Dari Rasionalisme ke Ateisme atau Sama Saja?

Oleh Mun’im Sirry, Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA

Apakah Anda pernah dituduh “sesat” oleh orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda? Dalam dunia medsos, tuduhan semacam itu mudah sekali ditemukan. Bahkan di kalangan ulama pun, tuduhan “sesat” kerapkali dilemparkan kepada lawan mereka, terutama dalam pertikaian yang bersifat polemik. Itu memang cara ampuh untuk memobilisasi dukungan massa.

Sebagai reaksi terhadap karya kontroversial Mahdawi, penulis Mesir Sayyid b. Husain al-‘Affani menggunakan berbagai tuduhan, misalnya “dajjal”, “sesat” (dhal), “idiot” (ma’fun), dan seterusnnya. ‘Affani menghimpun sejumlah pemikir Muslim, dari ‘Abduh hingga Mahdawi, dan menggolongkan mereka ke dalam “mazhab rasionalis” (madrasah ‘aqliyah), yang dia kutuk. Dua penulis Mesir, Dzahabi dan ‘Abdurrahman al-Rumi, menyebut Abu Zayd sebagai “ateis.”

Seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya, tuduhan terhadap Abu Zayd dan Mahdawi itu dikarenakan keduanya tidak menggunakan hadis dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu, tuduhan semacam ini bukan fenomena baru. Walaupun, bahasa orang modern memang lebih kasar ketika berdebat. Saya akan mencontohkan tafsir Zamakhshari yang sejak dulu hingga sekarang menyulut kemarahan ulama tradisional.

Kita tahu, Zamakhshari merupakan seorang mufasir Mu’tazilah yang karyanya relatif diterima di kalangan kaum Muslim Sunni. Tafsirnya terhadap sebagian ayat yang dianggap berbeda dari pandangan ortodoksi Sunni menjadikannya rentan terhadap berbagai tuduhan.

Di kalangan mufasir Sunni, ayat 82 surat al-An’am (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”), kata “kezaliman” diartikan “syirik.” Dalam Qur’an terjemahan bahasa Indonesia yang saya punya, setelah kata “kezaliman” ditambah “syirik” dalam kurung.

Para mufassir Sunni meyakini, pemaknaan “kezaliman” dengan “syirik” itu diajarkan oleh Nabi sendiri, yakni dirujukkan pada ayat 13 surat Luqman. Sebagai promosi: Ini pentingnya membaca al-Qur’an dengan referensi silang. Rupanya ada beberapa contoh di mana Nabi mengartikan ayat al-Qur’an dengan referensi silang pada ayat lain. Hal inilah yang sedang saya lakukan sekarang dan akan segera terbit.

May be an image of text

Menariknya, Zamakhshari tidak mengartikan “kezaliman” dengan “syirik”, melainkan “kemaksiatan.” Alasannya adalah adanya kata “mencampuradukkan.” Sebagaimana terlihat dalam screenshot, argumen mufasir abad ke-12 ini memang tidak begitu jelas. Mungkin penjabarannya begini: iman tidak bisa dicampuradukkan dengan syirik, tapi bisa dicampuradukkan dengan kemaksiatan. Maksud “dicampuradukkan”, seseorang tidak bisa menjadi Muslim sekaligus berbuat syirik, tapi bisa tetap Muslim walaupun melakukan kemaksiatan. Sebab, siapa yg tak pernah melakukan maksiat dalam hidupnya?

Pemaknaan seperti ini sejalan dengan paham Mu’tazilah yang dianutnya: Seseorang yang melakukan dosa besar (seperti syirik) tidak lagi berstatus Muslim (walaupun juga bukan kafir). Ia berada di antara dua posisi. Itu doktrin penting Mu’tazilah.

Kenyataan bahwa Zamakhshari tidak memahami ayat tersebut sesuai hadis Nabi menyulut reaksi dari berbagai mufassir Sunni. Satu abad setelah Zamakhshari hidup, Razi menyorot tajam tafsir Zamakhshari karena mengabaikan hadis Nabi. Diskusi Razi sangat detil dan cukup “terpelajar”. Dia membela mazhab Sunni, bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar tetaplah berstatus Muslim. (Maka, kalau ada orang sekarang gampang mempertanyakan identitas ke-Muslim-an orang lain yg berbeda pendapat, perlu dipertanyakan dia masih Sunni atau bukan hehe.)

Adalah Abu Hayyan dari Andalusia yang mempersoalkan tafsir Zamakhshari karena dianggapnya berbasis sektarian. Di masa modern, reaksi terhadap Zamakhshari lebih menekankan keterbatasan akal untuk memahami teks al-Qur’an. Pada abad ke-19, Syaukani dari Yaman mengkritik Zamakhshari dengan argumen bahwa akal tak bisa menyangkal penjelasan Nabi.

Dari awal abad ke-20, bahasa yang digunakan mulai berubah. Qasimi dari Suriah, misalnya, menuduh Zamakhshari berhalusinasi (hadzaya) dengan tafsirnya itu. Dia mengatakan dalil ulama-ulama Sunni itu bersifat qath’i dan tak bisa ditolak. Dia bahkan menganggap setiap upaya menolak dalil tafsir Sunni sebagai “fitnah yang sadis” (buhtan ‘adzim).

Dua hal bisa digaribawahi dari kasus Zamakhshari ini. Pertama, betapa sensitifnya soal otoritas Nabi, terutama di mata ulama tradisional. Ini bisa menjelaskan reaksi keras ulama konservatif terhadap Abu Zayd dan Mahdawi, yang juga tidak merujuk kepada hadis.

Kedua, penggunaan bahasa dalam berdebat. Walaupun berdebat keras, Razi tidak pernah menyebut nama Zamakhshari. Dia mengarahkan kritiknya kepada Mu’tazilah sebagai sekte teologis. Bahkan Syaukani yg mulai menggunakan bahasa kasar, dia tak menyebut nama Zamakhshari melainkan “shahib al-Kasysyaf” (penulis kitab al-Kasysyaf). Baru dari awal abad ke-20, bahasa perdebatan mulai vulgar, seperti terlihat dalam tafsir Qasimi.

Bahasa lebih vulgar lagi terlihat dalam karya-karya penulis modern di Mesir, seperti Dzahabi, Rumi dan ‘Affani, yang menggambarkan mufasir Qur’anis dengan deskripsi yang sangat buruk. Misalnya, ateis atau dajjal. Jadi, menuduh seseorang sebagai “rasionalis” saja mulai dirasa tidak cukup. Atau, bagi mereka, jangan-jangan ateisme dan rasionalisme itu sama saja?

Saya sendiri lebih menikmati membaca reaksi keras ulama-ulama Sunni dulu, seperti Razi dan Abu Hayyan, dibandingkan membaca karya-karya Dzahabi atau Rumi, apalagi ‘Affani. Kritik mereka yang disebut belakangan ini hanya keras dari segi bahasa, tapi lemah dari sisi argumentasi, jika tak boleh dikatakan memang tak ada argumennya.