Desa Mawa Carita Buntu (3): Menyelami Dua Mata Air Peradaban

Ada ungkapan ulat, ilat, dan sifat, salah satu pesan yang penulis tangkap ketika sowan kepada tokoh dari organisasi Muhammadiyyah di Desa Buntu, Kejajar Wonosobo ini. Terlihat singkat padat dan tegas dan mudah diucapkan tetapi susah dilakukan. Sebab ungkapan tersebut juga beliau dapatkan dari simbahnya ketika masih sugeng (hidup).

Ulat, dimaknai sebagai ulah atau tingkah laku diri ketika menjadi seorang yang berperan atau tokoh yang memimpin. Dalam laku hidupnya harus baik tentunya, atau untuk kelas sebagai pemimpin dalam keluarga atau kita kerucutkan lagi ketika menemani dan menjamu tamu.

Ilat adalah lidah kita, dalam arti harus menjaga lisan dan ucapan di setiap momentum apapun dan bersama siapapun, terlebih sabdo pandito ratu atau bahasa mudahnya seorang yang berpengaruh ketika berbicara akan dipercaya dan tentunya menjadi patokan dalam setiap tingkah laku, maka dari itu pentingnya untuk menjaga lisan atau ilat, dan nantinya tidak boleh wola-wali atau menclamencle ketika membuat keputusan. Pun juga perlunya untuk banyak obrolan atau dawuhdawuh yang bermanfaat sehingga nantinya bisa menjadi petunjuk dan panduan dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikian yang dapat penulis pegang ketika bertemu sesepuh dari organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini, Kiai Asori, tokoh Muhammadiyyah di Desa Buntu. Tahun 1980-an Muhamadiyyah di desa ini dibentuk, disambung dengan mendatangkan mubaligh dari penjuru daerah di nusantara. Bertujuan tidak mungkin kalau bukan untuk kemaslahatan. Dari segi ini pun mencerminkan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, KH. Ahmad Dahlan, memiliki DNA seorang pembelajar.

Baca juga:  Manuskrip Syeh Anom dan Jejak Pengaruh Kesultanan Demak

Di lain sisi sebagai partner, Kiai Ahmad Kosim dengan Nahdlatul ‘Ulama pun beriringan, bergandengan dalam berdakwah. Melalui NU, Kiai Kosim mempunyai metode dan pendekatan tersendiri, sebagaimana yang diajarkan oleh pendahulunya, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Penulis membayangkan inilah gambaran para pendahulu kita, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan dalam berdakwah,  tergambar dengan baik oleh kedua tokoh di Buntu tersebut.

Dari pancaran wajah kedua tokoh tersebut tidak nampak lelah dengan tugas untuk mengabdi dan menemani masyarakat, nglegakne atine umat. Beliau semua mengayomi agar masyarakat tetap guyub rukun gemah ripah loh jinawi. Nahdlatul ‘Ulama dengan cara kultural menjaga tradisi, sebagaimana ungkapan “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik.

Seperti istighosahan, tahlil, slametan, yasinan dan tradisi lainnya masih berlangsung dan dapat ditemui di desa labolatorium kebhinekaan ini, dan tidak ada geger apapun semua saling mengawal dan menjaga kekeluargaan di desa ini.

Dari segi idelogi atau pergerakan tentunya NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang berbeda tetapi satu tujuan, yaitu menjaga dan menghidupkan agama Gusti Allah Swt, dengan cara yang berbeda tetapi tetap mengingat bahwa masih satu sanad dengan guru yang sama.

Baca juga:  Sumur Azdaq (1): Sumur di Madinah yang Jarang Diketahui

Maka ketika bertemu dalam satu forum tidak ada kaitannya untuk membahas keyakinan maupun agama di Desa Buntu ini. Yang ditonjolkan adalah kemesraan dan keharmonisan untuk menjaga bersama.

Sebagaimana ketika sowan salah satu tokoh kesenian “Margo Utomo” yang juga menjadi warga Buddha, beliau mengungkapkan bahwa dalam berkesenian di organisasi terutama grup “Margo Utomo” ini tidak ada niatan untuk mencari hidup dari organisasi atau komunitas ini. Tetapi bersama-sama bergandengan bagaimana caranya untuk menghidupi atau nguri-nguri yang telah diwariskan oleh para pendahulu melalui grup kesenian tersebut. Dengan tafa’ulan atau mengambil nama “Margo Utomo” agar kita semua senantiasa di jalan utama pada kebaikan menuju Tuhan.

Menariknya dari wadah dengan Margo Utomo (grup kesenian inti memayungi semua kesenian di Desa Buntu) atau dengan Putro Margo Utomo (grup kesenian kuda kepang dan tari lengger) dalam nguri-uri kebudayaan Jawa ini tidak ada sekat dan memadang agama, golongan, suku dan apapun itu, sebagaimana menutup tulisan dengan kalimat singkat kemesraan dalam kebersamaan, sesederhana itu.

https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/desa-mawa-carita-buntu-3-menyelami-dua-mata-air-peradaban-b245166p/