Desa sebagai Lokus Literasi Demokrasi

Oleh Nurani Soyomukti, Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek, Pegiat Literasi

RumahBaca.id – Desa adalah lokus nyata bagi dinamika masyarakat di berbagai bidang, termasuk sosial-politik dan demokrasi. Dengan adanya Undang-Undang Desa (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014), desa yang telah ditempatkan sebagai sebuah wilayah yang bisa “mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat” menjadi area yang serius untuk melakukan pembangunan yang menyentuh langsung pada warga masyarakat.

Undang-Undang Desa sendiri menempatkan desa sebagai wilayah yang “perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis”. Kalimat yang tertuang dalam undang-undang itu menghubungkan antara pentingnya pembangunan dan kemajuan desa dengan bagaimana ruang demokrasi harus diciptakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di desa. Pada Pasal 67 Undang-Undang Desa, di nyatakan bahwa desa berkewajiban “mengembangkan kehidupan berdemokrasi” dan “mengembangkan  pemberdayaan masyarakat desa”.

Sejak berlakunya Undang-Undang Desa, idealisme untuk menerapkan demokrasi di desa sudah muncul. Meskipun demikian, pelaksanaan demokrasi di desa masih berjalan secara formalistik. Secara  kelembagaan,  memang mau tak mau Desa harus menyusun pelembagaan desa sebagaimana yang telah dikehendaki oleh undang-undang dan aturan-aturan operasionalnya.  

Kelembagaan Desa Sebagai Ruang Partisipasi

Dari sisi itu, regulasi sudah mengatur saluran-saluran partisipasi dan menjamin hak-hak bagi warga untuk memanfaatkan ruang-ruang itu. Setidaknya ada ruang formal yang diatur dalam regulasi. Pertama-tama ada Lembaga permusyawaratan desa (BPD) sebagai  Lembaga “perwakilan” atau semacam Lembaga “legeslatif” tingkat desa. Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislasi,  yaitu membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa.

Selain itu, BPD juga berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Undang-Undang Desa (Pasal 56) menegaskan bahwa anggota BPPD merupakan “wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis”. Sebagai wakil wilayah (dusun-dusun, dukuh-dukuh, misalnya) mereka diharapkan mewakili aspirasi warga setempat.

BPD juga berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa. Fungsi pengawasan ini penting untuk menciptakan tata Kelola pemerintahan desa yang harus dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, untuk menciptakan sebuah fungsi kontrol dan menghindari adanya penyimpangan.

Dalam Pasal 63 UU Desa, ditegaskan pula kewajiban bagi anggota BPD dalam posisinya sebagai wakil rakyat Desa. Pertama, anggota BPD wajib melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kedua, wajib menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa. Ketiga, wajib mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan.

Selain ada Lembaga BPD yang menjadi semacam Lembaga “demokrasi perwakilan”, ada juga ruang lain yang oleh Undang-Undang Desa disebut sebagai Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018,  setidaknya ada  enam Lembaga yang disebut sebagai LKD, yaitu Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karangtaruna, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).

Warga juga punya ruang partisipasi dalam lembaga kemasyarakatan Desa tersebut. Pasal 94 Undang-Undang Desa menyatakan bahwa LKD adalah “wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa”. Tugas LKD adalah “melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.”  Kemudian dipertegas oleh  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 yang juga menyatakan bahwa  Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan “wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.”

Literasi, Komunikasi,  dan Partisipasi

Bukan hanya mengatur pelembagaan saluran demokrasi, Undang-Undang Desa juga juga menjamin hak-hak warga desa yang terkait dengan demokrasi. Dalam Pasal 68 dinyatakan bahwa warga desa berhak untuk meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Warga juga berhak untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal-hal yang dapat diberikan masukan misalnya adalah tentang pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Masalahnya kemudian adalah sejauh mana warga desa sendiri memiliki partisipasi aktif dalam mengisi ruang-ruang demokrasi dan menggunakan hak-haknya untuk bersuara dan menyikapi perkembangan di desa mereka. Partisipasi ternyata adalah sebuah kemampuan dan kemauan. Apakah tradisi apatisme, pesimisme, dan budaya fatalism yang terbentuk lama di desa sudah mulai terhapus?

Pertama-tama ruang sudah dibuka dan regulasi sudah menjamin keberadaan ruang-ruang itu yang secara formal diejawantahkan dengan eksistensi kelembagaan desa. Lantas kemudian, apakah pengetahuan dan informasi terkait regulasi ini apakah sudah diketahui dan dipahami oleh warga desa?

Di sinilah kita kembali pada situasi tentang akses informasi warga pedesaan. Pada saat hak akan informasi sudah dijamin lewat undang-undang, apakah warga desa kita punya kemauan untuk mencari informasi ataukah hanya menunggu informasi yang ada saja? Tanpa masuknya informasi baru dan pengetahuan baru di pikiran dan perasaan warga desa, tingkahlaku dan sikap warga desa bisa jadi tak akan jauh berubah.

Bagaimana misalnya di desa-desa kita banyak warga yang tidak tahu adanya paradigma baru Desa dengan munculnya undang-undang Desa?

Jujur, proses dan kemampuan literasi warga desa kita masih lemah. Literasi di sini termasuk kemauan membaca teks-teks aturan yang dibuat negara bagi warga masyarakatnya, juga kemampuan dan kemauan mencari informasi dan menggunakannya untuk mengakses sesuatu yang membuat manusia semakin berdaya.

Juga, apakah warga desa kita sudah cukup peduli pada teks-teks hukum? Atau malah, jangan-jangan, undang-undang yang bagus yang berupaya mendorong partisipasi warga desa  ini memang tidak pernah secara serius disosialisasikan pada warga. Dan jika hanya disosialisasikan pada Pemerintah Desa saja, apakah pihak pemerintah desa sudah memahaminya dan menjadikannya sebagai nilai-nilai ideologis dan menjadikan perangkat teknis pembangunan desa sesuai diatur dalam undang-undang Desa dan peraturan-peraturan turunannya?

Ada ketimpangan antara idealisme mendemokratiskan Desa di Undang-Undang Desa dengan praktik-praktik yang terjadi di desa. Jadi, mayoritas masyarakat desa masih belum tahu tuntutan-tuntutan demokrasi yang tertera dalam regulasi tentang desa. Bimtek-bimtek dan sosialisasi dari pemerintah dibatasi jumlah peserta dan sasaran. Pihak-pemerintah yang mewakili  acara sosialisasi undang-undang desa belum tentu menyampaikan hasil kegiatan. Sosialisasi ke bawah oleh pemerintah desa mungkin juga jarang dilakukan.

Sementara itu ketika kita bicara dialektika relasi sosial antara pihak pemerintah desa dengan masyarakat (rakyat) desa, pihak yang berkuasa di desa kadang juga ada kekhawatiran jika rakyatnya terlalu mengetahui banyak dan terlalu mengontrol dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Atau, jika kita tidak boleh berprasangka buruk pada pemerintahan desa, ada situasi lain di mana pemerintah desa sendiri juga akan lebih banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan formalistik dan administratif. Akhirnya hal-hal yang substansial dalam pelaksanaan demokrasi justru terabaikan.

Suatu saat saya dicurhati oleh para pemuda di sebah desa bahwa partisipasi mereka sebagai pemuda di desa sama sekali minim karena wadah Karangtaruna seperti “hidup enggan mati tak mau”. Bahkan ada kecurigaan dari sebagian pemuda bahwa pemerintah desanya memang sengaja  tidak begitu “ngurusi” karangtaruna atau sengaja membuatnya “tidak hidup”. Mereka meminta pendapat saya bagaimana agar anak-anak muda bisa menghidupkan lagi karangtaruna dan pihak pemerintah desa juga mau peduli akan hal itu.

Karangtaruna, sebagaimana uraian di atas, adalah salah satu LKD yang harus ada di desa. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 menyatakan bahwa  LKD dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat. Artinya di situ ada dua jalur untuk menghidupkan LKD. Pertama adalah lewat jalur pemerintah desa, kedua juga bisa dihidupkan atas prakarsa masyarakat.

Istilah “prakarsa masyarakat” menunjukkan bahwa pembentukan dan upaya menghidupkan LKD ini tidak harus menunggu dari pemerintah desa. Tetapi masyarakat juga bisa memprakarsai atau yang aktif lebih dulu. Prakarsa ini bisa berarti komunikasi harus dibuat.

Misalnya anak-anak muda yang ingin karangtarunanya hidup dan punya kegiatan-kegiatan dan bisa jadi ruang partisipasi, maka saya menyarankan berkomunikasilah dengan pemerintah desa—khususnya Kepala Desa dan BPD (badan permusyawaratan desa). Komunikasi ini adalah kunci. Bagaimana agar komunikasi bisa berhasil? Tentu ini hanya soal kemampuan berkomunikasi.

Cobalah bicara dan bersuara dengan saluran yang benar, bersuara dengan kemampuan komunikasi yang mendasar dan kuat—dan efektif. Komunikasi bisa menghubungkan kepentingan antara dua pihak di mana dua pihak pasti akan bertemu pada suatu titik kerjasama. Tentu materi komunikasi harus jelas, tujuannya apa, dan bagaimana metodenya yang efektif.

Curiga dan hanya “berghibah” di belakang saja—tanpa mau menyampaikan pesan agar sampai pada sasaran—tak akan bisa merubah apa-apa. Apalagi di desa, saling curiga tak jarang hanya akan melahirkan situasi saling memusuhi, yang hanya akan menyebabkan konflik berkepanjangan. Sementara demokrasi mensyaratkan “attachment” dari pihak-pihak yang berbeda-beda untuk kepentingan Bersama di desa: Kepentingan Kemajuan dan Kesejahteraan!!! ***

Trenggalek, 29 September 2021