mun’im dan Mas Nuruddin, idealnya bisa dilanjutkan dengan kritik secara utuh dalam bentuk buku. Prof. Mun’im sudah menulis beberapa buku yang bersifat polemik. Mas Nuruddin bisa menulis buku yang utuh pula untuk mengkritik wacana-wacana revisionistik yang digulirkan oleh Prof. Mun’im. Dia sudah berjanji akan menulis buku secara utuh dalam rangka mengkritisi pemikiran Prof. Mun’im yang terdapat dalam buku-bukunya. Ini merupakan respons keilmuan yang sangat bagus. Kita harus mengapresiasi komitmen dan tanggungjawab ilmiah ini.

Jadi tradisi ulama klasik kita tampil kembali hari ini. Diskursus dalam buku dibalas dengan buku lagi. Betapapun tidak setujunya kita dengan suatu wacana dalam sebuah buku dan betapapun kontroversialnya ide-ide yang ada dalam sebuah buku, sikap profesional akademik menuntut kita untuk merespons dalam bentuk buku juga. Tulisan harus dijawab dengan tulisan lagi, tidak boleh dengan caci maki dan hujatan. Inilah bentuk kritik yang profesional, sehingga bersifat edukatif dan meninggalkan jejak abadi bagi masyarakat luas.

Kelima, sikap kita sebagai audiens dalam menyimak diskusi pemikiran antara Prof. Mun’im dan Mas Nuruddin, sebaiknya kita menjadi audiens yang bijak. Kalau kita lebih setuju dengan pandangan-pandangan Mas Nuruddin misalnya, kita tidak perlu mencaci maki dan menghujat Prof. Mun’im. Begitu pun sebaliknya, ketika kita lebih setuju dengan perspektif Prof. Mun’im, kita tidak perlu mendiskreditkan dan underestimate kepada Mas Nuruddin.

Perspektif yang berbeda dari keduanya perlu kita apresiasi dengan kedua tangan terbuka sehingga bisa membukakan perspektif-perspektif baru yang lebih mencerahkan bagi kita semua. From the shock of ideas springs forth light: Dari benturan beragam perspektif akan menghasilkan sebuah perspektif yang lebih cemerlang lagi.

Tentu saja ada orang-orang yang ingin mencari mana yang dianggap paling benar dari diskusi antara Prof. Mun’im dan Mas Nuruddin. Tapi menurut saya, bukan itu poin pentingnya. Bagi saya sendiri, yang menarik adalah setiap wacana ketika sudah digulirkan ke ruang publik, ia menjadi milik publik yang selalu terbuka untuk diterima atau ditolak, diapresiasi atau dikritik, dibanggakan atau pun dipertanyakan. Dan tatkala ada orang yang menggugat, mempertanyakan dan mengkritik, sehingga tercipta dialog yang sehat, maka akan memperkaya sekaligus mempertajam perspektif, baik bagi para aktornya maupun para penyimaknya. Disinilah urgensinya, Prof. Mun’im perlu merespons kritik-kritik Mas Nuruddin secara argumentatif, profesional dan penuh kesantunan.

Terakhir, perbedaan itu menyehatkan. Pertanyaan-pertanyaan kritis itu akan menghasilkan jawaban-jawaban kreatif-inovatif dalam mengembangkan suatu wacana baru. Tanpa gugatan, pertanyaan, dan kritikan, denyut wacana menjadi terhenti, perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan menjadi fosil yang membeku. Karena itu, perbedaan, diskusi dan dialog pemikiran itu sangat menyehatkan bagi perspektif kita sekaligus bagi perkembangan suatu diskursus baru.

Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan dari Mas Nuruddin itulah yang menjadikan noktah-noktah pemikiran Prof. Mun’im selalu benar-benar berada dalam tanda koma (,) yang mengisyaratkan suatu keterbukaan yang tak berkesudahan, dan tidak menjadi tanda titik (.) yang mengisyaratkan suatu pemikiran yang sudah selesai dan tertutup.

Walaupun berbagai kritik yang diungkapkan Mas Nuruddin mungkin dianggap lebih bernada teologis, sementara wacana-wacana yang ditulis oleh Prof. Mun’im menggunakan pendekatan ilmiah, historis-sosiologis atau arkeologis, tapi tetap Prof. Mun’im perlu menjelaskannya secara rasional dan standing position-nya dalam diskursus akademik.

Prof. Mun’im yang lebih dewasa dalam usia, lebih tinggi dalam pendidikan dan lebih banyak pengalamannya kiranya bisa merespons kritik-kritik Mas Nuruddin dengan arif bijaksana. Tidak perlu terpancing emosi.

Ini harapan saya, mungkin juga menjadi harapan sebagian netizen. Semoga. Salam ta’dzim.